Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: Kisah Cinta Dewi Cipta Rasa - Raden Kamandaka(29)

22 Juli 2014   18:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:34 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14060008591810354769

SERI 29

“Jangan khawatir Kanda. Kalau hanya soal menjaga rahasia, bagi Dinda itu soal yang mudah. Sekarang, Dinda akan memenuhi sumpah dan janji Dinda kepada Kanda. Kanda sudah mampu memenuhi permintaan Dinda yaitu memberikan penjelasan pertanyaan Dinda dengan amat memuaskan. Kini tiba saatnya Dinda berkorban untuk kebahagiaan Kanda. Terimalah persembahan Dinda, Kanda Kamandaka. Dinda akan serahkan jiwa raga Dinda kepada Kanda malam ini juga. Malam ini Dinda siap menjadi bahtera bagi Kanda. Marilah Kanda kita berlayar bersama menuju samudra cinta penuh bahagia. Marilah Kanda kita  bermain asmara merayakan kebahagian yang telah dianugerahkan oleh Dewa kepada kita berdua.”

Sang Dewi segera bangkit dari tempat duduknya, dilepasnya selendang sutra kuning  yang melingkar di lehernya, sehingga Raden Kamandaka bisa melihat leher putih yang terlilit seuntai kalung emas yang berkilauan tertimpa cahaya redup yang temaram.

“Terimalah selendang sutra kuning ini, Kanda Kamandaka. Bawalah ia beserta Kanda bila besok Kanda akan kembali ke Pajajaran. Anggap saja selendang kuning ini  sebagai wakil Dinda,” ujar Sang Dewi sambil mengulurkan selendang sutra kuning kepada Raden Kamandaka.

Tentu saja Raden Kamandaka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Pergelangan tangan Sang Dewi yang berhiaskan sepasang gelang emas itu  segera ditarik ke arahnya. Sesaat kemudian, Sang Dewi sudah jatuh di atas pangkuan Raden Kamandaka. Dia pun segera menghujani dengan ciuman dan pelukan kepada  gadis pujaannya yang dirindukannya siang malam itu. Itulah ciuman dan pelukan yang baru pertama kali dirasakan Sang Dewi dari seorang pria. Sang Dewi segera  merasakan betapa indahnya ciuman dan pelukan  yang membuat jantungnya berdebar-debar dan api asmaranya mulai tersulut berkobar-kobar.

“Biyung Emban!”  Sang Dewi memanggil Emban Khandeg Wilis. “Biyung Emban, siapkan tempat tidurku dan jadikan semacam ranjang pengantin. Aku ingin bermain asmara dengan Kanda Kamandaka di atas tempat tidur. Jangan terlalu lama Biyung Emban,”  ujar Sang Dewi seraya melepaskan diri dari pelukan Raden Kamandaka.

“ Baik Ndara Putri. “

Emban Khandeg Wilis dengan cekatan membereskan dan merapikan tempat tidur Sang Dewi dan memberinya aneka macam pengharum ruangan yang menyegarkan. Beberapa kuntum kembang melati disebarkan diatas tilam tempat tidur Sang Dewi.

Sementara itu, selendang sutra kuning yang ada di tangan Sang Dewi ditinggalkan di pangkuan Raden Kamandaka. Raden Kamandaka meraih selendang sutra kuning yang halus dan lembut itu dan menciuminya beberapa kali.

Kini Sang Dewi Dyah Ayu Cipta Rasa yang  mulai terbakar api asmara itu, berdiri di depan Raden Kamandaka. Dilepasnya baju yang menutupi punggung dan dada Sang Dewi, sehingga Raden Kamandaka seakan-akan meyaksikan bidadari yang baru saja turun dari kahyangan. Punggung dan  dada Sang Dewi tampak putih bersih berkilat-kilat bak pualam,  belahan dadanya nampak jelas. Kain sutra hijau yang menghiasi dada Sang Dewi pun sudah dilepasnya. Yang tersisa tinggal korset berwarna hitam yang terikat erat melindungi kedua payudaranya yang indah itu serta sabuk panjang berwarna merah berlapis kuning emas yang mengikat kain yang melilit  pinggang Sang Dewi. Jika Sang Dewi Cipta Rasa terus melepas apapun yang melekat pada tubuhnya, nistaya Raden Kamandaka akan menyaksikan  kecantikan dan keindahan yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Sebuah keindahan alami bidadari tanpa selembar benang pun menutupi tubuhnya, bak patung pualam bercahaya  yang bisa bergerak yang akan membakar api asmara para ksatria dan brahmana di mana juga.

“Ndara Putri tempat peraduan sudah siap, Ndara Putri, “ tiba-tiba  Emban Khandeg Wilis memberitahu Ndara Putrinya.

“Baiklah Biyung. Sekarang Biyung Emban jaga di depan pintu. Tolong bantu aku, jika nanti  Kanda Kamandaka kesulitan tidak bisa membuka tali pengikat korset yang ada dipunggungku dan membuka tali pengikat  sabuk yang melilit dipinggangku.”

“Siap Ndara Putri .“

Emban Khandeg Wilis segera menjauh mengikuti perintah Ndara Putrinya.

“Kanda Kamandaka, marilah Kanda, ranjang pengantin telah siap. Bawa Dinda kesana Kanda.”

Raden Kamandaka yang juga tengah diamuk badai asmara itu, kembali memeluk tubuh Dyah Ayu Dewi Cipta Rasa. Dengan mudah   dingkatnya tubuh Sang Dewi dan dibawanya ketepi ranjang, kemudian dibaringkan diatas ranjang pengantin.  Tak lama kemudian Raden Kamandaka menyusul naik keatas ranjang, lalu berbaring disamping Sang Dewi. Kembali Raden Kamandaka memeluk dan menghujani dengan ciuman yang membuat Sang Dewi ingin terus mendaki ke puncak bukit cinta.

“ Kanda Kamandaka, bukalah tali pengikat korset yang ada di punggung Dinda dan tali pengikat sabuk yang melilit di pinggang Dinda.”  Sang Dewi memerintah Raden Kamandaka, sambil memunggunginya.

“ Aduh Dinda Dewi, belahan sukma Kakanda. Bagaimana mungkin Kanda bisa membuka tali ikatan korset Dinda Dewi dan tali pengikat sabuk Dinda Dewi  ? Kanda seumur hidup belum pernah kawin dan tidur seranjang dengan seorang gadis. Para Dewa menjadi saksinya, Dinda Dewi.”

Sang Dewi diam sesaat, kemudian membalikkan tubuhnya. Tiba-tiba air mata Sang Dewi meluncur-satu persatu menuruni dinding pipinya yang halus. Sang Dewi menangis karena merasa bahagia dan bangga bercampur aduk  menjadi satu. Dipeluknya Raden Kamandaka dan diciuminya beberapa kali.

“Dinda Dewi, kenapa Dinda tiba-tiba menangis?”

“Dinda menangis bukan karena sedih, Kanda. Tetapi karena bangga kepada Kanda. Kanda tidak bisa membuka tali dengan ikatan rahasia pada punggung  dan pinggang Dinda, itu suatu petunjuk Kanda seorang ksatria yang  belum pernah bersentuhan dengan wanita bangsawan manapun. Dinda bangga karena Dinda menjadi gadis cinta pertama Kanda. Gadis yang pertama kali disentuh,  dicium dan dipeluk oleh Kakanda.”

“Betul sekali, Dinda Dewi. Bagaimana cara membuka tali ikatan pada punggung dan pinggang Dinda?”

“Kanda Kamandaka. Kedua ikatan itu sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga kesucian gadis para bangsawan yang dipingit. Tujuannya agar  supaya gadis yang dipingit itu tetap utuh, tidak dirusak lelaki yang tidak bertanggung jawab. Hanya ada dua cara membukanya, Kanda. Pertama dengan bantuan Emban Khandeg Wilis, emban pengasuh Dinda. Kedua Kanda potong tali-tali pengikat itu dengan menggunakan pisau pemotong. Mana yang lebih kanda sukai?”

“Kanda tidak sampai hati jika harus menggunakan pisau pemotong, Dinda. Lagi pula Kanda masih ragu. Betapa kanda ingin bersama Dinda naik ke bukit cinta, tetapi kita belum melawati ritual perkawinan yang mendapatkan restu dari orang tua,” ujar Raden Kamandaka.

Entah mengapa tiba-tiba Raden Kamandaka ingat kisah dua Resi yang mendapat kutukan Dewa, karena tergoda nafsu birahi terhadap wanita. Kedua ceritera itu, tiba-tiba menjadi semacam rem pengendali tenaga asmaranya yang hampir meledak-ledak. Orang yang dimabok asmara, terkadang memang sering sekali kehilangan akal sehatnya.

Maka berkisahlah dia tentang Resi Wisrawa dan Resi Wismamitra kepada Sang Dewi. Sebuah kisah  yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu dari seorang Brahmana yang mendirikan sebuah Padepokan di kaki Gunung Salak, tidak jauh dari Kraton Pajajaran.

Dahulu para Dewa, demikian Raden Kamandaka bercerita kepada Sang Dewi yang berbaring di sampingnya, mengutuk Resi Wisrawa karena tanpa restu orang tua sang gadis, telah melakukan perkawinan dengan Dewi Sukaesih, Putri cantik jelita Prabu Somali dari Alengka. Demikian pula Resi Wismamitra, gagal menjalankan tapa brata, karena tergoda bidadari cantik, akhirnya mendapat kutukan Dewa pula. Baik Resi Wisrawa maupun Resi Wismamitra sama-sama tergoda wanita cantik dan sama-sama melakukan hubungan badan tanpa melewati ritual perkawinan sebagaimana ditentukan oleh undang-undang agama. Kedua resi itu pun sama-sama kehilangan akal sehatnya, gara-gara diamuk nafsu birahi yang tak terkendali.

Resi Wisrawa tergoda kecantikan Dewi Sukaesih yang seharusnya dilamar untuk anaknya(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun