Seorang bapak duduk di hadapan saya dengan wajah lelah dan suara yang berat. Ia mulai membuka cerita tentang anak semata wayangnya. Anak yang dulu ia besarkan dengan penuh cinta dan harapan, anak yang kini justru membuatnya sering mengelus dada.
Anaknya sudah bekerja. Tapi baru satu tahun, ia sudah tiga kali pindah kerja. Di setiap tempat, selalu ada masalah. Bukan karena prestasi yang kurang, bukan karena tak mampu, tapi karena hatinya terlalu mudah terluka. Mudah tersinggung. Mudah merasa dunia tak berpihak padanya.
Di tempat kerja ketiga, puncaknya terjadi. Ia telat mengumpulkan laporan proyek, dan atasannya menegurnya dengan tegas. Lalu ia pulang ke rumah dengan wajah kesal dan berkata, "Pak, emangnya dia siapa? Bapak sama Ibu aja nggak pernah bentak aku kayak gitu!" Lalu kalimat berikutnya yang ia ucapkan membuat ayahnya terdiam: "Aku nggak butuh-butuh amat kerja di sini." Dan, seperti sebelumnya, hanya dalam hitungan bulan, ia keluar lagi.
Sudah tiga bulan sejak kejadian itu. Tak ada pekerjaan baru. Tak ada lamaran yang dikirim. Tak ada usaha untuk bangkit. Yang ada justru permintaan uang saku kepada ibunya. Dan ibunya, karena terlalu sayang, kembali memberikannya. Sementara si bapak, hanya bisa diam dan menarik napas panjang.
Yang lebih membuat hati orang tuanya makin teriris, sang anak kini sedang berdiskusi dengan teman-temannya untuk membuat usaha sendiri. Tapi bukan karena gairah berwirausaha. Bukan karena panggilan hati untuk membangun sesuatu. Melainkan karena satu alasan yang bikin tercengang: "Biar nggak capek-capek bangun pagi kerja sampai sore."
Bukan visi yang menggerakkan, tapi keengganan menghadapi rutinitas. Bukan impian yang mendorong, tapi rasa malas yang menuntun.
Inilah sekilas potret nyata dari apa yang selama ini kita sebut dengan istilah strawberry generation. Generasi yang dari luar terlihat keren, terdidik, penuh potensi, tapi begitu disentuh tekanan sedikit saja, langsung hancur. Rapuh. Mudah patah.
Namun, saya tak ingin terlalu cepat menyalahkan mereka. Karena sering kali, mereka tak tumbuh sendiri seperti itu. Mereka adalah hasil dari pola asuh yang terlalu lembut.
Pola asuh yang penuh kasih, tapi absen dalam mendidik tanggung jawab. Mereka adalah anak-anak yang terlalu sering dimenangkan, bahkan sebelum bertanding. Anak-anak yang selalu dibela saat salah. Anak-anak yang selalu diselamatkan, bahkan ketika seharusnya dibiarkan jatuh agar bisa belajar bangkit.
Mereka tak pernah diajari bahwa hidup itu berat. Bahwa kerja itu menuntut. Bahwa dunia luar tidak selalu ramah. Bahwa tidak semua orang akan sabar dan pengertian seperti orang tua mereka. Dan ketika dunia nyata mulai menampar, mereka tak siap. Mereka lari. Mereka mundur. Mereka menyalahkan sekitar, tapi tak tahu cara menumbuhkan kekuatan dari dalam.