Mohon tunggu...
Apriani Dinni
Apriani Dinni Mohon Tunggu... Guru - Rimbawati

Biarkan penaku menari dengan tarian khasnya, jangan pernah bungkam tarian penaku karena aku akan binasa secara perlahan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Harimau Jantan

31 Oktober 2019   09:19 Diperbarui: 28 Maret 2020   22:40 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

<< Sebelumnya 

****

Setelah Datuk Garang Bamato Merah dan Nenek tua berkerudung bergo panjang warna merah marun itu pergi,  meninggalkan aku dan  Lelaki sampan yang saat ini telah menjadi seekor Harimau jantan.

Harimau jantan di hadapanku itu terus mengaum pelan, entah apa yang ingin disampaikan oleh lelaki sampan yang telah berubah menjadi harimau itu kepadaku. Aku menatap mata harimau jantan di depanku itu, di sana aku melihat mata lelaki sampan. Aku kembali menangis sambil memeluk erat leher harimau jantan yang terus mengaum sambil mengibas-ibaskan ekornya itu.

"Aku mencintaimu mas, sangat mencintaimu, dan untuk meninggalkanmu di hutan larangan ini  aku tidak tega.

Mas, aku tak akan meninggalkanmu di hutan ini seorang diri, biarkan aku terkurung bersamamu di sini," aku berbisik pelan di telinga harimau jantan jelmaan Lelaki Sampan di hadapanku.

Harimau jantan itu seperti paham ucapanku, ia mengaum lebih keras sambil kembali mengibas-ngibaskan ekornya. Dalam sendu aku memeluk erat leher harimau jelmaan lelaki yang baru saja membuatku merasa begitu takut kehilangan dirinya itu.

Sambil menyeka air mata, tanpa sadar aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan meninggalkan harimau jelmaan Lelaki yang telah mengorbankan dirinya demi aku itu.

Kutatap mata harimau yang begitu mirip dengan lelaki yang dulunya aku takut melihat tatapan matanya itu, lelaki yang pada awalnya aku tidak mau naik ke atas sampannya karena merasa tidak enak hati pada Mirna, anak kepala desa tempatku tinggal selama ini yang aku tahu diam--diam menyukai lelaki pendiam itu, tapi setelah kebersamaan kami di hutan larangan, aku merasakan debaran lain yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, jujur saja, saat bersama lelaki itu aku terasa begitu nyaman,  tidak seperti di saat aku tengah bersama  tunanganku, lelaki pilihan orangtuaku itu terasa begitu hambar di hatiku.

Jujur saja aku sering bertengkar dengan lelaki pilihan orang tuaku itu karena di mataku pikirannya seperti anak-anak.  

Kebetulan bapakku dan bapaknya dulu satu angkatan waktu kuliah, mereka bersahabat  dan sama-sama menjadi pejabat di Pulau Jawa. Kata mamaku, dahulu ketika masih kuliah, bapakku dan bapak lelaki yang menjadi tunanganku itu bernazar, bila punya anak laki-laki dan perempuan akan mereka jodohkan menjadi suami istri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun