"Tuhan, maafkan kebodohanku," lirihku dalam hujan yang tiba-tiba turun.
Langit seakan memahami perasaanku. Ia turut menangis di balik malam yang kelam. Aku telah termakan ucapanku sendiri. Bukankah aku bilang tak mengapa jika ia pun ternyata lebih keparat? Nyatanya aku merasakan sakit. Sakit yang bahkan teramat sakit.
"Stop, Mbak!" teriak seseorang.
Aku dengan cepat menekan rem. Lampu merah yang hampir saja kuterjang memang tak membuatku mati tertabrak kendaraan yang berlalu lalang, tapi, aku terpelanting jatuh. Kepalaku berdenyut hebat. Seluruh tubuh kurasa sakit tak tertahan. Aku menatap nanar seseorang yang merangkul dan hendak menolongku. Dan itu, kau. Aku yakin sekali itu kau.
"Gea, bertahanlah!" ucapmu.
Aku tersenyum. Lelaki biadab ini, bagaimana bisa ada di sini dan menolongku? Kau, lelaki yang menyuruhku pergi dan mencari lelaki baru yang lebih baik. Lelaki yang telah membuatku kini justru jatuh sejatuh-jatuhnya. Semua ini sebab kau menyuruhku pergi, sebab aku kehilanganmu, sebab aku kehilangan sekeping hatiku.
Kau menggendongku. Hingga, seluruh tatapku menggelap. Aku terlelap.
"Kau sudah sadar?" tanya seseorang yang tengah menggenggam tanganku.
Aku membuka mata perlahan. Mendapati diri berada di sebuah ruangan serba putih beraroma obat-obatan. Mendapati seseorang yang tak kuinginkan ada di sisi bersamaku.
"Jangan lakukan ini lagi, Gea. Kau tahu aku sangat mencintaimu," ucapmu mengelus rambutku.
Aku hanya tersenyum kecut tak membalas.