Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Terpleset ke Kulit Pisang yang Memlesetkan!

4 September 2020   04:00 Diperbarui: 4 September 2020   08:02 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seandainya kata demokrasi itu dapat disepadankan dengan anjing ras, maka kita akan sepakat, bahwa Amerika adalah jenis anjing ber-ras paling murni. 

Demokrasi yang dari 'sono'-nya berciri-khas individualistik, kemudian ditumbuh-kembangkan secara ketat dan murni, maka lahirlah anjing ras termurni (baca: demokrasi) ala Amerika; semua gimik, simbol, dan aroma demokrasi terpenuhi hingga serinci-rincinya, dan warga Amerika gemar menepuk dada negara-nya sebagai pusat eksperimen demokrasi tercanggih di dunia(dan pastinya juga disertai perasaan 'terhandal'). 

Yah, memang harus kita akui, demokrasi termewah dan termahal memang hanya ada di Amerika; sedemikian mahalnya demokrasi bagi Amerika, sehingga rela mencarut-marutkan generasi-mudanya demi mendukung lahirnya bayi demokrasi di Vietnam (atau demi mereduksi ancaman paham komunisme di Asia tenggara), meskipun ujung-ujungnya kegagalan yang harus diterima. 

Harga mahalnya nilai-nilai demokrasi di sana mustahil terbentuk tanpa ada rasa hormat dan rasa memiliki yang sedemikian dalam di dada setiap warga AS. Kedalaman keyakinan warga AS pada nilai-nilai demokrasi tidak perlu kita perdebatkan, karena hanya dengan kedalaman keyakinannya-lah, AS rela (bahkan antusias) untuk berperan sebagai polisi dunia.

Tapi, apa yang terjadi di sekitaran era tahun 2015 hingga 2018?  Penulis kutipkan cukilan alinea dari bukunya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt yang berjudul "How Democracies Die" :

"We feel dread, as do so many other Americans, even as we try to reassure ourselves that things can't really be that bad here. After all, even though we know democracies are always fragile, the one in which we live has somehow managed to defy gravity. 

Our Constitution, our national creed of freedom and equality, our historically robust middle class, our high levels of wealth and education, and our large, diversified private sector---all these should inoculate us from the kind of democratic breakdown that has occurred elsewhere.

Yet, we worry. American politicians now treat their rivals as enemies,intimidate the free press, and threaten to reject the results of elections. They try to weaken the institutional buffers of our democracy, including the courts, intelligence services, and ethics offices. 

American states, which were once praised by the great jurist Louis Brandeis as "laboratories of democracy," are in danger of becoming laboratories of authoritarianism as those in power rewrite electoral rules, redraw constituencies, and even rescind voting rights to ensure that they do not lose. 

And in 2016, for the first time in U.S. history, a man with no experience in public office, little observable commitment to constitutional rights, and clear authoritarian tendencies was elected president.

     What does all this mean? Are we living through the decline and fall of one of the world's oldest and most successful democracies?"

Dengan perbandingan di atas, penulis bukannya hendak memadankan demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal ala AS; melainkan hendak mengajak pembaca agar tidak rentan dikejutkan oleh berbagai isu kulit-luar 'demokrasi' yang terlanjur populer dalam kepala kita.

Keterkejutan kita kekinian pada isu dinasti, oligarki dan sebagainya belum ada seujung kuku kecemasan warga AS di era menjelang abad milenial terkait perubahan drastis praksis kedemokrasian oleh para elit dan aktor politiknya. 

Meskipun isu yang dipermasalahkan agak berbeda, yang menurut penulis lebih disebabkan oleh perbedaan nilai-dasar antara demokrasi yang bersifat individualistis dan yang Pancasilais, namun ada kesamaan esensi yang melatar-belakangi keterkejutan dan ketidaksiapan kita dan mereka. Apa kiranya unsur kesamaan penting itu?  

Pertama, karena kita dan mereka (warga AS saat itu) hanya memahami dan meyakini demokrasi sebatas sebagai produk suatu praksis politik kemasyarakatan yang sudah jadi; yang adalah produk hukum, produk kelembagaan, produk tata-cara atau ritual berdemokrasinya belaka; dan mengabaikan dinamika proses budaya dan kesejarahan lahirnya nilai-nilai demokrasi. Kita (juga mereka) terkejut dan tergagap-gagap manakala ada aktor politik pembaharu yang merombak semua tatanan lahir demokrasi sebagai 'kemestian' tuntutan perubahan era millenial yang drastis, atau aktor politik yang ingin mengubah samasekali demokrasi menjadi otoriter, melalui cara awal mimikri demokrasi (fake democratization).

Lalu apa nilai dasar yang melatar-belakangi budaya demokrasi? Nilai dasar utamanya, menurut penulis, adalah nilai perlindungan 'martabat' manusia; maka dalam demokrasi liberal dikenal perlindungan hak azasi manusia sebagai patok atau prasyarat dasar martabat manusia individu yang berpaham liberal. 

Dalam demokrasi Pancasila, nilai-nilai HAM itu harus kita tafsirkan dalam kerangka ideologi Pancasila alih-alih dari sudut pandang liberal individualisme, karena kita telah sepakat, bahwa Pancasila-lah patok nilai dasar kemartabatan manusia Indonesia. 

Orang Amerika, memandang peran negara harus berlandaskan hanya pada atau demi nilai kebebasan individualnya; sedangkan kita, memandang peran negara berlandaskan pada pemenuhan nilai semua sila dalam Pancasila. 

Seberapa jauh negara telah berperan atau berkiprah pada setiap warga-negaranya, ditentukan, sedikit banyak, oleh seberapa dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila dari para warga-negaranya. 

Dengan demikian, isu-isu demokrasi liberal seperti oligarki dan politik dinasti tidak serta-merta dapat kita terapkan secara mutlak dan baku sebagaimana yang dipahami oleh para aktor demokrasi liberal individualisme; kita masih berhak membahas kedua konsep itu dalam terang cahaya sila-sila dalam Pancasila sebagaimana yang telah kita yakini sebagai patok nilai martabat hidup manusia dan kebangsaan.

"Adakah nilai-nilai dalam keseluruhan dan kepaduan sila-nya Pancasila yang secara tersurat dan tersirat melarang kedua konsep tersebut? Bila ada, seberapa jauh dan dalam nilai keberpantangan atau nilai toleransi-nya?" 

Inilah nilai-nilai yang harus kita bahas dan kita cermati untuk proses pendidikan politik yang telah dirintis oleh ibu Megawati dengan PDI-nya.

Lalu apa hubungannya bahasan di atas dengan kasus kekiniannya perseteruan PKS dengan ibu Puan Maharani (terkait himbauannya agar penduduk Sumbar lebih mendukung Pancasila)? 

Hubungannya, ya hubungan yang tidak relevan. Ibu Puan, bertolak dari visi pendidikan politik dengan harapan penduduk Sumbar dapat lebih 'dalam' memahami dan menghayati nilai-nilai yang dikandung Pancasila melalui keterpilihan calon wakilnya dari PDI, yang dianggapnya lebih kompeten dalam menularkan pesan pendidikan politik Pancasilais daripada calon wakil parpol selain PDI. 

Sedangkan pihak PKS,  bertolak dari asumsian Pancasila sebagai dasar-negara yang secara asumsian "take it for granted" telah dipahami semua warga-negara (sebagaimana contoh kasus keterkejutan warga AS pada perubahan drastis nilai kemasyarakatannya pada tahun 2016); dan menganggap himbauan ibu Puan sebagai ungkap kesombongan ala gaya sosok pe-monopoli dasar-negara Pancasila. Seandainya almarhum Gus Dur masih hidup, mungkin ia akan segera berujar :"Gitu aja kok repot!?"

Sedangkan penulis, melihatnya dari sudut kelinglungan penulis sendiri :"Sebenarnya yang terpeleset itu ibu Puan (terpeleset ucapan) atau pihak PKS (terpeleset tafsirannya) atau kedua-duanya kompak saling terpeleset atau bahkan kedua-duanya sebenarnya tidak terpeleset ; sekedar dipleset-plesetkan pewacananya saja ?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun