Kuncup mata penghujan. Berurai aksara, mengisahkan renjana menjadi bejana nestapa. Seluruh rasa bergejolak. Berkembang-biak meluluhlantakkan logika. Jemala tak mampu menopang karsa.
Sore tadi, aku tumpas segala yang ingin tumbuh. Angan pun harus terbang menjauh. Apa yang lebih getas dari teragak saban hari? Hasai atma, mengerakahi sabda. Tentang gelagar dalam dada. Tentang nyalang puisi pukul tiga. Pada akhirnya gemawan dan kartika hanya mencintai bentala. Saat malam sedang gelap-gelapnya. Saat pejam sedang pegam-pegamnya.
Kau bilang "ikhlas". Biar hati langgas, lepas segala enigma. Dan si pandir melenggang riang dari dura pun duka. "Bagaimana bisa?", tanyaku. Sedang atma sibuk berjibaku dengan anggara, dan asmaraloka tak lagi mempunyai geta.....
Renjana...
Biar tentangmu meliar di jemala. Berkobar di rimbunan aksara yang kupunya. Hingga terbakar atma, biram kesumba!
Biar ...
Biar ...
Biar!!!
Nanti ia padam sendiri.
Nanti puisi menikam dirinya sendiri!
Lalu hilang tak berjejak,...
Dalam nyenyat yang sangat.
- Jakarta, 15 November 2019 -