Mohon tunggu...
Anindhita Fitriah Prasetyo
Anindhita Fitriah Prasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswi Universitas Mercubuana

NIM 43223010191 | Mata Kuliah: Teori Akuntansi | Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Program Studi S1 Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey : Menemukan Makna Manusia di Balik Angka

13 Oktober 2025   17:58 Diperbarui: 15 Oktober 2025   10:37 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

"Di balik setiap angka yang tampak pasti, selalu tersimpan cerita manusia yang tak terhitung."
  
Terinspirasi dari Wilhelm Dilthey

Pendahuluan

Dalam dunia modern yang kian terobsesi pada data, algoritma, dan efisiensi, angka sering kali menjadi ukuran tertinggi dari kebenaran. Laporan keuangan dipuja sebagai simbol rasionalitas, dan keputusan ekonomi seolah diambil secara mekanis tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan. Namun, apakah angka benar-benar mampu merepresentasikan seluruh realitas kehidupan manusia?

Akuntansi sejatinya bukan hanya ilmu tentang pencatatan transaksi atau pengukuran laba, tetapi juga tentang bagaimana manusia memahami dan menafsirkan kehidupannya sendiri melalui angka. Ketika seseorang mencatat pendapatan, mengatur beban, atau menghitung pajak, ia sebenarnya sedang berhadapan dengan nilai-nilai seperti keadilan, tanggung jawab, dan niat baik.

Pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey membuka ruang bagi refleksi semacam ini. Ia mengingatkan bahwa manusia tidak hidup dalam dunia angka yang netral, melainkan dalam dunia yang penuh makna (Lebenswelt). Akuntansi, dengan segala prosedur dan standarnya, pada dasarnya adalah bahasa yang digunakan manusia untuk berbicara tentang kehidupannya sendiri tentang kerja keras, kejujuran, dan legitimasi moral.

Di era digitalisasi dan globalisasi ekonomi, ketika akuntansi semakin dipengaruhi oleh sistem otomatis dan kecerdasan buatan, pendekatan hermeneutik menjadi semakin relevan. Ia mengembalikan dimensi manusia dalam praktik akuntansi agar angka tidak sekadar menjadi data, tetapi juga cerminan nilai dan makna kehidupan.

Apa Itu Teori Akuntansi Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey ?

Pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey membuka ruang bagi refleksi mendalam terhadap makna manusia di balik praktik akuntansi. Ia mengingatkan bahwa manusia tidak hidup dalam dunia angka yang netral, melainkan dalam dunia yang penuh makna (Lebenswelt). Akuntansi, dengan segala prosedur dan standarnya, pada dasarnya adalah bahasa yang digunakan manusia untuk berbicara tentang kehidupannya sendiri tentang kerja keras, kejujuran, dan legitimasi moral.

Di era digitalisasi dan globalisasi ekonomi, ketika akuntansi semakin dipengaruhi oleh sistem otomatis dan kecerdasan buatan, pendekatan hermeneutik menjadi semakin relevan. Ia mengembalikan dimensi manusia dalam praktik akuntansi agar angka tidak sekadar menjadi data, tetapi juga cerminan nilai dan makna kehidupan.

Epistemologi Hermeneutik Wilhelm Dilthey dalam Akuntansi

Epistemologi membahas bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Dalam akuntansi, epistemologi menentukan bagaimana kita memahami realitas ekonomi: apakah melalui angka-angka yang dapat diukur, atau melalui makna yang dihayati. Wilhelm Dilthey menolak pandangan bahwa pengetahuan sejati hanya bisa diperoleh lewat metode ilmiah yang objektif. Bagi dia, pengetahuan tentang manusia hanya dapat dicapai melalui pemahaman mendalam terhadap kehidupan sesuatu yang ia sebut sebagai Verstehen.

1. Dua Dunia Pengetahuan: Naturwissenschaften dan Geisteswissenschaften

Dilthey membedakan dua jenis pengetahuan:

  1. Naturwissenschaften (ilmu alam), yang menjelaskan fenomena melalui hukum sebab-akibat.
  2. Geisteswissenschaften (ilmu kemanusiaan), yang memahami kehidupan batin manusia melalui makna dan pengalaman.

Bagi Dilthey, dunia sosial manusia tidak dapat dipahami hanya melalui pengukuran objektif seperti dunia alam. Jika ilmu alam berusaha menjelaskan (erklren), maka ilmu kemanusiaan berusaha memahami (verstehen). Oleh karena itu, memahami laporan keuangan tidak cukup dengan membaca angka, tetapi perlu menafsirkan konteks sosial, moral, dan budaya yang melatarinya.

Dalam konteks akuntansi, ini berarti akuntansi bukan sekadar alat pengukur realitas ekonomi, melainkan juga cara manusia memahami dan mengekspresikan kehidupan ekonomi mereka. Akuntansi menjadi bagian dari Geisteswissenschaften ilmu kemanusiaan yang sarat makna.

2. Pemahaman sebagai Inti Pengetahuan

Menurut Dilthey, memahami manusia berarti memahami ekspresi kehidupannya. Pemahaman tidak bersifat mekanis, melainkan intuitif dan reflektif. Dalam akuntansi, proses memahami laporan keuangan seharusnya melibatkan kemampuan empatik: melihat angka bukan sebagai data mati, tetapi sebagai bentuk komunikasi antar manusia.

Setiap keputusan akuntansi mulai dari pengakuan pendapatan, penilaian aset, hingga penyusunan laporan keuangan adalah hasil dari proses penafsiran terhadap realitas ekonomi. Oleh karena itu, akuntan berperan sebagai penafsir (interpreter) yang memberi makna terhadap angka-angka tersebut.

3. Hermeneutic Circle (Lingkaran Pemahaman)

Salah satu konsep penting dalam hermeneutik Dilthey adalah hermeneutic circle atau lingkaran pemahaman. Pemahaman tidak pernah bersifat final; ia selalu bergerak antara bagian dan keseluruhan. Kita memahami keseluruhan teks melalui bagian-bagiannya, dan memahami bagian melalui keseluruhan konteks.

Dalam akuntansi, hal ini berarti bahwa satu angka tidak bisa dipahami secara terpisah dari konteksnya. Misalnya, angka laba hanya bermakna ketika dikaitkan dengan strategi perusahaan, kondisi ekonomi, nilai moral, dan keputusan manajerial yang melingkupinya. Dengan kata lain, setiap angka memiliki "cerita" yang tidak bisa dilepaskan dari konteks kehidupan manusia.

4. Ontologi: Akuntansi sebagai Dunia Kehidupan (Lebenswelt)

Dalam pandangan Dilthey, realitas sosial bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari pengalaman manusia yang saling berinteraksi. Dunia kehidupan (Lebenswelt) adalah dunia yang dihidupi manusia penuh makna, nilai, dan simbol. Akuntansi, sebagai sistem representasi ekonomi, juga merupakan bagian dari dunia kehidupan ini.

Ketika seorang akuntan membuat laporan keuangan, ia tidak hanya mencatat angka, tetapi juga memaknai hubungan sosial, kepercayaan, dan tanggung jawab moral. Misalnya, laba dalam perusahaan bukan sekadar hasil matematis, tetapi juga simbol keberhasilan, legitimasi sosial, bahkan kadang menjadi alat moral untuk menunjukkan integritas.

Dengan demikian, akuntansi dalam kerangka hermeneutik adalah ilmu yang berakar pada pengalaman manusia, bukan sekadar teknik pencatatan.

5. Aksiologi: Nilai, Etika, dan Moral dalam Akuntansi

Dilthey berpendapat bahwa setiap bentuk pengetahuan manusia selalu berakar pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam akuntansi, nilai-nilai ini hadir dalam bentuk prinsip kehati-hatian, transparansi, dan kejujuran. Hermeneutik mengingatkan bahwa angka tidak pernah netral; ia selalu mencerminkan pandangan moral dan sosial pembuatnya.

Sebagai contoh, pemilihan metode depresiasi atau kebijakan cadangan kerugian bukan hanya keputusan teknis, tetapi juga moral. Akuntan, secara sadar atau tidak, membawa nilai tertentu dalam setiap keputusan yang diambilnya. Dalam konteks ini, hermeneutik membantu kita memahami bahwa akuntansi adalah praktik moral yang mencerminkan tanggung jawab sosial.

6. Perbandingan dengan Tokoh Hermeneutik Lain

Hermeneutika tidak berhenti pada Dilthey. Tokoh-tokoh setelahnya, seperti Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer, melanjutkan gagasannya. Heidegger memperluas hermeneutika menjadi filsafat eksistensial, sedangkan Gadamer memperkenalkan konsep fusion of horizons pertemuan antara tradisi dan pemahaman baru.

Dalam konteks akuntansi, konsep Gadamer dapat diartikan sebagai dialog antara nilai-nilai lokal dan standar global, sementara Heidegger menekankan keterlibatan eksistensial akuntan dalam praktik profesionalnya. Semua pandangan ini menguatkan bahwa akuntansi adalah praktik interpretatif, bukan hanya sistem objektif.

7. Posisi Akuntansi Hermeneutik di Tengah Teori Akuntansi

Pendekatan hermeneutik berada di antara dua ekstrem: antara teori positivistik yang menekankan objektivitas, dan teori kritis yang menekankan perubahan sosial. Hermeneutik tidak menolak objektivitas, tetapi menempatkannya dalam konteks pemahaman manusia. Ia berusaha memadukan rasionalitas dengan empati, serta logika dengan makna.

Akuntansi hermeneutik mengajarkan bahwa untuk memahami angka, kita perlu memahami manusia yang menciptakan dan menggunakan angka itu. Angka tanpa makna hanya menjadi simbol kosong. Tetapi ketika angka dipahami dalam konteks nilai, budaya, dan tanggung jawab, ia menjadi bahasa kemanusiaan yang hidup.

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Mengapa Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey Penting dalam Teori Akuntansi ?

Pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey menjadi penting karena ia menawarkan paradigma yang lebih manusiawi dalam memahami akuntansi. Selama ini, akuntansi sering diperlakukan sebagai disiplin teknis yang berfokus pada pengukuran, efisiensi, dan kepatuhan terhadap standar. Pandangan ini berakar pada paradigma positivistik, yang menganggap bahwa realitas ekonomi dapat dijelaskan secara objektif melalui data empiris. Namun, pendekatan seperti itu sering kali mengabaikan dimensi sosial, moral, dan emosional dari praktik akuntansi.

Hermeneutik hadir untuk mengembalikan keseimbangan antara rasionalitas dan kemanusiaan. Dengan menempatkan pemahaman (Verstehen) di pusat epistemologi, Dilthey mengingatkan bahwa akuntansi bukan hanya sekumpulan prosedur teknis, tetapi juga cerminan dari cara manusia menafsirkan kehidupannya melalui simbol-simbol ekonomi.

1. Mengembalikan Dimensi Kemanusiaan dalam Akuntansi

Pendekatan hermeneutik penting karena ia mengembalikan peran manusia sebagai pusat dari praktik akuntansi. Angka-angka dalam laporan keuangan bukanlah entitas netral, ia adalah hasil dari proses interpretasi manusia terhadap realitas sosial dan ekonomi.

Setiap keputusan akuntansi mencerminkan nilai-nilai dan niat di baliknya:

  • Ketika akuntan memilih metode penyusutan tertentu, di situ ada pertimbangan moral mengenai kehati-hatian dan keadilan.
  • Ketika perusahaan menyusun laporan tanggung jawab sosial, di situ ada pesan etis tentang komitmen terhadap masyarakat.

Dengan demikian, hermeneutik membantu kita memahami bahwa akuntansi tidak hanya berbicara tentang angka, tetapi juga tentang nilai, moral, dan kemanusiaan.

Pendekatan ini menjadikan akuntansi sebagai cerminan kehidupan manusia yang kompleks di mana logika, etika, dan empati saling berkaitan. Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat relevan karena budaya kita menempatkan nilai-nilai sosial seperti gotong royong, tanggung jawab, dan kejujuran sebagai dasar kehidupan bersama.

2. Relevansi dalam Dunia Akuntansi Modern

Dalam dunia akuntansi modern yang didominasi oleh big data, kecerdasan buatan, dan sistem otomatisasi, pendekatan hermeneutik menjadi semakin penting. Meskipun teknologi mampu menghitung data dengan presisi tinggi, ia tidak mampu memahami makna moral atau sosial di balik angka.

Hermeneutik menawarkan cara berpikir yang menyeimbangkan aspek teknis dan reflektif. Ia menekankan bahwa angka tanpa makna hanyalah data kosong. Untuk menjadikan akuntansi bermakna, manusia harus menafsirkan data tersebut dalam konteks sosial, budaya, dan etika.

Sebagai contoh:

  • Laporan keuangan perusahaan tidak hanya harus benar secara teknis, tetapi juga harus jujur secara moral dan relevan secara sosial.
  • Auditor tidak hanya memeriksa kepatuhan, tetapi juga harus memahami konteks dan niat manajemen di balik keputusan-keputusan finansial.

Dengan kata lain, pendekatan hermeneutik membantu menjaga agar akuntansi tidak kehilangan sisi kemanusiaannya di tengah arus teknologi dan globalisasi ekonomi.

3. Menjawab Tantangan Etika dan Tanggung Jawab Sosial

Salah satu alasan penting mengapa hermeneutik relevan adalah karena pendekatan ini memperkuat dimensi etis dalam profesi akuntansi. Banyak kasus pelanggaran etika seperti manipulasi laporan keuangan, rekayasa laba, dan penyalahgunaan audit berakar dari cara pandang yang terlalu mekanistik terhadap akuntansi. Dalam paradigma ini, angka dianggap tujuan akhir, bukan sarana komunikasi nilai.

Hermeneutik mengingatkan bahwa angka adalah simbol moral yang hidup. Neraca bukan hanya soal keseimbangan finansial, melainkan juga keseimbangan moral antara hak dan kewajiban. Laba bukan sekadar hasil perhitungan rasional, tetapi juga cerminan keadilan distributif bagi pekerja, pemegang saham, dan masyarakat. Pajak bukan hanya beban keuangan, melainkan ekspresi solidaritas sosial.

Dengan demikian, pendekatan hermeneutik mendorong etika dan empati sebagai bagian inheren dari praktik akuntansi. Ia membantu akuntan untuk memahami konsekuensi sosial dan moral dari setiap entri yang mereka buat.

4. Mengakomodasi Keragaman Budaya dan Nilai Lokal

Dalam konteks Indonesia yang plural, hermeneutik sangat berguna untuk menjelaskan keragaman praktik akuntansi. Nilai-nilai lokal seperti gotong royong, kejujuran, dan keberkahan sering kali tidak bisa dijelaskan dengan kerangka akuntansi barat yang rasionalistik. Hermeneutik membantu menafsirkan fenomena ini sebagai bagian dari "dunia hidup" masyarakat.

Contohnya, laporan keuangan koperasi desa yang menekankan keseimbangan dan keadilan bukanlah penyimpangan dari standar, tetapi refleksi dari nilai-nilai gotong royong. Akuntansi lembaga zakat atau pesantren yang menekankan keseimbangan spiritual adalah bentuk ekspresi moral, bukan kekeliruan prosedural.

Dengan cara ini, pendekatan hermeneutik mendamaikan standar global dengan nilai lokal, menciptakan dialog antara tradisi dan modernitas sebagaimana dijelaskan Gadamer dalam konsep fusion of horizons.

Hermeneutik membantu para akuntan, akademisi, dan peneliti Indonesia memahami bahwa akuntansi tidak hanya tunduk pada aturan formal, tetapi juga pada makna dan nilai yang hidup di masyarakat.

5. Menginspirasi Perubahan Paradigma dalam Pendidikan dan Penelitian Akuntansi

Hermeneutik juga membawa dampak penting bagi dunia pendidikan dan penelitian akuntansi. Dalam pendidikan, pendekatan ini menanamkan kesadaran bahwa akuntansi bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga disiplin moral dan sosial. Mahasiswa diajak untuk berpikir reflektif, kritis, dan empatik menyadari bahwa di balik angka selalu ada manusia dan nilai.

Dalam penelitian, hermeneutik membuka ruang bagi metode kualitatif dan interpretatif yang menafsirkan makna di balik fenomena akuntansi. Peneliti tidak lagi sekadar mencari korelasi antar variabel, tetapi menggali pemahaman mendalam tentang bagaimana akuntan, manajer, atau masyarakat menafsirkan angka-angka tersebut.

Pendekatan ini menggeser paradigma riset akuntansi dari positivistik menuju humanistik, di mana pemahaman lebih penting daripada sekadar pembuktian statistik. Dengan demikian, hermeneutik menjadi jembatan antara teori dan praktik, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.

6. Menegaskan Akuntansi sebagai Bahasa Moral dan Sosial

Hermeneutik Dilthey memandang akuntansi sebagai bentuk komunikasi moral antara manusia. Setiap laporan keuangan adalah "teks" yang berbicara kepada publik tentang tanggung jawab, kejujuran, dan legitimasi. Dalam pandangan ini, tugas akuntan mirip dengan seorang penafsir teks sastra: membaca, memahami, dan menyampaikan makna secara jujur.

Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Iwan Triyuwono dan Mulawarman, dua akademisi Indonesia yang mengembangkan konsep akuntansi spiritual dan etis. Mereka menegaskan bahwa akuntansi yang sejati adalah akuntansi yang memanusiakan manusia bukan yang menindas dengan angka.

Dengan menempatkan makna, empati, dan tanggung jawab sebagai inti, hermeneutik Dilthey membantu akuntansi kembali ke akar moralnya. Akuntan bukan sekadar teknisi angka, tetapi juga penafsir kehidupan ekonomi yang bertugas menjaga keseimbangan antara kepentingan finansial dan kemanusiaan.

7. Hermeneutik sebagai Landasan Akuntansi yang Berkelanjutan

Akhirnya, hermeneutik memberikan dasar bagi terciptanya akuntansi yang berkelanjutan secara moral dan sosial. Ia mengajarkan bahwa keberlanjutan tidak hanya diukur dari laba jangka panjang, tetapi juga dari keberlangsungan nilai kemanusiaan di dalamnya.

Akuntansi hermeneutik membantu dunia bisnis untuk berpikir melampaui laporan keuangan:

  • Bagaimana keputusan keuangan mempengaruhi kehidupan orang lain?
  • Apakah keuntungan perusahaan mencerminkan keseimbangan sosial?
  • Bagaimana angka-angka dapat menjadi alat refleksi, bukan sekadar alat kontrol?

Pertanyaan-pertanyaan ini memperlihatkan bahwa hermeneutik bukan hanya teori abstrak, tetapi juga panduan praktis untuk menciptakan dunia ekonomi yang lebih adil, reflektif, dan manusiawi.

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Bagaimana Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey Diterapkan dalam Akuntansi Modern ?

Pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey tidak hanya memberikan fondasi filosofis, tetapi juga arah praktis bagi dunia akuntansi masa kini. Hermeneutik bukan sekadar teori abstrak tentang pemahaman, melainkan metode reflektif untuk menafsirkan makna di balik setiap angka, kebijakan, dan laporan. Dalam konteks modern yang serba digital, pendekatan ini menuntun para akuntan, auditor, peneliti, dan pendidik untuk melihat akuntansi sebagai bahasa kehidupan manusia.

1. Penerapan dalam Pelaporan Keuangan: Dari Data ke Narasi Makna

Pelaporan keuangan adalah salah satu bidang paling jelas di mana pendekatan hermeneutik dapat diterapkan. Dalam paradigma konvensional, laporan keuangan dinilai berhasil jika sesuai dengan standar formal seperti PSAK atau IFRS. Namun, dari sudut pandang hermeneutik, keberhasilan sejati terletak pada kejujuran makna yang dikandung laporan tersebut.

Artinya, laporan keuangan seharusnya tidak hanya menginformasikan angka laba, aset, atau kewajiban, tetapi juga menceritakan narasi moral dan sosial di balik angka-angka tersebut. Laporan keuangan menjadi semacam teks sosial yang merefleksikan nilai, budaya, dan tanggung jawab perusahaan.

Sebagai contoh, laporan keberlanjutan (sustainability report) yang disusun oleh perusahaan dapat ditafsirkan melalui lensa hermeneutik sebagai bentuk komunikasi etis. Dalam laporan itu, perusahaan tidak hanya melaporkan aktivitasnya, tetapi juga menyampaikan pesan moral kepada masyarakat bahwa mereka peduli terhadap keseimbangan sosial dan ekologis.

Dengan demikian, pelaporan keuangan bukan sekadar alat akuntabilitas teknis, tetapi juga media dialog antara organisasi dan publik sebuah "fusi horizon" antara dunia korporasi dan nilai-nilai sosial masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Gadamer.

2. Dalam Audit dan Akuntabilitas: Memahami Sebelum Menilai

Profesi auditor sering kali didefinisikan sebagai penegak objektivitas. Namun, hermeneutik menantang pandangan ini dengan menegaskan bahwa memahami lebih dahulu sebelum menilai adalah inti dari akuntabilitas sejati.

Seorang auditor hermeneutik tidak hanya mencari kesalahan dalam angka, melainkan berusaha memahami makna tindakan manajemen: mengapa keputusan diambil, dalam konteks apa, dan dengan nilai apa. Pendekatan ini menuntut empati (Einfhlung) kemampuan untuk "masuk" ke dalam pengalaman batin pihak lain tanpa kehilangan integritas profesional.

