Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pundak Kusam Ayahku

29 Maret 2016   09:26 Diperbarui: 29 Maret 2016   10:10 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="gettyimages.com"][/caption]"Sudah, Bapak tidak mau dengar lagi. Kau tetap harus lanjutkan sekolah, lalu kuliah, dan menjadi dokter sebagaimana yang kau impikan itu". Nada suara Bapak mulai meninggi. Biasa dia lakukan bila aku mengeraskan hati untuk bertentangan dengannya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. 

" Tapi, Pak", aku melancarkan usaha terakhirku untuk meruntuhkan benteng prinsipnya. Aku memang selalu bercita-cita menjadi seorang dokter. Bahkan sedari masa-masa dimana aku terlalu kecil untuk mengingatnya, Bapak dan Ibu sering menceritakan betapa aku begitu melekat dengan hanya satu mainan saja, yakni sebuah stetoskop plastik murahan. Beranjak usia kanak-kanak, aku selalu menyukai bermain dokter-dokteran. Berlanjut menjadi pelahap buku-buku kedokteran di perpustakaan, sampai dengan sekarang ini.

Tapi aku juga tahu diri. Biaya untuk masuk kuliah kedokteran lebih berat daripada jurusan lainnya. Dan tingkat perekenomian keluarga kami bukan pada pembicaraan mau kuliah apa atau dimana, melainkan mau mengontrak dimana tahun mendatang. Ayahku bekerja sebagai kuli pelabuhan sedari pagi sampai menjelang malam. Kalau angkutan barang sedang sepi dia mencari kerja kasar serabutan lainnya. Pejuang kehidupan yang layak mendapat lebih, namun tiada berkesempatan untuk meraihnya.

Beliau tidak mengenyam pendidikan formal sama sekali, yang kemudian, meminjam istilah yang digunakan ayahku, mendamparkannya ke kehidupan dimana kau bekerja membanting tulang dengan gigih namun hasilnya tak sepadan. Dia tak menginginkan hal yang sama terjadi padaku, dan berkat usaha beliaulah, aku setahun lagi lulus sekolah. Namun sebagaimana yang sering kurasakan, aku tak sampai hati untuk terus membebani Bapak, aku ingin bekerja, apa saja, secara penuh, supaya dapat membantu meringankan bebannya. Upahku membantu pekerjaan tetangga kami hanya cukup untuk tidak lagi meminta uang jajan dan keperluan sekolahku.

Namun Bapak sudah bulat hati. Dia segera memotong ucapanku itu. "Tidak, Nak. Berapa kali pun kau meminta, Bapak tidak akan pernah ijinkan. Kau tidak usah khawatir mengenai biaya. Dan Bapak hanya meminta satu hal darimu, tidak lebih tidak kurang. Belajarlah dengan benar. Berikan perhatianmu penuh hanya pada hal itu saja. Sisanya biar Bapak yang usahakan".

Aku menghela napas. Sebagian dari diriku mengeluh karena Bapak tidak pernah mau mengerti perasaan anaknya ini, bahwa aku hanya mencoba menjadi anak yang berbakti untuknya. Namun langsung ditepis oleh sebagian diriku yang lain. Sudah sepatutnya aku bersujud syukur kepada Tuhan, dan juga kepada Bapak. Apa lagi yang bisa lebih baik daripada ini? Kau mungkin akan berkata tentang ribuan hal, tetapi aku banyak belajar dari Bapak. Salah satunya adalah hidup tak hanya berusaha untuk menjadi lebih di atas, melainkan jangan lupa untuk belajar dari apa yang di bawah.

--- 

Hatiku senang, karena Bapak menyempatkan diri untuk menemaniku di hari wisuda. Namun pikiranku berkecamuk, jangan sampai aku mengecewakan beliau. Karena semenjak lulus sekolah hingga kini lulus kuliah, permintaannya tak berubah. Belajarlah dengan benar. Aku khawatir bilamana aku tidak dapat memenuhi permintaan semata wayangnya ini. Bapak sendiri, yang duduk di sebelahku dengan baju batik kelonggaran pemberian bos di tempatnya bekerja, begitu sumringah. Aku membayangkan mungkin dia sedang memaknai semua usaha banting tulangnya selama ini, yang mungkin dianggapnya sepadan. Aku tak tahu pasti, Bapak jarang tersenyum selama ini.

Kecamuk pikiranku dipecahkan oleh suara speaker yang menggemakan suara pembawa acara. "... lulusan terbaiknya adalah...", si pembawa acara memberi jeda disitu. Pikiranku beku, dan sejenak aku tidak dapat mendengarkan apapun. Batinku terus berbisik, jangan kecewakan Bapak, jangan kecewakan Bapak. Tak lama aku tersadar, bahuku dirangkul dan ditepuk oleh Bapak. Senyum terbaiknya dia keluarkan. Dan teman-teman seangkatan juga menoleh ke arahku, ada yang tersenyum ada yang mengangguk, ada yang bertepuk tangan. Semoga bukan mimpi, lagi ku membatin. Aku kemudian melangkah ke panggung dengan setengah sadar, menunduk kepada rektor yang memindahkan tali togaku, lalu menerima sertifikat.

Kemudian aku diminta untuk berbicara di atas mimbar. Mataku segera mencari Bapak. Masih dengan senyum terbaiknya. Kami saling berpandangan cukup lama, mungkin bertukar cerita tanpa suara. Tentang bagaimana usaha Bapak mewujudkan mimpiku, yang juga merupakan mimpinya. Tentang bagaimana usahaku, yang jelas tak sebanding, untuk mewujudkan mimpinya, yang juga mimpiku. Maka terlepas sudah semua beban itu, dan terlepas juga airmata ku. 

Jakarta, 29 Maret 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun