"Kamu terlalu egois, kalau seperti ini caramu mencintaiku salah, kamu terlalu curiga memikirkan apa yang tidak pernah aku lalukan. Itu sama saja menyiksa dirimu sendiri," ujarnya.
Ia menasihatiku, sebab dua pekan terakhir ini aku selalu curiga berlebihan kepadanya terkadang emosiku naik turun.
"Aku bukan mengekang tapi tolong mengerti dan hargailah aku. Aku menjalani hubungan dengan hati dan rasa cinta," kataku.
"Aku tahu rasa cinta kamu, rasa sayang kamu ke aku, perhatian kamu tapi tolonglah mengerti aku dan percaya kepadaku kalau tidak ada rasa saling percaya untuk apa menjalani hubungan selama ini artinya kamu tidak juga paham dengan pribadiku," balasnya.
Malam itu, kami bertengkar hebat, ia memintaku untuk mengerti apa yang menjadi kemauannya. Tapi aku masih belum bisa menerima. Dan mungkin berat untuk menerimanya.
"Jadi mau kamu apa sih dan bagaimana dengan hubungan ini. Ayo jawab aku mau dengar sekarang juga," pintanya.
"Kamu egois. Aku lelah jika seperti ini terus, setiap hari bertengkar persoalannya itu-itu saja. Mending mikir soal masa depan, begini - begini harusnya," tambahnya.
Matanya berkaca-kaca, napasnya naik turun. Selly menangis disekanya air mata yang jatuh namun tetap mengalir deras.
"Aku sudah memperjuangkan dan mengorbankan semuanya tapi mesti seperti inikah caramu membalasnya. Kamu lihat apa yang menjadi cita-cita aku dengan kamu selama ini. Kamu adalah harapan aku kamu masa depanku," jawabku.
"Tapi setidaknya kalau belum bisa memenuhi semuanya kamu jangan mengekangku, mantan ku dulu tidak seperti ini biarpun dia keras dan pecemburu," balasnya.
Ia tetap mengajakku untuk memahami apa yang menjadi maksud dan tujuannya sehingga bisa kembali kepada pelukan malam.