Sejarah politik dunia adalah panggung sirkus, dengan badut-badut berwajah garang yang berganti kostum, tetapi tetap menampilkan lakon busuk yang sama. Despot jatuh, tiran tumbang, diktator dipancung, absolutis digulingkan, demagog diseret, kleptokrat dipermalukan, plutokrat ditelanjangi, oligark ditumbangkan---namun rakyat tetap lapar, tetap dikhianati, tetap ditipu.
Mengapa? Karena sistem tidak ikut digulingkan. Yang runtuh hanyalah pemain sandiwara, bukan panggungnya. Kuda-kuda elite selalu punya suksesor, cadangan, bahkan understudy untuk melanjutkan lakon yang sama. Setiap kali kursi goyah, elite lama menyerahkan tongkat estafet kepada elite baru---yang sebenarnya berasal dari rahim yang sama, jaringan yang sama, bahkan DNA politik yang sama.
Hasilnya? Topeng berganti, rasa tetap busuk.
Einstein pernah bilang:
"Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda."
Â
Politik kita sudah lama jadi rumah sakit jiwa. Rakyat dipaksa jadi pasien permanen, diberi obat bius berupa jargon nasionalisme, moral agama, dan janji-janji palsu. Setiap rezim baru berteriak "perubahan!", padahal perubahan itu sebatas cat ulang tembok kumuh dengan warna lebih norak.
Rakyat: Pasrah atau Melawan?
Pertanyaan klise: kalau begini terus, rakyat harus apa? Pasrah?
Jawaban sadis: ya, selama rakyat tidak berani berpikir kolektif, pasrah adalah takdir yang dipilih sendiri.
Rakyat selalu dibius identitas agama, etnis, dan moral puritan. Pecah belah jadi gampang, apalagi jika ditaburi bumbu ayat suci. Selama rakyat sibuk menuduh sesama warga sebagai "kafir", "sesat", atau "tidak bermoral", para elite dengan tenang mencuri pajak, mengangkangi undang-undang, dan menyedot sumber daya.