Sore itu, langit di atas desa kami berubah warna --- abu keperakan menggulung pelan, seperti selimut raksasa yang menutup matahari. Suara gemuruh dari arah gunung membuat dada bergetar, tapi tangan-tangan kami tetap bekerja seperti biasa. Aku masih di puskesmas, memeriksa suhu tubuh seorang anak kecil yang demam karena batuk dan debu.
Ibunya memeluknya erat, matanya menatap keluar jendela yang mulai buram oleh abu vulkanik.
"Masih aman, kan, Bu?" tanyanya dengan suara bergetar.
Aku hanya bisa tersenyum tipis. "Selama sirene belum berbunyi, kita tetap di sini, ya, Bu."
Beberapa bulan terakhir, letusan Merapi tak kunjung berhenti. Abu menutupi genteng, dinding, bahkan halaman yang dulu hijau. Gedung puskesmas kami pun mulai tak sanggup menahan beban. Retakan di dinding menjalar seperti urat luka yang tak kunjung sembuh.
Setiap kali hujan turun, kami harus bergegas memindahkan meja, lemari obat, bahkan tempat tidur pasien --- karena air menetes dari atap bocor di mana-mana.
Pernah suatu malam, kami bekerja hanya dengan cahaya senter HP. Suara hujan deras di atap rusak bercampur dengan batuk pasien dan tangisan bayi. Beberapa ruangan sudah tidak bisa digunakan lagi.
Kami berpindah-pindah ruangan, menumpang di aula sempit yang masih cukup kuat berdiri.
Tapi meski tempatnya berpindah, semangat kami tidak pernah ikut berpindah --- tetap di sini, di hati kami yang belajar tegar.
Di tengah abu dan debu, kami masih bisa tertawa kecil, saling berbagi masker, dan menguatkan diantara kami dan pasien.Â