Di sebuah sudut kawasan Sapen, Yogyakarta, tepatnya di depan SD Muhammadiyah Sapen, sepasang suami istri tampak sibuk di balik gerobak sederhana. Bau batagor dan otak-otak yang renyah menyeruak, mengundang siapa pun yang lewat untuk menoleh. Dari balik wajan, kisah Asep dan Eva bukan hanya soal batagor dan otak-otak, tapi juga perjalanan panjang yang penuh rasa dari pedasnya tantangan, asinnya perjuangan, hingga manisnya tawa di tanah rantau.
Pasangan suami istri ini memulai usaha batagor dan otak-otak sejak tahun 2023 di Jogja. Mereka menyebut usaha ini sebagai bentuk melestarikan resep keluarga yang diwariskan secara turun-temurun. Jenis usahanya merupakan usaha mikro kuliner skala rumahan, karena dijalankan oleh keduanya tanpa karyawan.
"Kami bawa resep dari Bnadung ke Jogja, biar orang tahu batagor dan otak-otak yang punya ciri khas" ungkap Asep
Dalam satu hari, pasangan ini bisa menjual berbagai jenis makanan seperti batagor, tahu krispi, otak-otak, hingga kentang goreng. Semua dibuat dari bahan baku yang mereka beli sendiri dari pemasok langganan. "Untuk bahan dasar kami ambil langsung dari pasar, ada juga yang kami langgani dari sesama perantau sunda," jelas Eva.
Baik Asep maupun Eva sama-sama lulusan SMP. Mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang kuliner, namun pengalaman bertahun-tahun berjualan di berbagai daerah menjadikan mereka piawai dalam mengolah, memasarkan, hingga berinteraksi dengan pelanggan.
"Kalau ditanya modal utama kami apa? ya cuma rasa dan nekat," ujar Eva sambil tertawa saat ditemui pagi itu.
Sebelum membuka usaha di Yogyakarta, Asep dan Eva sempat berjualan di berbagai kota di Indonesia. Setiap daerah memiliki cerita unik yang masih membekas hingga kini. Mereka dengan antusias bercerita tentang keunikan saat berjualan di setiap daerah itu.
Papua: Dikiranya Jual Sabun Cuci
Cerita paling lucu datang saat mereka berjualan di Merauke, Papua. Saat itu, mereka baru pertama kali ke timur Indonesia, dan langsung mencoba membuka lapak di dekat pasar pagi.
"Sebelum di kasih banner tulisan batagor, awalnya anak-anak kira kami jual sabun cuci. Mungkin karena adonan batagor di baskom keliatan kayak deterjen cair" kata Asep sambil tertawa renyah. Tak sedikit yang ragu mencicipi dagangan mereka karena belum familiar.
Namun, setelah anak-anak mulai mencoba dan beberapa warga lokal ikut tertarik, cerita berubah. "Ada mama-mama Papua yang balik lagi sambil bilang, 'Ini cemilan orang Jakarta kah? Enak juga'" kenang Eva. Dari situlah mereka mulai dikenal di sekitar pasar. Sayangnya, mahalnya bahan baku dan biaya hidup di Papua membuat mereka harus angkat kaki meski pasar mulai menerima.
Kalimantan: Laris Tapi Dituduh 'Bikin Macet'
Masa keemasan usaha Asep dan Eva adalah saat mereka berjualan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. "Lagi rame-ramenya saat itu, 200 otak-otak bisa habis dalam dua jam" cerita Eva bangga.
Namun, kejadian tak terduga justru terjadi ketika warga sekitar protes. Bukan karena rasa, tapi karena gerobak mereka dianggap jadi biang kemacetan.
"Karena kami dapat lapak di dekat tikungan, jadi kami jual di sana. Saking banyaknya yang antre, sampai ada angkot yang mogok nunggu" ujar Asep sembari memasukkan adonan batagor untuk digoreng. Akhirnya, mereka diminta pindah lokasi oleh warga setempat.
Cikarang: Dagang Sambil Jadi Konselor Cinta
Di Cikarang, mereka berjualan di daerah industri, tepatnya di depan asrama buruh. Tak disangka, mereka malah jadi semacam "tempat curhat" langganan.
Asep menuturkan alasan dibalik ramainya pelanggan, dan pelanggan yang tak sungkan mengungkapkan keluh kesahnya, terutama cerita percintaan, tak lain karena sikapnya yang ramah dan hangat.
"Banyak anak kos yang curhat soal pacarnya. Ada yang ditinggal nikah, ada yang galau karena LDR. Di mata mereka, kami mungkin kayak psikolog yang punya sampingan jualan" Â ungkap Eva sambil terkekeh.
Suatu malam, bahkan ada pelanggan yang menangis di depan gerobak sambil makan batagor. "Saya bilang: 'Neng, makan dulu. Galau boleh, tapi jangan kelaparan,'" kata Eva mengenang momen itu.
Jateng: Salah Tempat, Salah Waktu
Saat mencoba peruntungan di Boyolali, Jawa Tengah, mereka sempat mengalami masa yang bisa disebut"salah tempat dan salah waktu".
"Kami buka lapak dekat sawah, katanya strategis. Eh ternyata itu cuma rame kalau ada panen," cerita Eva. Dalam sehari, mereka hanya laku tiga porsi. Bahkan pernah ada hari di mana tak satu pun pembeli datang.
Meskipun warga di sana tergolong ramah-ramah, namun akhirnya mereka memutuskan pindah setelah satu bulan bertahan.
Jogja: "Ini tempat yang saya maksud"Â
Pandemi COVID- 19 berdampak besar terhadap sektor perekonomian, termasuk pada usaha warisan keluarga Asep ini. Sejumlah enam gerobak jualan keluarga, sumber mata pencaharian di keluarganya, terpaksa mangkrak karena kerugian akibat pandemi. Asep dan Eva kemudian memutar otak dan memutuskan untuk memulai dari nol di Yogyakarta. Alasannya sederhana: Jogja dikenal sebagai kota pelajar dengan pasar yang beragam.
"Kami lihat peluangnya terbuka lebar. Banyak mahasiswa, banyak anak sekolah, dan warga lokal juga terbuka," kata Asep sembari mengangkat batagor yang sudah matang.
Kini, gerobak mereka mangkal setiap pagi hingga sore, melayani pelanggan dari anak SD, mahasiswa, hingga warga sekitar. Usaha mereka mulai stabil. "Alhamdulillah, kami nggak harus pindah-pindah lagi. Pelanggan di sini baik-baik" ucap Eva.
Harga yang ditawarkan juga terjangkau, satu porsi batagor di dapat dengan harga 8000, sedangkan aneka gorengan memiliki harga seribu per satuannya. Untuk memperluas pasar, mereka juga melayani pesanan untuk acara dan komunitas lokal.
Saat ditanya soal kemungkinan berhenti atau beralih usaha, mereka justru menegaskan tak pernah terpikir untuk meninggalkannya. Meski begitu, mereka tetap terbuka terhadap perkembangan pasar. Mereka tak berniat mengganti menu utama, namun tak menutup kemungkinan menambah variasi baru.
"Saya sayang banget mbak sama usaha ini, banyak ceritanya" Ujar Asep
Tak bisa dipungkiri, tantangan masih ada. Keterbatasan modal dan cuaca menjadi kendala sehari-hari. "Kalau hujan deras, ya tutup. Kalau nggak ada modal beli bahan, ya kami harus ngatur ulang menu," jelas Eva.
Namun, pasangan ini tak mau menyerah. Mereka punya harapan sederhana: bisa punya tempat tetap, ikut pelatihan UMKM, dan mengembangkan usaha mereka.
"Kami ingin jualan bukan cuma buat hidup, tapi juga buat berkembang. Kalau bisa, biar anak-anak kami nanti bisa lanjutin dengan lebih baik" ujar Asep menutup wawancara sambil menyerahkan seporsi batagor dan segelas es teh untuk saya, sebagai tamu. Sebuah keramahan yang mampu saya rasakan dan menjadi ciri khas mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI