Rumah sejatinya wadah dimana sebuah kejayaan masa depan dilahirkan. Namun, Fenomena dan fakta akhir-akhir ini menjadikan rumah sebagai area kekerasan bermula.
“Andai Aku Tidak Menikah Dengannya” mungkin inilah ungkapan hati dari korban KDRT.
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kembali mencuat ke permukaan. KDRT yang dialami oleh pesohor Negeri membuat kasus tersebut menjadi tranding topik yang menghiasi media masa beberapa waktu yang lalu. Kasus tersebut mengundang berbagai tanggapan dan tanda tanya masyarakat. Hal itu ditanggapi negatif serta perasaan kekhawatiran akan perlindungan hukum.
Sebelumnya peningkatan KDRT terjadi pada masa pandemi covid-19. Komnas Perempuan melaporkan kasus KDRT menjadi kasus kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Menurut conversation.com dari 319 kasus kekerasan, dua per-tiganya atau sebesar 213 merupakan kasus KDRT.
Fenomena KDRT dapat dikatakan layaknya “gunung es”. Komnas Perempuan mencatat sebagian besar korban KDRT tidak memiliki kesediaan dan keberanian untuk terbuka mengenai kekerasan yang dialaminya. Dilema hebat yang dialami korban menjadi penyebabnya. Demi nama baik keluarga, korban lebih memilih diam atau hanya terbuka kepada kerabat terdekat atas apa yang
dialaminya. Keadaan ini jelas amat memprihatinkan bagi korban. Lantas, apa sebenarnya penyebab KDRT dan bagaimana baiknya kita menyikapi permasalahan tersebut?
Declaration on the Elimination of Violence against Women 1993 pada pasal 1 mendeskripsikan, setiap tindakan kekerasan berbasis gender (gender based violance) yang berakibat atau berpeluang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum (dalam masyarakat) atau dalam kehidupan pribadi.
UU No.23 Tahun 2004, tentang KDRT pun menyatakan makna yang sama.
KDRT dapat berupa kekerasan fisik (physical violence), kekerasan psikologis atau emosional (emotional violence), kekerasan seksual (sexual violence), dan kekerasan ekonomi (economic violence). Berdasarkan laporan kasus KDRT, tidak jarang perempuan mengalami beberapa jenis KDRT secara sekaligus. Mengutip laporan Gells dan Cornel dalam buku Feminisme: sebuah kata hati, hampir semua kasus kekerasan domestik (KDRT) dialami perempuan.
hukumonline.com memberitakan bahwa menurut Komnas Perempuan berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) pelaporan kasus KDRT meningkat setiap tahunnya. CATAHU Komnas Perempuan didasarkan pada laporan penerimaan dan penanganan kasus oleh lembaga masyarakat dan institusi pemerintah serta pengaduan langsung ke Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan dan Rujukan (UPR) lewat surel, surat dan form bitly.
Data menunjukkan kenaikan. Namun daya pencegahan dan penanganannya masih belum mengalami perubahan berarti. Kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) menyebar luas di semua ranah dan usia, dari yang muda dan produktif di ruang riil maupun siber. Ironinya, pelaku kekerasan masih orang-orang terdekat yang sejatinya merekalah yang diharapkan menjadi
pelindung.
CATAHU mencatat bahwa seluruh jenis KBG terhadap perempuan berdampak pada psikis, mempengaruhi kesehatan mental dan kualitas SDM perempuan. Dampak psikologi bisa berupa depresi ringan sampai berat, post traumatic stress disorder, hingga keinginan menyakiti diri sendiri, bahkan bunuh diri terjadi pada korban KBG. Pemulihan terhadap korban belum mendapatkan perhatiaan serius.