Sebagaimana ditekankan oleh Michael Power dalam The Audit Society (1997), masyarakat modern sering kali menjadikan audit sebagai ritual administratif. Hermeneutik mengubah fungsi itu: dari sekadar ritual menjadi proses pemaknaan sosial. Audit bukan hanya memastikan kepatuhan, tetapi membangun kepercayaan moral antara auditor, perusahaan, dan masyarakat.

Pendekatan ini juga menegaskan bahwa akuntabilitas sejati tidak hanya diukur dari kepatuhan pada standar, tetapi juga dari ketulusan moral dan transparansi niat. Dengan memahami konteks sosial, auditor dapat menilai kejujuran dan integritas laporan secara lebih menyeluruh bukan hanya benar di atas kertas, tetapi juga bermakna bagi publik.

3. Dalam Corporate Social Responsibility (CSR): Dari Formalitas ke Kesadaran Moral

Hermeneutik menemukan relevansinya yang kuat dalam praktik CSR. Dalam paradigma bisnis konvensional, CSR kerap dipandang sebagai strategi reputasi atau kewajiban hukum. Namun, hermeneutik menafsirkan CSR sebagai narasi moral bentuk ekspresi nilai yang hidup dalam organisasi.

Laporan CSR seharusnya tidak berhenti pada daftar kegiatan atau angka dana yang disalurkan. Ia harus menjadi cermin dari kesadaran etis: bagaimana perusahaan memahami penderitaan masyarakat, menafsirkan kembali perannya, dan bertransformasi menuju tanggung jawab sosial yang sejati.

Paul Ricoeur, dengan gagasan etika naratif-nya, menegaskan bahwa moralitas sejati lahir dari kisah hidup. Dalam konteks ini, setiap laporan CSR dapat dilihat sebagai "kisah moral" perusahaan sebuah upaya untuk menyampaikan pengalaman etisnya kepada publik.

Dengan demikian, hermeneutik mengubah CSR dari sekadar kewajiban administratif menjadi bentuk komunikasi empatik antara perusahaan dan masyarakat. Ia memulihkan makna kemanusiaan di tengah sistem ekonomi yang sering kali dingin dan rasional.

4. Dalam Akuntansi Publik dan Pemerintahan: Membangun Kepercayaan dan Legitimasi

Di sektor publik, pendekatan hermeneutik menjadi landasan penting untuk memperbaiki krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Laporan keuangan pemerintah, misalnya, sering dipandang hanya sebagai dokumen formal. Namun, dari perspektif hermeneutik, laporan tersebut memiliki makna yang jauh lebih dalam: ia adalah narasi amanah publik.

Ketika pemerintah menyusun laporan keuangan, yang sejatinya sedang dilakukan bukan hanya pelaporan angka, melainkan penyampaian makna tanggung jawab moral kepada rakyat. Transparansi keuangan pemerintah bukan hanya soal efisiensi birokrasi, tetapi bentuk komunikasi kejujuran antara negara dan warganya.

Pendekatan ini sangat relevan di Indonesia, di mana nilai amanah dan gotong royong menjadi bagian penting dari budaya sosial. Dengan hermeneutik, pelaporan keuangan pemerintah dapat ditafsirkan sebagai dialog moral antara penguasa dan rakyat, bukan sekadar pemenuhan kewajiban administratif.

5. Dalam Pendidikan Akuntansi: Membangun Kesadaran Reflektif Mahasiswa

Hermeneutik juga memiliki peran transformasional dalam pendidikan akuntansi. Selama ini, pembelajaran akuntansi di banyak perguruan tinggi masih didominasi pendekatan teknis berfokus pada PSAK, IFRS, dan analisis numerik. Padahal, inti dari akuntansi adalah pemahaman tentang manusia dan tanggung jawabnya.

Melalui pendekatan hermeneutik, pendidikan akuntansi diarahkan agar mahasiswa tidak hanya menguasai logika perhitungan, tetapi juga memahami nilai moral di balik setiap angka. Mahasiswa diajak untuk merenungkan makna kejujuran, integritas, dan keseimbangan sosial dalam setiap praktik pelaporan.

Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Iwan Triyuwono (2011) yang memperkenalkan spiritual accounting. Ia menegaskan bahwa pendidikan akuntansi seharusnya membentuk akuntan yang sadar nilai, bukan hanya cerdas teknis. Hermeneutik menjadi metodologi yang memungkinkan mahasiswa mengalami refleksi eksistensial menyadari bahwa akuntansi adalah praktik kemanusiaan, bukan sekadar sistem logika.

Dengan pendekatan ini, kampus bukan hanya tempat belajar teori, melainkan ruang dialog antara angka dan nilai, antara rasionalitas dan moralitas.

6. Dalam Era Digital dan Otomatisasi: Menjaga Jiwa Manusia di Tengah Mesin

Perkembangan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah wajah akuntansi secara drastis. Banyak pekerjaan akuntan kini digantikan oleh sistem otomatis, dari pencatatan transaksi hingga analisis data keuangan. Namun, hermeneutik mengingatkan bahwa mesin dapat menghitung, tetapi hanya manusia yang dapat memahami.

Teknologi hanya mampu memproses informasi, tetapi makna dari informasi itu tetap berada di tangan manusia. Ketika sistem akuntansi digital dijalankan tanpa nilai, yang muncul bukan efisiensi, melainkan dehumanisasi.

Sebagaimana dikemukakan oleh Yunita (2023), otomatisasi tanpa kesadaran moral justru menciptakan "alienasi baru" di mana manusia menjadi hamba dari sistem yang ia ciptakan sendiri. Hermeneutik menolak hal ini dengan menegaskan bahwa manusia harus tetap menjadi penafsir utama dari hasil kerja teknologi.

Dalam praktiknya, hermeneutik dapat diterapkan dengan:

  • Memastikan sistem akuntansi digital mengakomodasi nilai etis seperti transparansi dan keadilan.
  • Menumbuhkan kesadaran reflektif pada pengguna teknologi agar tidak hanya memahami data, tetapi juga makna sosial di baliknya.
  • Menjadikan kecerdasan buatan sebagai alat bantu, bukan pengganti nilai kemanusiaan.

Dengan demikian, hermeneutik bukanlah antitesis dari teknologi, melainkan penuntun moral bagi pemanfaatannya.

7. Dalam Riset Akuntansi: Dari Analisis ke Pemahaman

Dalam dunia penelitian, hermeneutik memberi arah baru yang berbeda dari paradigma empiris-positivistik. Alih-alih berfokus pada pengujian hipotesis, riset hermeneutik berusaha menafsirkan pengalaman dan makna dari praktik akuntansi.

Metode ini mendorong peneliti untuk terlibat langsung dengan subjek penelitiannya, melakukan dialog, dan menafsirkan makna dari narasi yang muncul. Riset hermeneutik tidak mengejar generalisasi, tetapi pemahaman mendalam terhadap konteks.

Contohnya, penelitian tentang perilaku auditor atau keputusan etis manajer dapat dilakukan dengan pendekatan fenomenologis-hermeneutik untuk memahami bagaimana nilai-nilai pribadi, budaya organisasi, dan tekanan sosial membentuk praktik akuntansi sehari-hari.

Pendekatan ini menghasilkan pengetahuan yang lebih manusiawi dan reflektif, sejalan dengan pandangan Dilthey bahwa ilmu sosial bertujuan bukan untuk menjelaskan (erklren), melainkan memahami (verstehen).

8. Mewujudkan Akuntansi sebagai Seni Memahami Kehidupan

Pada akhirnya, penerapan hermeneutik Wilhelm Dilthey dalam akuntansi modern membawa kita pada kesadaran baru: bahwa akuntansi bukan sekadar sistem ekonomi, melainkan seni memahami kehidupan manusia.

Ketika seorang akuntan menyusun laporan, seorang auditor menilai kebenaran, atau seorang dosen mengajar akuntansi, yang sesungguhnya mereka lakukan adalah menafsirkan makna kehidupan sosial melalui angka. Dalam setiap transaksi, terdapat cerita tentang niat, perjuangan, dan tanggung jawab moral.

Hermeneutik menjadikan akuntansi bukan alat kekuasaan, tetapi bahasa empati dan kejujuran. Dengan memahami manusia di balik angka, akuntansi tidak hanya menjadi sarana ekonomi, tetapi juga sarana kemanusiaan tempat di mana rasionalitas bertemu moralitas, dan data bertemu makna.

Penutup

Pendekatan hermeneutik Wilhelm Dilthey mengajarkan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya lahir dari penjelasan yang objektif, tetapi dari pemahaman yang hidup. Dalam konteks akuntansi, ini berarti setiap angka, laporan, dan transaksi memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar nilai nominal. Ia adalah cermin kehidupan manusia kehidupan yang penuh nilai, niat, dan tanggung jawab moral.

Hermeneutik menjadikan akuntansi bukan hanya sistem teknis, melainkan bahasa kehidupan. Setiap laporan keuangan bisa dibaca seperti teks yang bercerita tentang perjuangan, niat baik, dan dilema moral pelaku ekonomi. Dengan memahami makna di balik angka, kita tidak hanya menjadi akuntan yang cerdas, tetapi juga manusia yang bijak.

Pendekatan ini menantang paradigma lama yang terlalu positivistik, di mana kebenaran dianggap hanya bisa diukur dengan statistik dan rasionalitas. Dilthey mengingatkan bahwa kebenaran juga bisa ditemukan dalam koherensi makna, dalam empati terhadap pengalaman orang lain, dan dalam nilai-nilai moral yang menuntun tindakan manusia.

Dalam dunia akuntansi modern yang kini sarat teknologi, hermeneutik menjadi jembatan antara manusia dan sistem. Ketika kecerdasan buatan mengambil alih proses pencatatan, manusia justru memiliki peran baru: menjadi penafsir makna, penjaga nilai, dan penghubung antara angka dan nurani. Akuntansi tidak lagi sekadar bicara tentang how much, tetapi juga what for dan why.

Bagi mahasiswa dan dosen, pendekatan ini membuka cakrawala baru: bahwa belajar akuntansi berarti juga belajar memahami manusia. Bagi praktisi, hermeneutik menjadi landasan untuk membangun kepercayaan dan tanggung jawab sosial. Bagi masyarakat luas, ia menghadirkan keyakinan bahwa laporan keuangan bukan sekadar dokumen administratif, tetapi juga bentuk komunikasi moral antara lembaga dan publik.

Indonesia, dengan kekayaan nilai-nilai spiritual dan sosial seperti gotong royong, kejujuran, dan tanggung jawab kolektif, memiliki tanah subur untuk mengembangkan paradigma akuntansi hermeneutik. Nilai-nilai lokal dapat hidup berdampingan dengan standar global, selama kita memahami maknanya dengan hati.

Seperti kata Gadamer, "Pemahaman sejati bukanlah menyalin makna orang lain, melainkan berjumpa dengan makna itu dalam dialog." Dalam akuntansi, dialog ini terjadi antara angka dan nurani, antara laporan dan realitas, antara manusia dan kemanusiaannya sendiri.

Oleh karena itu, akuntansi hermeneutik bukan sekadar teori ia adalah cara hidup.
Cara untuk memahami bahwa setiap angka adalah cerita, setiap laporan adalah refleksi moral, dan setiap keputusan ekonomi adalah cermin tanggung jawab kemanusiaan kita.

Dengan menyatukan epistemologi (pemahaman makna), ontologi (kehidupan sosial), dan aksiologi (nilai moral), Wilhelm Dilthey telah membuka jalan bagi kita untuk melihat akuntansi sebagai seni memahami kehidupan. Dan selama manusia masih mencari makna di balik angka, hermeneutik akan tetap relevan bukan hanya di ruang akademik, tetapi di setiap ruang di mana manusia berusaha hidup dengan jujur dan bermakna.

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Dokumen Modul dari Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Daftar Pustaka

Belkaoui, A. R. (2004). Accounting Theory. London: Thomson Learning.

Chua, W. F. (1986). Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting Review, 61(4), 601--632.

Dilthey, W. (1989). Introduction to the Human Sciences. Princeton: Princeton University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method. London: Continuum Publishing.

Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action: Reason and the Rationalization of Society. Boston: Beacon Press.

Heidegger, M. (1962). Being and Time. New York: Harper & Row.

Laughlin, R. (1995). Empirical Research in Accounting: Alternative Approaches and a Case for "Middle-Range" Thinking. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 8(1), 63--87.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of Perception. London: Routledge.

Mulawarman, A. D. (2018). Akuntansi Syariah: Ruang Lintas dan Jembatan Nilai Ilahiah dan Insaniyah. Malang: UB Press.

Power, M. (1997). The Audit Society: Rituals of Verification. Oxford: Oxford University Press.

Ricoeur, P. (2004). The Rule of Metaphor: Multi-disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language. London: Routledge.

Triyuwono, I. (2006). Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Triyuwono, I. (2011). Hermeneutika dan Spiritualitas dalam Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2(1), 1--19.

Weber, M. (2002). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. London: Routledge.

Yunita, D. (2023). Accounting and Humanity: Reinterpreting Financial Accountability in the Digital Age. Journal of Contemporary Accounting Studies, 7(2), 121--139.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun