Jagung muda, kacang rebus, ketimun ukuran jumbo dan olahan darah ayam khas timor dengan cita rasa yang kaya. Gemercik air kali dan merdu suara burung menjadi perpaduan sempurna menikmati santap siang bersama di tengah kebun.
"Usi, hari minggu misa pagi e, supaya pulang misa kita pergi kebun cabut kacang!"
Ajakan singkat padat dan terarah di tengah pertandingan seru Atalanta vs Newcastle United yang kami mainkan di PS 3 Jumat siang.
Begitu banyak kampung di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang belum pernah dikunjungi membuat saya begitu bersemangat diajak ke kebun yang menurut Pak Eman tidak jauh.
Orang timor punya ungkapan seperti  "sonde jauh usi, masuk dari Maubesi cabang paroki, abis itu kita ambil kanan lai, lurus sedikit abis di situ su. Dekat dekat kali !"
Berdasarkan pengalaman semasa kuliah di tanah timor waktu dulu, ungkapan "dekat sini sa" ini bisa diterjemahkan menjadi "naik gunung, turun melewati lembah, naik lagi ke gunung, turun lagi, lalu naik bukit lalu turun 200 meter lalu tiba di tujuan". Jadi saya tidak ingin menjadi polos-polos amat dengan berharap 30 menit motoran lalu sampai di kebun dimaksud.
Budaya dawan yang berbeda dengan budaya lamaholot di Lewolema Flores Timur (Flotim) menjadi daya tarik untuk melihat langsung bagaimana orang-orang Timor berkebun. Termasuk penasaran dengan bagaimana bentuk pondok, seluas apa kebun mereka dan apakah ada harimau dan singa di hutan sana.
Hari Minggu sekira jam sepuluh pagi saya sudah bersama Pak Eman dan keluarganya. Kami singgah ke pasar, belanja perbekalan. Di mobil pick up sudah dimuat banyak barang. Ada beras sekarung, alat masak, tikar dan bantal.
Ada pula dua ekor ayam yang sepertinya takdir mereka di hidup dunia akan segera berakhir. Terlihat dari ekspresi wajah Pak Eman ketika melunasi ayam ayam itu. Seperti gemas melihat yang gemoy.