Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekeping Hati

3 April 2019   11:49 Diperbarui: 3 April 2019   11:56 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay


Aku kehilangan diri. Entah sejak kapan. Aku tak mencari, apalagi menemukan diri. Aku berlari menjauh, sejauh mungkin yang kubisa. Tanpa peduli suatu apa pun, apa pun! Orang-orang barangkali akan menyebutku gila. Ketika melihat aku yang tak lagi sama. Berubah 180 derajat.

Siapa yang akan peduli? Tidak, bukan tak ada yang peduli tetapi aku yang memilih menjerumuskan diri. Sebab dendam yang teramat di hati. Sebab kau, keparat!

Apa kabar kau, lelaki biadab yang telah membuatku sekarat? Pernahkah sedikit berpikir atau mengingat tentangku? Aku, yang kau bilang harus menemukan seseorang yang lebih baik dari dirimu. Aku, seseorang yang pada kenyataannya hingga kini masih tetap saja penuh dengan segala ingatan tentangmu, meski sakit bertubi-tubi datang darimu. Meski kini aku seperti mati atas perlakuanmu.

Jika ada tanya darimu tentangku, maka akan kuberi tahu padamu bahwa aku kini tengah bahagia. Ya, aku telah menemukan penggantimu. Dia sama keparatnya denganmu, bahkan orang-orang bilang dia lebih keparat darimu. Siapa yang peduli. Bagiku, dia lebih mampu memberi dan mencipta tawa untukku. Hingga aku lupa bagaimana rasanya sakit dikhianati olehmu. Aku tidak peduli jika pada kenyataannya mulutnya sama besar dengan mulutmu. Yang hanya berucap janji tanpa berusaha untuk menepati. Sekali lagi siapa yang peduli? Sebab aku sendiri tak memedulikan diri sama sekali kini. Aku hanya butuh senyum bahagia, tawa. Sekalipun itu berarti aku mati. Tak mampu merasai apa yang ada di hati. Aku sudah benar-benar tak peduli.

Dia, aku tak mengenalinya. Siapa, dari mana, seperti apa masa lalunya. Aku menjatuhkan diri padanya. Bukan ia yang datang, melainkan aku. Hingga kemudian aku mengetahui tentangnya. Segalanya ia ceritakan sendiri padaku. Bahwa ia seperti ini, seperti itu. Bahwa hendak pergi atau bertahan pun aku, itu menjadi hakku setelah tahu semuanya, setelah tahu tentang masa lalunya.

***

Aku tak mudah menatap banyak. Maka jika tiba-tiba aku kembali menjatuhkan hati pada yang orang-orang anggap biadab, aku tak peduli. Aku kesepian. Dan dia menyemarakkan hidupku. Aku suka. Tak mudah jika mereka memaksaku memilih mereka yang tak mampu mencipta tawa di sudut bibirku. Sementara dia, dia lebih dari itu. Aku seperti hidup kembali. Aku berani melanjutkan mimpi, meski barangkali dengan mimpi yang tak lagi sama.

Hari-hari mendungku telah pergi. Bulir bening di pipi pun tak lagi menghujani. Siapa yang tak akan terpesona? Ketika seseorang yang biasa tersisihkan diperlakukan menjadi serba paling utama. Sekalipun itu oleh orang yang berbeda.

"Dia itu bajingan. Kau tidak usah melanjutkan hubunganmu dengannya!" Arini, sahabatku menegur.

Dia tak tahu seperti apa rasanya jadi aku. Ini bukan tentang memilih, atau dipilih. Ini adalah obat. Obat yang ternyata mencipta candu untukku.
Ada banyak, banyak sekali yang menegurku. Bagaimana tidak! Dia kelam, sangat kelam! Tetapi aku, aku tak peduli.

Aku menjauhi Arini setelah itu. Aku tak menghendaki siapa pun mengikut campuri urusanku. Aku butuh ketenangan.  Hanya itu.

***

Malam ini aku akan datang padanya. Seperti hari-hari biasa. Terlihat murahan memang, sebab aku, seorang wanita mendatangi lelaki. Tapi beginilah aku kini. Aku jalang. Aku bukan lagi wanita pendiam.

Di tengah gemintang yang bertaburan, aku menyusuri jalanan. Sebuah sepeda motor matic selalu setia menemani ke mana arahku pergi. Pun malam ini. Untuk sebuah sesuatu yang kupaksa menyebutnya cinta. Untuk sebuah rasa yang pernah membuatku binasa.

Sepi. Rumah bercat biru muda itu memang selalu sepi. Hanya ada dia dan seorang adik perempuan yang pun tak betah di rumah. Sebuah tempat hebat yang kugunakan untuk membunuh sekarat.

"Mas ...," panggilku.

Tak ada jawaban. Tapi pintu tak terkunci. Aku memutuskan untuk masuk. Ya, aku terbiasa seperti ini. Rumah ini sudah seperti rumahku sendiri. Tak hanya sekali aku masuk tanpa permisi.

Kudengar suara lenguhan seseorang. Mungkin dia barusan tidur dan terbangun sebab mendengar kedatanganku.  

Pintu kamarnya tertutup. Perlahan aku menarik gagang pintu kemudian membukanya. Dan ...,

"Brengsek kamu, Angga!" teriakku membanting pintu keras.

Aku berlari. Bergegas pulang, menjauh pergi. Dadaku serasa semakin koyak kini. Setelah luka yang belum benar-benar sembuh, aku kembali mendapat luka baru yang lebih perih.

Laki-laki itu, benar, dia lebih biadab seperti yang Arini bilang. Dia bahkan berani bermesraan dengan wanita lain yang tak kukenali di kamarnya. Bertelanjang tanpa busana, saling berpagutan, bergelinjang menikmati sensasi rasa hubungan terlarang diiringi suara erangan yang memuakkan.

"Tuhan, maafkan kebodohanku," lirihku dalam hujan yang tiba-tiba turun.

Langit seakan memahami perasaanku. Ia turut menangis di balik malam yang kelam. Aku telah termakan ucapanku sendiri. Bukankah aku bilang tak mengapa jika ia pun ternyata lebih keparat? Nyatanya aku merasakan sakit. Sakit yang bahkan teramat sakit.

"Stop, Mbak!" teriak seseorang.

Aku dengan cepat menekan rem. Lampu merah yang hampir saja kuterjang memang tak membuatku mati tertabrak kendaraan yang berlalu lalang, tapi, aku terpelanting jatuh. Kepalaku berdenyut hebat. Seluruh tubuh kurasa sakit tak tertahan. Aku menatap nanar seseorang yang merangkul dan hendak menolongku. Dan itu, kau. Aku yakin sekali itu kau.

"Gea, bertahanlah!" ucapmu.

Aku tersenyum. Lelaki biadab ini, bagaimana bisa ada di sini dan menolongku? Kau, lelaki yang menyuruhku pergi dan mencari lelaki baru yang lebih baik. Lelaki yang telah membuatku kini justru jatuh sejatuh-jatuhnya. Semua ini sebab kau menyuruhku pergi, sebab aku kehilanganmu, sebab aku kehilangan sekeping hatiku.

Kau menggendongku. Hingga, seluruh tatapku menggelap. Aku terlelap.

"Kau sudah sadar?" tanya seseorang yang tengah menggenggam tanganku.

Aku membuka mata perlahan. Mendapati diri berada di sebuah ruangan serba putih beraroma obat-obatan. Mendapati seseorang yang tak kuinginkan ada di sisi bersamaku.

"Jangan lakukan ini lagi, Gea. Kau tahu aku sangat mencintaimu," ucapmu mengelus rambutku.

Aku hanya tersenyum kecut tak membalas.

"Maafkan aku," ucapmu lagi kemudian memelukku.

Lantas, apa harus aku memaafkanmu? Setelah pernah meremuk redamkan hatiku? Setelah pernah membuatku kehilangan sekeping hatiku?

Kaohsiung, 31 Maret 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun