Mohon tunggu...
Anis Kurniawan
Anis Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis, berjumpa dan berkolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nurdin Abdullah dan Konfigurasi Elit Politik Pasca Pilgub

8 Agustus 2018   23:23 Diperbarui: 8 Agustus 2018   23:35 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemenangan Prof. Nurdin Abdullah pada Pemilihan Gubernur Sulawesi-Selatan adalah angin segar bagi masa depan demokrasi lokal di Indonesia. Ada dua variabel penting, pertama, kualitas figur pemenang melampaui kekuatan sumber daya partai politik; kedua, cairnya peta dukungan politik melampaui pluralisme identitas, bahkan aspek geo politik.

Ini menarik, sebab pada dua pagelaran Pilgub sebelumnya (2007 dan 2013), peta dukungan agaknya ditentukan oleh determinasi partai dan basis geo politik. Jangan lupa, tipologi masyarakat Sulawesi-Selatan umumnya masih didominasi oleh keberadaan elit-elit kultur (Karaeng, Andi, Opu). Elit kultur tersebut selain mendominasi sumber daya ekonomi, mereka juga menempati posisi strategis dalam masyarakat. Sebagai pemimpin di lapisan sosial baik formal maupun informal, termasuk dalam birokrasi pemerintahan.

Dalam kurung sepuluh tahun terakhir, kontestasi Pilgub Sulsel seringkali mengerucut pada pertarungan antara representasi Bugis melawan representasi klan Makassar. Walau secara sosiologis, istilah Bugis-Makassar bukanlah dua varian suku yang saling terpisahkan. Bugis-Makassar adalah persinggungan erat antar dua etnis yang secara historis adalah satu.

Pilgub Sulsel 2018 menunjukkan adanya pergerakan sikap politik (political engaggement) pemilih yang sangat moderat. Nyaris tidak ada suatu isu dominan tentang peta dukungan karena aspek etnisitas, apalagi soal isu-isu yang berkaitan dengan agama. Pilgub kali ini benar-benar suatu pertarungan bebas yang menempatkan figur sebagai subjek yang merdeka. 

Poin penting dari politik lokal di Sulsel adalah tidak adanya potensi konflik terbuka yang melibatkan klan suku, kedaerahan apalagi agama. Perseteruan politik yang sekalipun cenderung memanas, selalu terkonsolidasi lebih cepat. 

Penyebabnya, pertarungan politik yang terjadi hanya terjadi di permukaan yakni benturan antar elit yang berkompetisi dan para pendukungnya yang (sebetulnya) tidak sepenuhnya merepresentasi kepentingan atau identitas apa pun.


Faksi-faksi politik yang ada di Sulsel cenderung bersifat genetika (keluarga) dan faksi-faksi yang lebih kecil lainnya semisal organisasi kader seperti HMI, Muhammadiyah, NU, dan lainnya. Tetapi, sekali lagi, faksi-faksi yang ada juga tidaklah terlampau fanatik, cenderung cair dan inklusif. 

Dalam sepuluh tahun terakhir, kemenangan Syahrul Yasin Limpo (SYL, Gubernur dua periode) walau dicurigai sebagai dominasi suatu klan politik keluarga---faksi SYL dan pendukungnya cenderung mudah terfragmentasi akibat perbedaan kepentingan partai politik.

Ini terkonfirmasi dimana Ichsan Yasin Limpo (IYL) adik kandung SYL hanya menempati posisi ketiga perolehan suara pada Pilgub 2018. Setidaknya ada dua hal menarik yang bisa dibaca; pertama, keberhasilan SYL sebagai Gubernur dengan berbagai prestasi tidak cukup menguatkan keyakinan mayoritas warga Sulsel bahwa IYL adalah the next SYL yang lebih tepat. Paling tidak, relasi genetika dan kedekatan emosional bahkan keberpihakan politik SYL pada adiknya tidak cukup meyakinkan publik.

Kedua, kecemasan mayoritas pemilih Sulsel yang melihat adanya potensi klan SYL bakal menjelma sebagai sebuah klan dinasti politik yang menakutkan bila IYL memenangkan pertarungan. Latar belakang IYL yang tidak lain adalah Bupati Gowa dua periode. Lalu anaknya, Adnan YL yang meneruskan rezimnya sebagai Bupati Gowa, serta keterlibatan keluarga SYL dalam posisi penting di birokrasi maupun di politik, jelas suatu ancamaan tersendiri. Ini membenarkan suatu adagium klasik bahwa kekuasaan yang terlampau kuat dan lama, selalu berbahaya.

Pertarungan Sengit

Dengan empat pasangan kandidat Pilgub Sulsel 2018, sangat menguntungkan kubu Nurdin Abdullah. Penantang terberat faksi keluarga SYL sebetulnya adalah Nurdin Halid yang diusung sejumlah partai besar termasuk Golkar. Sebelum memasuki fase pertarungan, Nurdin Halid sukses menghempaskan klan SYL dan faksinya dari partai Golkar Sulsel.

Nurdin Halid yang mengambil "paksa" Golkar jelang Pilgub 2018 menjadi sinyal bakal terjadinya tarung keras antara Nurdin Halid dan SYL. Tetapi, keberhasilan menjatuhkan SYL dari Golkar sebetulnya suatu upaya luar biasa yang unpredictible. Siapa bisa menduga SYL ditumbangkan dari Golkar? Keberhasilan Nurdin Halid ini seolah dijadikan variabel kuat bahwa klan SYL bisa ditumbangkan di Sulsel.

Pada saat yang sama, IYL yang maju lewat jalur independen adalah bukti bahwa kekuatan partai politik telah disabotase. Beruntung IYL masih bisa maju dan didukung oleh Partai Demokrat. Di awal-awal, pertarungan Pilgub Sulsel sebetulnya mengerucut pada Nurdin Halid vs IYL. Nurdin Abdullah dan Agus Arifin Nu'Mang (Mantan Wakil gubernur) seolah-olah menjadi poros tengah.

Fragmentasi basis pemilih kemudian berubah dan elit partai pendukung kemudian berubah. Elit-elit partai pendukung Nurdin Halid sebagian besar membelok ke kandidat lain terutama IYL. Irisan dukungan antara IYL dan Nurdin Halid seolah saling berseliweran.

Ini mengacaukan kalkulasi pemenangan Tim Nurdin Halid dan IYL. Di sisi lain, resistensi pemilih pada dua kandidat ini semakin menguat. Publik resisten dengan diskursus wacana dinasti politik IYL. Publik juga resisten dengan diskursus wacana terkait integritas sisi personal seorang Nurdin Halid.

Pada dimensi lain, terjadi irisan yang kuat dan saling mematikan antara Nurdin Halid dan IYL karena Calon Wakilnya adalah bersaudara (Azis Kahar Muzakkar dan Andi Muzakkar). Pemilih ideologis klan Muzakkar ada di daratan Luwu (Luwu Timur, Luwu, Luwu Utara). Tetapi basis dukungan ini juga otomatis terpecah belah. Dan sebagian berpindah dukungan ke kandidat yang lain.

Di tengah perseteruan politik yang keras itu, Nurdin Abdullah tampil sebagai jalan tengah yang menjanjikan. Pertama, Nurdin Abdullah tidak tersangkut paut dengan dendam politik dari dua kekuatan (IYL dan Nurdin Halid); kedua, Nurdin Abdullah bekerja lebih efektif dan tanpa gaduh (terlepas dari polemik calon pendampingnya di awal masa pencalonan) memasarkan kesuksesaannya sebagai Bupati tersukses di Indonesia. Nurdin Abdullah juga merepresentasi klan politik baru dari kalangan akademisi yang garis dominasi partai politiknya cenderung lemah.

Kemenangan Nurdin Abdullah adalah akumulasi dari semua lapisan pemilih lintar partai, kultur, bahkan kedaerahan. Kemenangan Nurdin Abdullah adalah kemenangan banyak orang, faksi politik yang lebih kecil dan tak terkonsolidasi pada dua arus besar tadi.

Kemenangan ini juga menjadi suatu harapan bagi politik lokal di Sulsel akan adanya suatu demokrasi yang inklusif tanpa ada lagi satu kelompok yang lebih dominan. Ini murni kemenangan figur seorang Bupati yang Profesor dengan segudang prestasi. Sekali lagi, angin segar bagi calon pemimpin dengan visi dan gagasan besar di kemudian hari.

Peta Dukungan dan Konsolidasi Elit Pasca Pilgub Sulsel

 Lalu Bagaimana peta konfigurasi elit pasca Pilgub Sulsel 2018? Sebagaimana pada dua Pilgub sebelumnya, dinamika politik di Sulsel agak muda terkonsolidasi. Tetapi, kemenangan Nurdin Abdullah akan membawa dampak tak biasa pada konfigurasi perpolitikan di Sulsel.

Pertama, Nurdin Abdullah bukanlah elit partai tertentu. Sehingga ia tak berpotensi mengambil alih satu kekuatan partai besar untuk kepentingan dirinya. Sebagaimana jejak rekam beliau sebagai Bupati dua periode di Bantaeng.

Latar belakangnya sebagai akademisi dan profesional membuatnya tidak terbiasa terkoneksi dengan pusaran kekuasaan partai. Nurdin Abdullah adalah tipe pemimpin yang dapat bersikap profesional dan tidak memagari dirinya dengan simbol-simbol kekuasaan partai.

Masalah yang cukup rumit justru akan berpotensi dialami partai Golkar pasca kekalahan Nurdin Halid. Elit-elit partai beringin ini masih terkontaminasi dengan frase "pengkhianatan" yang konon dilakukan kadernya pada Pilgub 2018. Nurdin Halid harus bisa tetap berdiri di tengah reruntuhan di internal partainya. Sebab, pada saat yang sama, eks elit Golkar khususnya klan keluarga SYL sudah migrasi ke partai lain.

Nah, untuk kepentingan Pilpres 2019, akankah Nurdin Abdullah sebagai Gubernur terpilih sungguh-sungguh bisa terbebas dari jebakan partai politik? Bila kalkulasinya bahwa suara Nurdin Abdullah dan suara Nurdin Halid akan linear sebagai basis Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang, ini berarti Nurdin Abdullah bisa bergerak lebih bebas memikirkan Sulsel yang lebih maju.

Peta dukungan pemilih di Pilgub ke Jokowi pada pemilih duo Nurdin agaknya akan menjadi pertanda baik, betapa konsolidasi pasca Pilgub di Sulsel bakal adem-adem saja. Maka, publik Sulsel menanti gebrakan Gubernur terpilih ini, setidaknya menjawab espektasi masyarakat yakni pembangunan Sulsel yang merata dan berkeadilan. Tentu, wajah baru perpolitikan di Sulsel yang tanpa hegemoni elit kultur atau faksi manapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun