Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Valentine di Fiksiana] Dunia Tanpa Nada

24 Februari 2017   23:24 Diperbarui: 21 Agustus 2017   13:28 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dunia Tanpa Nada

 

 

“Jangan melupakan, tetapi jangan juga mengingatnya. Simpan ia di kotak klasik kristal kecil dalam lemari di dasar hati. Taruh pada lacinya yang paling atas. Biarkan tinggi ia di sana, hingga berdebu dan berbalut sarang laba-laba. Kelak, kau kan dapati, hanya sebuah memori senyum yang mampu jangkaunya kembali...”

 

***

 

Miyazono Kaori*) pernah berkata, “Musik melampaui kata-kata. Dengan bertukar not, bisa saling mengenal dan saling mengerti. Rasanya jiwamu terhubung dan hatimu saling tumpang tindih. Itu adalah pembicaraan melalui instrumen. Sebuah keajaiban yang menciptakan harmoni. Di saat itulah, musik melampaui kata-kata...”

Kupikir kata-kata Kaori dalam anime yang kutonton beberapa waktu lalu itu ada benarnya. Mungkin. Tapi di 33 tahun usiaku saat ini, aku tahu persis, rangkaian kalimat itu hanya berlaku bagi mereka yang mengerti keajaiban musik itu sendiri. Mereka, yang senantiasa berkutan dengan pahatan not di garis paranada. Mereka, yang selalu membatik dengan irama. Mereka, yang bahkan mampu mendengar gita dalam rintik hujan dan degup jantung sekalipun.

Sementara, bagi sebagian orang, musik adalah sebuah kemasygulan. Jangankan untuk menikmati dan memahaminya, mendefinisikan apa itu musik saja mereka tak mampu. Mereka yang hidup di dunia sendiri, yang mustahil terjangkau olehku sepenuhnya.

Kulirik grandpiano hitam legam di sudut ruang tengah. Tutsnya yang berseling hitam putih itu mengingatkanku pada kulit zebra. Dari balik lensa kacamata persegi ini, tak kudapati setitik debu pun pada permukaannya. Hmm, sepertinya Mbok Rum tetap rajin membersihkan meski tak lagi kuperintah. 

Piano itu sudah tak pernah lagi terdengar dentangnya di rumah ini. Sudah berapa lama? Entahlah, aku sendiri tidak yakin. Mungkin enam..., ehm, bukan! Tujuh. Ya, hampir tujuh tahun rasanya. Sama seperti umur Davie.

Aku memang pernah menggantungkan hidup dan duniaku pada musik. Pada piano. Pada kelompok orkestra terkenal yang membesarkan namaku. Segalanya telah kutinggalkan sejak bertahun lalu, hanya beberapa bulan setelah putra semata wayangku lahir.

 

***

 

“Papa...!”

Senyumku spontan mengembang pada sumber suara di pintu depan. Tubuh mungil dan lincah itu langsung melesat ke arahku yang berjongkok, menyambutnya dalam pelukan. Ah, menghirup aroma apel di rambut ikalnya benar-benar menenangkan.

“Davie, papa selalu bilang apa? Hati-hati...,” kataku sembari menatap lembut mata mungilnya. Kedua tanganku yang jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V saling kubenturkan beberapa kali. Sebuah gerakan isyarat standar yang bermakna ‘hati-hati’. 

Davie balas menatapku. Tangan kanannya bergerak memutar persis di depan dada. “Ma-af, Pa-pa,” ucapnya terbata. Namun bibirnya tersenyum. Bocah itu tahu bahwa aku sama sekali tak marah padanya.

Kuusap puncak kepalanya dengan sayang. “Sana, tukar baju dulu. Papa tunggu di meja makan...”

Davie menurut. Dia melangkah menuju kamarnya di lantai atas, diikuti Mbok Rum yang baru keluar dari dapur. Kuperhatikan punggung anak kesayanganku itu lekat-lekat. Dengan seragam biru kotak-kotak dan tas spider man, dia benar-benar tampak seperti bocah TK biasa yang demikian normal. Tak akan ada yang menyangka jika dia sebetulnya punya kekurangan.

