SERI 29
“Jangan khawatir Kanda. Kalau hanya soal menjaga rahasia, bagi Dinda itu soal yang mudah. Sekarang, Dinda akan memenuhi sumpah dan janji Dinda kepada Kanda. Kanda sudah mampu memenuhi permintaan Dinda yaitu memberikan penjelasan pertanyaan Dinda dengan amat memuaskan. Kini tiba saatnya Dinda berkorban untuk kebahagiaan Kanda. Terimalah persembahan Dinda, Kanda Kamandaka. Dinda akan serahkan jiwa raga Dinda kepada Kanda malam ini juga. Malam ini Dinda siap menjadi bahtera bagi Kanda. Marilah Kanda kita berlayar bersama menuju samudra cinta penuh bahagia. Marilah Kanda kita bermain asmara merayakan kebahagian yang telah dianugerahkan oleh Dewa kepada kita berdua.”
Sang Dewi segera bangkit dari tempat duduknya, dilepasnya selendang sutra kuning yang melingkar di lehernya, sehingga Raden Kamandaka bisa melihat leher putih yang terlilit seuntai kalung emas yang berkilauan tertimpa cahaya redup yang temaram.
“Terimalah selendang sutra kuning ini, Kanda Kamandaka. Bawalah ia beserta Kanda bila besok Kanda akan kembali ke Pajajaran. Anggap saja selendang kuning ini sebagai wakil Dinda,” ujar Sang Dewi sambil mengulurkan selendang sutra kuning kepada Raden Kamandaka.
Tentu saja Raden Kamandaka tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Pergelangan tangan Sang Dewi yang berhiaskan sepasang gelang emas itu segera ditarik ke arahnya. Sesaat kemudian, Sang Dewi sudah jatuh di atas pangkuan Raden Kamandaka. Dia pun segera menghujani dengan ciuman dan pelukan kepada gadis pujaannya yang dirindukannya siang malam itu. Itulah ciuman dan pelukan yang baru pertama kali dirasakan Sang Dewi dari seorang pria. Sang Dewi segera merasakan betapa indahnya ciuman dan pelukan yang membuat jantungnya berdebar-debar dan api asmaranya mulai tersulut berkobar-kobar.
“Biyung Emban!” Sang Dewi memanggil Emban Khandeg Wilis. “Biyung Emban, siapkan tempat tidurku dan jadikan semacam ranjang pengantin. Aku ingin bermain asmara dengan Kanda Kamandaka di atas tempat tidur. Jangan terlalu lama Biyung Emban,” ujar Sang Dewi seraya melepaskan diri dari pelukan Raden Kamandaka.
“ Baik Ndara Putri. “
Emban Khandeg Wilis dengan cekatan membereskan dan merapikan tempat tidur Sang Dewi dan memberinya aneka macam pengharum ruangan yang menyegarkan. Beberapa kuntum kembang melati disebarkan diatas tilam tempat tidur Sang Dewi.
Sementara itu, selendang sutra kuning yang ada di tangan Sang Dewi ditinggalkan di pangkuan Raden Kamandaka. Raden Kamandaka meraih selendang sutra kuning yang halus dan lembut itu dan menciuminya beberapa kali.
Kini Sang Dewi Dyah Ayu Cipta Rasa yang mulai terbakar api asmara itu, berdiri di depan Raden Kamandaka. Dilepasnya baju yang menutupi punggung dan dada Sang Dewi, sehingga Raden Kamandaka seakan-akan meyaksikan bidadari yang baru saja turun dari kahyangan. Punggung dan dada Sang Dewi tampak putih bersih berkilat-kilat bak pualam, belahan dadanya nampak jelas. Kain sutra hijau yang menghiasi dada Sang Dewi pun sudah dilepasnya. Yang tersisa tinggal korset berwarna hitam yang terikat erat melindungi kedua payudaranya yang indah itu serta sabuk panjang berwarna merah berlapis kuning emas yang mengikat kain yang melilit pinggang Sang Dewi. Jika Sang Dewi Cipta Rasa terus melepas apapun yang melekat pada tubuhnya, nistaya Raden Kamandaka akan menyaksikan kecantikan dan keindahan yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Sebuah keindahan alami bidadari tanpa selembar benang pun menutupi tubuhnya, bak patung pualam bercahaya yang bisa bergerak yang akan membakar api asmara para ksatria dan brahmana di mana juga.
“Ndara Putri tempat peraduan sudah siap, Ndara Putri, “ tiba-tiba Emban Khandeg Wilis memberitahu Ndara Putrinya.