Mohon tunggu...
Anindya Yustika
Anindya Yustika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang tertarik dengan isu feminisme, politik, dan hukum.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Manusia Diciptakan?

2 Desember 2021   07:53 Diperbarui: 2 Desember 2021   07:55 1055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernahkah Anda bertanya, mengapa kita diciptakan? Untuk apa kita diciptakan? 

Manusia dengan segala keingintahuannya pasti pernah bertanya mengenai alasan mereka diciptakan. Entah itu hanya berupa pikiran maupun diutarakan, tidak dipungkiri bahwa manusia akan mempunyai rasa penasaran seperti itu. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menimbulkan beberapa intepretasi dan pemikiran dari manusia sendiri. Pada dasarnya, keingintahuan tersebut berakar dari ketakutan mereka terhadap yang dilakukannya semasa hidup akan sia-sia pada akhirnya ataupun adanya masa setelah kematian. Manusia akan selalu mencari jawaban mengenai apa yang dikerjakannya selama ini akan berpengaruh apapun itu ataukah sama saja dengan tidak melakukan apa-apa. Ada manusia yang menemukan jawabannya dan karena itu mereka tunduk kepada-Nya. Namun ada juga manusia yang mengartikan hal tersebut salah dan berakhir pada pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka jauh akan kebenaran. Untuk itu diperlukannya studi mendalam mengenai hakikat penciptaan manusia ini semata-mata untuk menemukan kebenaran dan menjauhkan manusia dari kekafiran.

Pemikiran mengenai hakikat penciptaan manusia sudah ada dan dilakukan sejak zaman dahulu kala. Seiring perubahan peradaban dan berkembangan pemikiran-pemikiran manusia, intepretasi mengenai hakikat manusia diciptakan selalu berubah-ubah. Mulai dari pemikiran filsuf-filsuf terkenal pada zaman Yunani Kuno hingga pemikiran dari seseorang yang hidup pada peradaban Mesopotamia dan peradaban-peradaban lain yang mengikuti. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan setiap peradaban. Lingkungan hidup, sosial serta alam, dan apa yang sedang terjadi di sekitar wilayah yang mereka tinggali juga sebagai pengaruh atas pemikiran-pemikiran mereka. Pengaruh tersebut berdampak pada pola pikir manusia yang menyesuaikan keadaan sehingga timbul intepretasi makna. Dengan adanya akal yang diberi Tuhan, manusia dapat mengimajinasi akan tujuan mereka diciptakan dan kekuatan besar yang tidak terlihat.

HAKIKAT TUHAN

Pada dasarnya, setiap manusia mempunyai kebutuhan akan Tuhan. Hal tersebut merupakan kebutuhan fundamental dari manusia. Dengan segala keterbatasannya, manusia akan selalu mencari hal yang lebih besar darinya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di luar batas kemampuannya. Hal tersebut juga yang memotivasi setiap manusia untuk tidak putus asa terhadap kehidupan hingga menganggap hidup hanya sia-sia saja dan tetap menjaga kelestarian umat manusia. Kebutuhan akan Tuhan atau berbagai macam penamaannya merupakan kebutuhan hidup dasar yang sangat memengaruhi kehidupan manusia. Jika manusia tidak membutuhkan lagi akan adanya Tuhan, maka pada saat itulah manusia menjadi sombong dan lupa terhadap tujuan mereka hidup. Manusia yang memiliki perilaku seperti ini sudah tidak peduli lagi dan berpikir apa yang dimilikinya akan kekal bersamanya. Manusia seperti itu yang mempunyai pandangan bahwa mereka diciptakan hanya sia-sia saja pada akhirnya.

Pada beberapa waktu, manusia dikenalkan mengenai Tuhan melalui beberapa perantara, utamanya adalah perantara nabi dan wali Tuhan. Para utusan-Nya membawa ajaran tauhid yang benar mengenai keberadaan Allah. Dengan adanya ajaran ketauhidan tersebut, pemikiran-pemikiran kuno terkait kepercayaan selain Allah mulai ditinggalkan di beberapa tempat. Namun pada berbagai kasus yang berbeda, ketika para nabi Allah silih berganti begitu pula dengan ajaran-ajarannya. Banyak sekali ancaman terhadap ajaran yang dibawa para nabi. Sejalan dengan pemberian Tuhan berupa akal, manusia juga dapat berpikir secara bebas. Dengan mengartikan suatu ajaran tauhid sebagai pengekangan terhadap kebebasan, ajaran-ajaran tauhid tersebut dapat terkikis sejalan dengan pemikiran-pemikiran bebas mengenai Tuhan dan penciptaan manusia juga berkembang.

Pada perkembangannya, terakhir kalinya Allah memberi ajaran tauhid yang benar melalui Nabi Muhammad. Sekitar abad ke-7 Masehi muncul lah agama Islam sebagai agama terakhir yang membawa manusia kepada kebenaran yang satu. Agama Islam muncul di tengah masyarakat yang terpolarisasi dengan ajaran-ajaran sesat mengenai Allah dan berbagai kepercayaan lainnya yang tidak benar. Manusia kembali ke zaman jahiliyah, zaman sebelum adanya agama tauhid, dimana manusia berada dalam ketidaktahuan akan petunjuk Allah. Pada saat itu, Islam menjadi agama yang minoritas bahkan dibenci oleh masyarakat. Namun dalam perkembangannya, Islam menjadi tersebar luas dan saat ini menjadi agama paling dominan di dunia. Hal tersebut berkenaan dengan penyebaran Islam dan hakikatnya sendiri yang berupa perdamaian.

HAKIKAT MANUSIA

Pada dasarnya, semua makhluk yang diciptakan oleh Allah memiliki berbagai macam perbedaan dan semuanya mempunyai tujuan tertentu. Tidak ada makhluk ciptaan Allah yang hanya kebetulan saja. Semua yang Allah ciptakan pasti tidak akan sia-sia pada akhirnya. Berbagai macam makhluk yang Allah ciptakan tersebar luas dalam medium alam semesta. Bahkan alam semesta pun adalah makhluk ciptaan-Nya. Makhluk utama yang Allah ciptakan terdiri dari tiga jenis, yaitu malaikat, iblis, dan manusia. Ketiga makhluk tersebut Allah ciptakan dengan fungsi, tujuan, dan asal yang berbeda-beda.

Malaikat adalah makhluk Allah yang tercipta dari cahaya. Malaikat tidak bisa dilihat oleh panca indera manusia. Sebagai makhluk Allah yang tinggal di akhirat, malaikat selalu tunduk pada Allah tanpa adanya sedikit pun perlawanan. Hal tersebut berkenaan dengan dasar penciptaan malaikat yang tidak diberi nafsu oleh Allah. Hidup malaikat hanya didedikasikan untuk melayani tugas-tugas yang diberikan oleh Allah. Nafsu yang tidak diberikan kepada malaikat Allah berikan kepada iblis dan manusia. Iblis yang juga makhluk Allah terbuat dari api. Iblis juga pada mulanya merupakan makhluk yang taat terhadap tugas-tugas yang Allah berikan dan selalu tunduk kepada Allah. Namun dikarenakan adanya penciptaan manusia, iblis mulai menampakkan nafsunya dan enggan tunduk terhadap perintah Allah. Dengan sebab-sebab tertentu, Allah melarang iblis untuk naik ke akhirat lagi. Iblis bertempat di alam neraka dengan berbagai siksaan di sana.

Manusia sebagai makhluk yang Allah ciptakan mempunyai hakikat tersendiri dari kedua jenis makhluk Allah di atas. Dalam hal ini hakikat manusia yaitu kebenaran akan makhluk ciptaan Allah manusia ini. Hakikat manusia juga dapat didefinisikan sebagai kecenderungan untuk memahami mengenai hal-hal yang tetap pada manusia dan ciri khasnya yang menonjol. Dalam ilmu filsafat dapat diartikan bahwa hakikat manusia sebagai anggapan manusia memiliki definisi pra wujud mengenai hal-hal yang terkait dengan zat kemanusiaannya yang berbeda dari wujudnya. Hakikat ini tidak dapat dipisahkan dari manusia itu dilahirkan di muka bumi hingga meninggalkannya. Dengan kemanusian ini, manusia menjadi lebih terhormat dan dapat mengemban kehidupan di muka bumi dengan baik.

Selain mempunyai nafsu seperti halnya iblis, manusia dianugerahi akal pikiran oleh Allah. Akal tersebut yang membuat manusia dapat berpikir secara rasional dan dapat bertanggung jawab atas hal-hal yang dilakukannya. Dengan akal tersebut, manusia juga dapat mengontrol dan mengarahkan dirinya sendiri. Hal tersebut yang membuat manusia dapat membuat keputusannya sendiri dan kemudian mengubah nasibnya. Setiap manusia dapat berbuat apapun sesukanya dengan melibatkan hati nuraninya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri. Dalam artian bahwa manusia memiliki tujuan hidup tersendiri dan cita-cita yang ingin dituju sehingga ia dapat melakukannya dengan menggunakan akal dan hati nuraninya.

Manusia akan selalu berkembang dan berevolusi sebagai bentuk adaptasi dari lingkungan sekitarnya. Dunia yang ditempati oleh manusia memiliki sifat dinamis, begitu pula dengan manusia sendiri. Manusia dirancang untuk dapat beradaptasi dengan mudah terhadap intelektual, sosial, dan alam sekitar. Seiring berkembangnya zaman, pasti ada sesuatu dari manusia yang juga berkembang, terutama fungsi akal. Manusia akan sangat terpengaruh oleh lingkungan sosial yang sejalan dengan hakikat manusia sendiri sebagai makhluk sosial.

Dari beberapa hakikat manusia di atas tidak dipungkiri bahwa manusia dalam segala perkembangannya akan memiliki pandangan tertentu pada suatu hal. Dalam hal hakikat manusia ini, jika pemahaman mereka tidak utuh akan berakibat fatal. Seperti pada pandangan Charles Darwin mengenai teori evolusi manusia yang terkenal itu. Teori evolusi tersebut dapat memicu seseorang untuk bersikap kompetitif dalam segala hal. Pada keadaan tersebut, manusia tidak akan peduli lagi dan akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Jika sudah seperti itu akan sulit dan diperlukannya pandangan utuh terhadap hakikat manusia.

Ada beberapa pendapat mengenai hakikat manusia itu, diantaranya adalah:

  1. Aliran materialisme yaitu sebuah pandangan mengenai kehidupan manusia yang hanya sebuah siklus materi saja. Manusia terbentuk dari materi, berasal dari materi, dan pada saat mati akan terurai hingga menjadi materi lagi untuk dikonsumsi manusia. Orang yang mempunyai pendapat seperti ini tujuan hidupnya tidak lagi juga demi materi dan kebahagiaan hidupnya diukur dari banyak materi yang dikumpulkan.
  2.  Aliran spiritualisme yang memfokuskan pandangan pada roh atau jiwa. Menurutnya roh lebih berharga dari materi. Orang yang mempunyai pendapat seperti ini di kehidupannya penuh dengan kerohanian dan mengisinya dengan selalu amal ibadah.
  3. Aliran dualisme menganggap bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani serta badan dan roh. Kedua hal tersebut tidak saling tergantung satu sama lain, melainkan bekerja bersama dalam membentuk manusia.

Dalam pandangan Islam, hakikat manusia erat kaitannya dengan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Kesempurnaan tersebut mengacu pada pemberian akal oleh Allah kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lain. Akal tersebut yang membuat manusia dapat menentukan nasibnya dan tujuannya sehingga manusia dengan kata lain menjadi bebas. Selain itu, Allah juga memberi daya hidup, berkehendak, memutuskan, berfikir, dan hal-hal kemanusiaan lain. Hal tersebut hanya diberikan pada manusia karena Allah cinta pada manusia. Untuk itu, manusia hendaknya memberi balasan cinta Allah tersebut dengan cara bersyukur dan beriman kepada-Nya.

Dalam memaknai manusia dalam pandangan Islam, ada empat kata yang terdapat dalam Al-Quran dengan pengertian yang berbeda-beda, yaitu:

  • Al-Basyar

Secara bahasa, Al-Basyar mempunyai arti kulit kepala, wajah, atau tubuh tempat rambut tumbuh. Al-Basyar juga dapat diartikan sebagai mulamasah atau kulit lelaki dan perempuan yang bersentuh. Secara istilah Al-Basyar dapat diartikan bahwa manusia pasti memiliki berbagai macam sifat kemanusiaan dan keterbatasan. Hal ini mengacu pada nafsu yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan ini manusia membutuhkan makan, minum, kerohanian, dan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Setiap manusia, tanpa terkecuali, mempunyai sifat kemanusiaan ini, termasuk para nabi seperti firman Allah pada QS. Al-Kahfi ayat 110.

قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا

Artinya : “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi:110)

  • Al-Insan

Secara bahasa, Al-Insan berarti harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Di Al-Quran sendiri kata tersebut mengacu pada manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani dalam aliran dualism. Kedua hal tersebut berharmonisasi dalam diri manusia sehingga menciptakan manusia sebagai makhluk sempurna ciptaan Allah. Dengan berbagai perbedaan berupa diferensiasi masing-masing invidu dan hakikatnya sebagai makhluk yang dinamis, manusia menjadi makhluk berbudaya (al-insan al-bayan).

Dalam pengaplikasiannya di Al-Quran, kata Al-Insan dapat berarti sifat umum serta kelebihan hingga kekurangan manusia, seperti pada firman Allah ini. 

فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ۖ إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ ۗ وَإِنَّا إِذَا أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً فَرِحَ بِهَا ۖ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ كَفُورٌ

Artinya : “Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).” (QS. Asy-Syura : 48)

Firman Allah tersebut mendasari bahwa manusia memiliki kekurangan yaitu rentan akan ingkar kepada Sang Pemberi. Jika manusia diberi rahmat dengan berbagai macam bentuknya, maka ia akan bersukacita untuk menerimanya. Ada juga manusia yang terbutakan oleh rahmat yang Allah berikan dan berpikiran bahwa apa yang dimilikinya tersebut akan kekal. Manusia tersebut akan berbuat maksiat dan mengingkari Allah. Pada saat itu, Allah akan memberikannya musibah dan cobaan karena ulahnya sendiri yang mengingkari Allah. Manusia akan selalu meminta dan meminta, namun kadangkala terlupa atas siapa yang memberinya.

  • Al-Naas

Secara bahasa, kata Al-Naas bersifat umum yang merujuk pada manusia sebagai makhluk sosial. Menurut Al-Isfahany yang dikutip Ramayulis mengacu pada keberadaan manusia yang secara keseluruhan merupakan makhluk sosial, tanpa melihat keimanannya. Sebagian besar kata Al-Naas mengacu pada perbuatan dari kelompok manusia tertentu yang berbuat kerusakan. Pada umumnya dijelaskan bahwa manusia yang berbuat seperti itu merupakan penghuni neraka bersama iblis. Oleh karena itu, kata Al-Naas juga merupakan ancaman neraka oleh Allah jika manusia bersifat tamak dan sombong terhadap nikmat Allah, seperti pada firman Allah berikut ini. 

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ وَلَن تَفْعَلُوا۟ فَٱتَّقُوا۟ ٱلنَّارَ ٱلَّتِى وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ ۖ أُعِدَّتْ لِلْكَٰفِرِينَ

Artinya : “Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (QS. Al-Baqarah : 24)

  • Bani Adam

Secara bahasa, Bani Adam mengacu pada keturunan nabi Adam AS. Menurut Al-Thabathaba’I, kata Bani Adam adalah kata untuk manusia secara umum. Ada tiga aspek dalam pengertiannya, yaitu anjuran berbudaya sesuai ketentuan Allah, mengingatkan kepada manusia lain agar terhindar dari bisikan iblis, dan memanfaatkan semua yang ada di alam semesta ini sebagai bentuk ibadah dan mengimani Allah. Hal-hal tersebut hendaknya dilakukan karena itu merupakan anjuran Allah serta peringatan-Nya sebagai manifestasi cinta Allah pada manusia.

Kata Bani Adam ini lebih berfokus pada pengerjaan ibadah kepada Allah dan aktifitas-aktifitas lain yang bermanfaat. Pada hakikatnya, manusia diberi kebebasan dalam mengisi kehidupannya dan memanfaatkan alam semesta ini untuk eksplorasinya. Namun Allah juga memberi batas yang bisa dilalui oleh manusia supaya tidak masuk dalam ajaran yang sesat. Hal tersebut juga berarti Allah akan meminta pertanggungjawaban atas apa saja yang dilakukan manusia di kehidupannya sebagai hukum kausalitas atas kebebasan yang Allah berikan.

TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA

  • Manusia Sebagai Hamba Allah (Abdullah)

Sebagai seorang hamba, manusia memiliki kewajiban untuk tunduk dan patuh kepada Allah. Makna dari hamba adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang menyeluruh hanya diberikan manusia kepada Allah. Ketaatan kepada Sang Pencipta merupakan sifat kodrati manusia yang harus selalu ada dalam diri manusia. Manusia pun tidak bisa lepas dari kekuasaan-Nya karena mereka mempunyai potensi untuk beragama. Memang pada dasar penciptaannya, manusia mempunyai kebutuhan dasar untuk meyakini akan sesuatu hal yang lebih besar daripadanya atas segala kejadian di luar penalaran manusia.

Manusia sebagai hamba Allah tidak lepas dari ketergantungan mereka atas kebutuhan dasar akan Tuhan. Dalam kaitannya dengan kebutuhan dasar, manusia akan selalu bergantung pada Tuhan dan kepercayaannya terhadap sesuatu yang lebih besar darinya. Hal tersebut direalisasikan melalui peribadatan-peribadatan ritual sebagai makhluk pengabdi Tuhannya.[3] Allah telah mengingatkan umat manusia akan perjanjian yang dibuat sebelum mereka diciptakan melalui firman Allah pada surat Al-A’raf ayat 172.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ 

Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”(QS. Al-A’raf : 172)

Sebagai hamba Allah, manusia adalah makhluk yang dimuliakan melalui pemberian akal supaya manusia dapat menkategorikan yang baik dan yang buruk. Akal adalah hal pembeda utama terhadap pemberian kemuliaan lebih kepada manusia dibanding makhluk lain. Namun kelebihan tersebut tidak bersifat kekal, karena semua hal kembali pada tiap-tiap manusia. Jika manusia mempunyai amal saleh dan berakhlak baik, maka akan dipandang mulia disisi Allah dan manusia lainnya. Hal tersebut berlaku sebaliknya, jika manusia membuat kerusakan dan berakhlak buruk, maka kadar kemuliaannya juga akan turun.

 Ketergantungan antara kesadaran tiap-tiap individu membuat citra kemuliaan manusia tidak semua berada di tingkat tertinggi. Kemuliaan tersebut akan bergantung pada sikap dan perilaku setiap manusia itu sendiri. Kesadaran manusia juga akan hakikat dirinya sebagai hamba Allah akan menumbuhkan sikap mawas diri. Hal tersebut yang membuat seorang manusia tidak akan sombong dan menganggap dirinya segalanya. Kesadaran tersebut justru akan membuat seseorang taat dan tunduk kepada Allah, Sang Maha Pencipta, serta menumbuhkan sikap memanusiakan manusia lain.

  • Manusia Sebagai Khalifah Allah (Khalifah al-Ardh)

Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menerangkan bahwa hakikat dan sifat-sifat manusia sebagai makhluk yang mempunyai tingkat kemuliaan yang tinggi. Pada sejarah penciptaan manusia, sebelumnya Allah telah memberi tahu malaikat bahwa Dia menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Manusia diberi amanah oleh Allah untuk mengurus bumi dan segala isinya serta memakmurkannya. Sebagai perwakilan Allah di bumi, manusia mengemban tugas untuk membudayakan alam semesta agar terciptanya kehidupan yang sejahtera. Kewajiban ini dilimpahkan Allah kepada manusia supaya mereka sadar terhadap kepercayaan dan juga amanah yang Allah berikan.

Kata khalifah menjelaskan bahwa manusia oleh Allah diberikan amanat untuk memimpin bumi dan segala macam isinya. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa khalifah di sini bermakna pengganti. Manusia harus siap menggantikan peran dari manusia lain sebelumnya dalam rangka mengemban tugas dari Allah untuk menjadi perwakilan-Nya di muka bumi. Selain itu, kata khalifah juga berarti perwakilan. Dalam konteks ini, manusia harus dapat memberi hak-hal positif serta manfaat bagi makhluk-makhluk lain. Manusia harus menjaga dan melestarikan bumi beserta segala isinya sebagai makhluk Allah yang ditugaskan-Nya kepada manusia untuk dijaga. Hal ini juga mengartikan bahwa manusia adalah pemimpin dan penguasa muka bumi ini sebagai perwakilan dari Allah untuk menegakkan kepatuhan kepada Allah SWT.

Tugas-tugas yang Allah berikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi tertuang dalam beberapa firman Allah berikut.

وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَكُمْ خَلَٰٓئِفَ ٱلْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلْعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌۢ

 Artinya : “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Anam : 165)

Pada ayat yang lain juga disebutkan :

أَوَعَجِبْتُمْ أَن جَآءَكُمْ ذِكْرٌ مِّن رَّبِّكُمْ عَلَىٰ رَجُلٍ مِّنكُمْ لِيُنذِرَكُمْ ۚ وَٱذْكُرُوٓا۟ إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَآءَ مِنۢ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِى ٱلْخَلْقِ بَصْۜطَةً ۖ فَٱذْكُرُوٓا۟ ءَالَآءَ ٱللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 Artinya : “Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-A’raf : 69)

Dari firman-firman Allah di atas, dapat diketahui bahwa manusia diciptakan untuk mengemban tugas-tugas kekhalifahan di muka bumi ini. Kedudukan manusia di sisi Allah telah terpapar jelas bahwa manusia adalah perwakilan Allah di muka bumi ini dan ditugaskan untuk memimpin makhluk lain agar tetap tunduk pada Allah. Dalam urgensinya, manusia juga harus memerhatikan moral dan etika. Kedua hal tersebut harus ditegakkan untuk menyeimbangkan kedudukan manusia sebagai makhluk paling mulia disisi Allah.

Menurut Qurais Shihab, hubungan yang berlangsung antara manusia dan makhluk lain, termasuk sesame manusia, adalah setara. Hal tersebut dimaksudkan bahwa tugas yang Allah berikan kepada manusia sebagai penguasa di muka bumi ini bukan untuk melebihtinggikan hubungan mereka, tetapi semata-mata hanya karena Allah yang mendudukannya di ranah seperti itu. Hubungan tersebut berupa hubungan bersama dalam ketundukannya kepada Allah sebagai pencipta mereka. Oleh karena itu, manusia dalam arti pengganti sebagai khalifah di muka bumi bukan hanya sekedar menggantikan saja, melainkan juga turut tunduk atas perintah-Nya. 

Dalam kutipan pada buku Ramayulis, Ahmad Hasan Firhat membedakan kedudukan kekhalifan manusia dari dua bentuk[7], yaitu :

  1. Khalifah kauniyah. Kewenangan yang diberikan Allah kepada manusia dalam tugasnya di muka bumi ini berkaitan mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya untuk membangun kehidupan yang sejahtera. Tugas ini hanya yang bersifat umum dan ditujukan kepada seluruh manusia, tanpa adanya campur tangan agama yang setiap manusia yakini.
  2. Khalifah syar’iyah. Tugas ini hanya ditujukan kepada orang-orang mukmin untuk memakmurkan alam semesta. Hal ini bertujuan agar orang mukmin dapat menjadi pionir dalam mengatur alam semesta sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang dibawa oleh ajaran agama tauhid. Karena dengan berpedoman pada iman kepada Allah, manusia akan senantiasa berbuat baik dan memanfaatkan segala yang ada di alam semesta ini untuk kemaslahatan umat manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun