"Sudahlah tidak ada yang bisa mengerti perasaanku membuat aku agar tenang sedikit saja tidak bisa stress aku seperti jadi meriang mau demam," keluhnya.
Aku sebenarnya memahami apa yang menjadi kemauannya. logikaku memang menerima tetapi hatiku belum. Sulit memang, karena laki-lakinya mana yang merelakan jika orang yang paling disayangi harus kembali mengulang masa lalunya.
Aku meyakinkan dia untuk mengerti, bagiku mencintai dan jatuh cinta tidaklah mudah. Aku sudah akrab dengan sakit hati dan kecewa. Memeluk janji palsu lantas pergi ditinggal ke pelaminan, pilu bukan ? Maka ketahuilah ketika aku sedang jatuh cinta maka aku sedang benar-benar jatuh kepadamu.
"Aku senang mendengarmu untuk tidak kembali ke malam, aku menguatkan "azzam" mu itu. Sehingya aku kerja Bantingtulang, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala rasanya berbunga-bunga hatiku, tapi mengapa pilihan mu berubah saat ini," ucapku.
Aku kembali melanjutkan pembicaraan.
"Tetapi jika pilihanmu memang seperti ini, aku belajar untuk membuang egoku dan menerima kemauanmu, Oke aku sudah komitmen jadi tidak ada yang perlu dibahas lagi, aku terima" tambahku.
Raut wajahnya masih belum menunjukkan tanda percaya. Ia juga mungkin sadar tidak mudah bagiku untuk menerimanya kembali kepada malam.
"Kamu ikhlas, tapi kamu tetap sayang kan sama aku. Jangan khawatir aku akan menjaga hatiku untukmu percayalah," lirihnya.
Tibalah pada suatu malam, ia memoles tepung bedak, menggores alis matanya dengan celak hitam, dipolesnya pula merah gincu di kedua bibirnya. Rambutnya dia luruskan berkali-berkali. Ia bersiap diri.
Aku hanya terdiam saja, melihat pemandangan yang mematahkan segala harapan dan asaku. Aku mencoba menguatkan diri dan memilih pergi, mencari tempat terbaik untuk menangis.
Menjelang subuh, ia memanggilku sembari berlari, tangan kanannya menggenggam sekuntum bunga mawar yang dikemas romantis dalam plastik bening.