Pertama, Nurdin Abdullah bukanlah elit partai tertentu. Sehingga ia tak berpotensi mengambil alih satu kekuatan partai besar untuk kepentingan dirinya. Sebagaimana jejak rekam beliau sebagai Bupati dua periode di Bantaeng.
Latar belakangnya sebagai akademisi dan profesional membuatnya tidak terbiasa terkoneksi dengan pusaran kekuasaan partai. Nurdin Abdullah adalah tipe pemimpin yang dapat bersikap profesional dan tidak memagari dirinya dengan simbol-simbol kekuasaan partai.
Masalah yang cukup rumit justru akan berpotensi dialami partai Golkar pasca kekalahan Nurdin Halid. Elit-elit partai beringin ini masih terkontaminasi dengan frase "pengkhianatan" yang konon dilakukan kadernya pada Pilgub 2018. Nurdin Halid harus bisa tetap berdiri di tengah reruntuhan di internal partainya. Sebab, pada saat yang sama, eks elit Golkar khususnya klan keluarga SYL sudah migrasi ke partai lain.
Nah, untuk kepentingan Pilpres 2019, akankah Nurdin Abdullah sebagai Gubernur terpilih sungguh-sungguh bisa terbebas dari jebakan partai politik? Bila kalkulasinya bahwa suara Nurdin Abdullah dan suara Nurdin Halid akan linear sebagai basis Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang, ini berarti Nurdin Abdullah bisa bergerak lebih bebas memikirkan Sulsel yang lebih maju.
Peta dukungan pemilih di Pilgub ke Jokowi pada pemilih duo Nurdin agaknya akan menjadi pertanda baik, betapa konsolidasi pasca Pilgub di Sulsel bakal adem-adem saja. Maka, publik Sulsel menanti gebrakan Gubernur terpilih ini, setidaknya menjawab espektasi masyarakat yakni pembangunan Sulsel yang merata dan berkeadilan. Tentu, wajah baru perpolitikan di Sulsel yang tanpa hegemoni elit kultur atau faksi manapun.