Yah, kecuali jika ada yang memerhatikan detail alat bantu dengar yang terpasang di telinganya. Benar. Davie memang tuna rungu. Dia tak merespon suara apapun sejak kelahirannya. Dia bahkan tak menangis. Hasil pemerikasaan audiometri menunjukkan derajat ketuliannya mencapai 110 desibel. Itu artinya, Davie tak bisa mendengar suara apapun yang lebih pelan dari ledakan meriam. 

Meski demikian, Davie anak cerdas. Terapi bicara yang dijalani membuatnya semakin lancar berucap. Dia juga cukup pandai membaca gerakan bibir lawan bicaranya.  Aku sendiri tak pernah kesulitan berkomunikasi dengannya.

Dalam hal ini, rasa terima kasih tak terhingga harus kusampaikan pada seorang gadis dari masa laluku. Nada, gadis tunarungu yang tak hanya berhasil mengajariku bahasa isyarat, namun juga bahasa cinta. Gadis yang padanya aku selalu menaruh hati. 

Sayang, niatku mempersuntingnya sama sekali tak mendapat restu. Ibuku menenentang keras kala kupertemukan dengan Nada untuk pertama kalinya. “Bagaimana mungkin musisi sepertimu memilih gadis cacat ini sebagai pendamping? Demi almarhum ayahmu, selagi aku masih bernyawa, tak akan kubiarkan si tuli ini jadi menantuku!”

Dan begitulah. Ibu menamatkan kisahku bersama Nada begitu saja. Sebagai gantinya, beliau menyodorkan gadis lain, yang di kemudian hari menjadi istriku. Kartika, seorang violinist cantik sekaligus putri tunggal pemilik yayasan sekolah musik ternama yang punya cabang hampir di setiap kota. Anggun, pintar, memesona, dan kaya raya. Mungkin kata-kata itu yang tepat untuk menggambarkan seorang Kartika.

Sempurna? Sama sekali tidak!

Ibuku saja yang buta lantaran tak mampu melihat ada cacat demikian parah dari menantu kesayangannya itu. Jika Nada hanya gadis yang kehilangan sebagian pendengarannya, maka Kartika adalah perempuan iblis yang telah kehilangan seluruh hatinya. Ya, dia sungguh wanita tanpa perasaan. Tak sedikitpun ia peduli pada kehamilan maupun janin yang dikandungnya. Entah berapa kali kupergoki dia asyik merokok dan menenggak vodka, padahal perut buncitnya kian membesar. Teguranku hanya dianggapnya angin lalu.

Bahkan ketika Davie lahir, tak satu kali pun Kartika mau menyentuhnya. Hatiku tak habis bertanya, ibu macam apa dia? 

Saat beberapa bulan kemudian dokter memvonis Davie punya masalah serius pada syaraf pendengaran, Kartika justru semakin jarang pulang. Puncaknya, ibuku sendiri yang memergokinya tengah tidur dengan lelaki lain ketika aku sibuk di rumah sakit. Ibuku murka.

Kartika kabur, dan belum kembali hingga detik ini. Hal itu berimbas pada kesehatan ibuku yang menurun drastis. Entah tak sanggup menanggung malu karena ulah menantu atau karena tertekan dengan kondisi Davie, sakit ibu memburuk dengan cepat. Stroke menyiksanya selama setahun penuh sebelum akhirnya meninggal dunia dalam tidur.

“Apa kabar, Bu?” aku bermonolog pada lukisan potret ibu yang tergantung di ruang tamu. “Menyesalkah kau sekarang? Semua ini jelas tidak akan terjadi jika Nada yang jadi menantumu. Ah, dulu kau menolaknya hanya karena ia tak bisa mendengar. Tapi lihatlah kini, cucu semata wayangmu ternyata juga sama tulinya. Karma-kah ini? Aku sungguh tidak tahu, Bu... Tapi kuharap, dimana pun Nada berada kini, dia sudah memafkanmu. Memaafkan kita...”

***

 

Hari ini, aku mengantar Davie ke sekolah. Tapi sepertinya terlalu pagi. Belum ada tanda-tanda keberadaan siswa lain di halaman. Meski demikian, beberapa staf guru sudah terlihat batang hidungnya. 

“Papa...,” Davie menggamit lenganku. Dagunya menunjuk pada sosok seorang staf perempuan yang semula tampak asyik berjongkok mengamati rumpun melati, namun cepat berdiri begitu menyadari keberadaan kami. “Itu..., ibu guru. Nama—nya... i...ibu...”

“Nada?” 

Meski tenggorokanku tercekat, nama itu terucap begitu saja. Tidak salah lagi, perempuan di depanku ini sungguh-sungguh Nada. Meski rambut hitam panjangnya dulu telah berganti model dan dicat kecokelatan, namun wajah teduh itu, binar mata  itu..., juga tahi lalat tepat di sudut mata kirinya itu masih sama dengan yang kulihat hampir tujuh tahun lalu. 

Aku tak tahu mana di antara kami yang lebih terkejut. Nada sama diamnya dengan patung Buddha selama beberapa saat. Namun kemudian, bibir mungil kemerahan itu mulai bergerak.

“Dirga?” ucapnya tanpa suara.

Aku mendesah lega. Dia masih mengenaliku.

Tatapan Nada beralih pada Davie, sebelum akhirnya kembali mengunci pandanganku. 

Entah bagaimana menjelaskannya, namun seperti dulu, saat ini pun menerjemahkan bahasa mata Nada masih sama mudahnya. Aku seolah dapat dengan jelas mendengarnya berkata, “Jadi..., dia anakmu? Aku baru mengajarnya sebentar. Aku baru saja pindah. Apa kabar kamu, Dirga? Ga nyangka, ya? Kita bersua di sini?”

Ah, Nada. Betapa banyak yang ingin kusampaikan. Aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana. Aku selalu berharap bisa bertemu denganmu lagi. Aku ingin minta maaf atas segalanya. Atas kekasaran ibuku, atas kepengecutan diriku yang tak sanggup memperjuangkanmu di masa lalu... Nada, aku sungguh masih mencintaimu.

Mendadak, tawa Nada memecah keheningan. Ah, suara itu..., meski tak sebening suara peri, namun terdengar seperti simfoni penuh warna yang merasuk ke relung jiwaku.

“Aku tahu kau mencintaiku,” kata Nada dalam bahasa isyarat.

Keningku berkerut bingung, menuntut penjelasan.

“Itu sebabnya kau membiarkanku pergi. Kau tahu aku akan tertekan dan menderita atas ulah ibumu jika tetap tinggal. Dan kau tak ingin itu, kan?”

“Ibuku sudah meninggal, Nada,” ucapku memberi tahu. “Kuharap kau tak membencinya...”

“Bagaimana mungkin aku membenci wanita yang melahirkan manusia sepertimu?” Nada tersenyum. Manis. 

Musik melampaui kata-kata, kata Miyazono Kaori. Aku setuju dengannya. Namun aku juga belajar banyak dari perempuan di depanku ini. Bagi Nada yang terbiasa hidup di dunia tanpa nada, perasaan terdalam tak harus disampaikan lewat kata maupun suara. Dia yang sungguh-sungguh jadi bagian dari hatimu, akan mengertimu paling baik justru dari apa yang tak kauucapkan. Dan kau, akan memahami dia dengan cara yang sama pula.

Tangan Nada kini bergerak menyisir lembut rambut Davie. Tak ada sebentuk cincin pun di jemarinya.

Hatiku menghangat.

Ah, masa lalu memang sebaiknya ditinggalkan. Tapi jika sang mantan adalah sebenar-benarnya jodoh dari Tuhan, haruskah aku menghindar? 

 

#####

Note:

*) Seorang gadis violinist. Tokoh utama dalam anime/manga "Your Lie In April"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun