Mohon tunggu...
Mina Apratima Nour
Mina Apratima Nour Mohon Tunggu... Jurnalis - :: Pluviophile & Petrichor ::

IG @fragmen.rasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Antara Hujan dan Senja, Kamu Paham Gak?

27 Maret 2016   23:05 Diperbarui: 28 Maret 2016   00:18 4825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(sumber foto: twissta.wordpress.com)"][/caption]"Kenapa Hujan?", katamu, bingung. Bingung karena hujan selalu menjadi inspirasi terbesarku. Dan juga senja. Hujan dan Senja. Dua hal yang bertolak belakang. Yang satu menawarkan romantisme dingin dan sendu, sedangkan yang satu lagi melankolisme hangat dan tenang. Meski keduanya bisa menjadi terjemahan dari rindu, pilu, benci, dan cinta. Oh!!! Apalagi kenangan! Aku sebenarnya tak lebih bingung dari kamu. Kenapa? Sini aku ceritakan.

--

Tentang Hujan. Bulirnya yang basahi bumi, seolah mengajarkan kita untuk terus tabah. Tabah dalam memberi karena memberi bisa hilang bagai tak berarti. Tabah dalam memberi karena dari memberi kita belajar keikhlasan. Kau pikir tanah tahu seberapa banyak tandus yang hilang saat hujan turun? Atau cacing. Apa kamu mau memberi minum cacing secara cuma cuma seperti hujan? Eh, itu tumbuhan di belantara hutan. Ada gitu yang mau nyiramin satu-satu pohonnya? Enggak kan? Nah, hujan adalah keikhlasan. Keikhlasan karena ia mendukung aksara tergelincir dari lisan sang empunya, seolah terus menerus menjatuhkan bulir kenyataan dan repetisi dari hal hal yang tak mungkin kembali. Apa kamu bisa menjadi hujan? Kenangan saja terus kamu putar di kepala tanpa pernah berakhir. Tanpa pernah menghilang sewajarnya setelah sejenak menghidupi jiwa. Tanpa pernah selesai, kamu teguk beribu kenangan hanya untuk hilangkan dahaga. Tidak! Kamu tidak bisa menjadi hujan! Ah, apa mungkin kamu senja?!

--

Tentang Senja. Merah kuning yang membara, tetapi tetap santun. Semangat yang berapi api, tetapi seolah teredam. Senja yang muncul sebentar untuk menghangatkan. Sekilas menawarkan ketenangan. Lalu sedetik kemudian dilibas oleh kelam menuju malam. Gelaplah cakrawala, tanpa sisakan nyala. Paham tidak? Senja adalah jeda singkat. Di sekian nama tak berarti, yang tak menetap, tetapi sempat lewat meski bukan berarti terlewat. Nama nama itu tetap ada. Di tempatnya yang semula. Itulah senja. Ia mengajarkan kita agar menghargai sesuatu yang hanya sekejap. Untuk kemudian kembali pada nyata, melanjutkan apa yang ada. Kamu senja? Ah, rasanya tidak! Pernah kan, suatu waktu di tepian hari, kamu lupa pada kita yang tak jadi ada? Kamu tidak akan pernah menjadi senja! Hatimu seperti burung. Yang selalu berkelana. Mencari langit yang lain, atau yang mungkin.

--

Nah, sekarang paham enggak? Kenapa Hujan dan Senja begitu berarti untuk segala inspirasi? Masih gak paham juga? Aduuuuh!!! Kamu sih,tidak pernah menjadi aku, untuk melihat hujan dan senja sebagaimana mestinya. Kamu tidak pernah menjadi aku, untuk memaknai tulus arti kehadiran hujan dan senja. Kamu memang tidak bisa menjadi hujan dan senja, karena tak bisa ikhlas dan menghargai, terhadap apa yang pernah ada.

--

Masih gak paham juga? Yaudah lah, bye 

- Jakarta, 27 Maret 2016 -

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun