Mohon tunggu...
Junaedi
Junaedi Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa

Orang yang fakir ilmu, Never give up

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Awal Mula Menjadi Candu

13 Juni 2020   10:22 Diperbarui: 13 Juni 2020   10:20 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bersyukur, itulah kata dan sikap yang harus kita lakukan pada saat ini. Apa yang harus kita lakukan? Kita bukan siapa-siapa, hanya seperti anai-anai kita itu sekarang berterbangan yang tertiup oleh hembusan angin dan berhenti dikala angin itu berhenti meniupnya. 

Pendaki gunung tidak akan sampai ke puncak gunung jikalau dia hanya diam dan mengeluh di tempat, sebaliknya jika dia berjalan walaupun perlahan sembari diselingi bergumam di mulutnya dia akan sampai ke puncak tersebut. langkah demi langkah yang di pijakan para pendaki tersebut sedikit demi sedikit mengikis waktu untuk mencapai puncak. Jadi inget waktu muncak pertama kali. flashback ceritanye bro? Hahaha

Waktu itu gua baru lulus sekolah menengah atas (SMA), pertamanya gua di ajak sama saudara gua yang dari Tebet. Tadinya gua tanya-tanya soal muncak itu gimana, apa yang harus dibawa dan lain sebagainya pertanyaan seputar dunia pendakian. Maklum, soalnya saudara gua kalo bisa dikata seniorlah dalam dunia pendakian walaupun belum menginjakan kakinya di gunung Everest yang tertinggi di dunia ini.

Suatu ketika di pagi hari, saudara gua tanya "besok mau ikut muncak ngga?", gua jawab dengan spontan dengan raut wajah yang sedikit bingung "muncak? muncak kemana bang?". Saudara gua nyaut lagi dengan logat betawinya "ke Merbabu, tapi gimane nanti aje soalnya di merbabu lagi ada badai, kalo ngga ke merbabu ke merapinye". Singkat cerita, hasil obrolan gua sama saudara gua itu berujung dengan kata deal. Maaf maaf kate aje ni yee gua potong ceritanye, soalnye panjang banget obrolan pada waktu itu sampai mencapai kata deal.

Tanpa ada persiapan apa-apa, besoknya gua langsung berangkat. Malam-malamnya gua prepare, ngga tau gua sampe jam berapa itu beresnya. Siang menjelang sore, gua berangkat ke stasiun pasar senin. Sesampainya di stasiun, gua bareng saudara gua langsung ke loket. Tertulis tiket kereta yang gua pegang tujuan Semarang, keberangkatan jam 20.00 wib. Gua lihat jam di hp gua baru pukul 19.30 wib. 

Sembari berjalan santai, di ujung jalan saudara gua manggil seseorang. Kirain gua ada apa, padahal yang saudara gua panggil itu teman muncaknya juga. Ngobrol-ngobrol dengan ditemani kopi hitam pekat yang di pesan dari pedagang asongan di sekitar, tidak lupa juga di selingi sebatang roko yang menghasilkan suasana obrolan hangat pada malam itu. 30 menit sudah berlalu, waktu keberangkatan telah tiba dan langsung bergegas masuk ke dalam stasiun untuk mencari gerbong yang tertulis di masing-masing tiket yang di pegangnya.

Sinar matahari membangunkan dari tidur kami, menunjukan bahwa waktu pagi telah datang. Saat gua buka mata, hamparan tanaman padi yang indah dan gunung-gunung yang menjulang tinggi menambah keindahan daerah sekitar. kereta melaju dengan kecepatannya, menyapu rel dengan genggamannya yang erat seakan-akan tidak mau melepaskan genggamannya tersebut. hahaha

Speaker dari stasiun Semarang terdengar dengan jelasnya menyambut kedatangan para pengguna kereta tujuan Semarang. Kereta melaju dengan perlahan dan berhenti tepat di sekitar peron. Kami bergegas turun dari gerbong kereta dan keluar langsung dari stasiun. Sama seperti di stasiun yang lain, para pencari nafkah banyak yang berlalu lalang, ada yang menawarkan jasa antar dari Ojek, angkutan umum, taksi, bus, metromini bahkan mobil losbak/pick up juga ikut bagian dalam jasa antar ke tempat tujuan masing-masing. Kalo bajaj ngga ada yaa, soalnya ini bukan di Jakarta. 

Jam di tangan menunjukan pukul 7 pagi, kami berjalan santai sambil bercanda dan tertawa kecil. Karena waktu itu masih pagi, kami memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu di rumah makan sebelum melanjutkan perjalanan kami ke tempat tujuan kami. Dibuka dengan candaan dari salah satu teman saudara gua kepada sang penjual makanan tersebut, oiya gua belum kenalin teman-teman gua. Waktu itu gua berempat bro, itu yang buka candaan namanya Dominguez panggilannya Anes dan satu lagi Rahma.

Lanjut, dibuka dengan candaan bahasa jawanya dari Anes kepada penjual makanan tersebut, gua ngga ngerti ngomong apa dia ke penjualnya. mereka ketawa, gua juga ikut ketawa walaupun dengan persepsi yang berbeda. Mereka ketawa dengan obrolannya, sedangkan gua ketawa dengan ngga ngertinya obrolan mereka.
Setelah menunggu beberapa menit, pesanan kamipun datang.  Tanpa basa-basi, kami langsung melahap makanan yang telah kami pesan itu serta sesekali meneguk air teh hangat yang telah disediakan. Sarapan pagi selesai, kami berbincang mengenai transfortasi apa yang akan kami gunakan untuk menuju ke tempat tujuan kami. Karena dari kami hanya Anes yang bisa bahasa jawa, Anes tanya-tanya ke warga sekitar seputar alat transfortasi yang pas untuk kami gunakan. 

Beberapa menit kemudian, Anes kembali ke meja makan bergabung bersama kami lagi setelah mencari informasi dan dia menjelaskan bahwa alat transfortasi yang pas untuk digunakan selain bisa menghemat pengeluaran serta mengefisienkan waktu juga, pertama kami naik metromini dari Stasiun menuju terminal bus, lupa gua terminal apa namanya. Kedua, naik bus tujuan boyolali kalo ngga salah, terus dilanjut naik mobil pribadi/mobil preman tujuan basecamp New Selo. Karena pada waktu itu tujuan kita gunung merapi, ngga jadi ke merbabu.

Dari terminal bus sampe ke basecamp itu lumayan memakan waktu berjam-jam, pant** juga sampe serasa tipis. Sore menjelang magrib kira-kira kami baru sampe ke basecamp, mataharipun mulai terbenam pada waktu itu. Suara di perut mulai memanggil, karena cacing-cacing di perut mulai demo belum menemukan jatah makanannya. Tas di turunkan, kaki di tekuk, punggung menyandar sembari menikmati keindahan sunset yang begitu indah membuat kami terdiam sejenak terkesima dengan keindahannya, yang tadinya cacing di perut meronta-ronta, seketika seperti terdiam dan membisu. 

Sunset berlalu, imajinasi yang di ciptakan oleh sunset tersebut lambat laun pudar dan kembali ke alam nyata lagi. Cacing yang tadinya seperti terdiam dan membisu, sekarang kembali seperti semula mendemo karena belum mendapat jatah makan. Lagi-lagi Anes yang menjadi aktor utamanya, melobby sang penjual makanan. Maklum dia asli solo jadi paham dengan bahasa Jawa. Kami pesan nasi goreng, mie goreng, ayam goreng dan pelengkap menu lainnya sedangkan untuk minumnya kami memesan teh hangat dan es jeruk.

Selesai makan, yang tadinya banyak cucian piring dan gelas yang kami pakai di beresin sama penjual makanan tersebut. Setelah beres di rapihkan, kami memesan kembali akan tetapi sekarang kami hanya memesan secangkir kopi hitam dan teh manis hangat. Yang tadinya lelah, ngantuk, males dan lainnya yang membayangi kami hilang seketika ketika kami bertegur sapa bercanda guram  dengan candaan-candaan yang menggelitik perut masing-masing.


Tas di bongkar, dikemas kembali dan disusun dengan rapih supaya perjalan kami ke puncak merapi tidak ada kendala dalam hal perbekalan. Yang kurang ditambah dan sebaliknya yang lebih di kurangi sesuai yang akan kami butuhkan nanti di perjalanan menuju puncak. Waktu itu, air kami kurang dan harus di tambah pada saat waktu itu juga soalnya sumber air yang ada hanya di basecamp. Dari basecamp sampai puncak yang tersedia sumber airnya hanya ada di basecamp, kamipun langsung melengkapinya  persedian air dengan mengisi di wadah jerigen yang kami bawa sebelumnya.

Setelah semua siap, dari alat pribadi sampai perlengkapan bersama. Tidak lupa kami memanjatkan do'a kepada sang pencipta, agar kami selamat dalam perjalanan menuju puncak dan balik kembali ke basecamp dengan selamat juga. Menundukan kepala dan berdo'a menurut kepercayaan masing-masing seketika hening dan selesai. Oiya kenapa kita berdo'a dengan kepercayaan masing-masing, Anes itu agamanya non islam. Jadi, kami menggunakan kalimat yang berbau toleransi.

Langkah demi langkah  kami kaki mulai meninggalkan basecamp. Sampai di satu titik mungkin ada beberapa meter dari basecamp, memang trek di via New Selo ini cukup terjal dan dengan kemiringan mendekati 90 derajat. Walaupun di jalur awal masih menggunakan paving block. Rahma, salah satu perempuan yang waktu itu ikut serta bersama kami, mungkin dia lelah apa gimana karena perjalanan yang melelahkan menuju basecamp tadi. Rahma ngeluh dan meminta beristirat. 

Perjalanan di lanjut, lagi-lagi Rahma meminta kami untuk beristirahat. Akhirnya dengan beberapa kali kami istirahnya, kami sampai di pos 1. Lanjut Rahma bergumam, entah capelah, maleslah, pengen balik lagilah. Dengan sebisa mungkin kami membujuk Rahma untuk melanjutkan dan akhirnya mau juga dia walaupun banyak istirahnya. 

Dari pada kita diam dan hanya ngeluh di tempat saja kita ngga bakal nyampe ke puncak. Pos demi pos telah kami lewati walaupun dengan bertatih-tatih kita laluinya akhirnya sampai juga. sesampainya kita di Pasar Bubrah, batu dan hamparan pasir bekas semburan gunung berapi menambah ciri khas tempat tersebut, dari ujung ke ujung di sekitar Pasar Bubrah tersebut tidak ada sedikitpun pepohonan yang tumbuh seperti di gunung semeru, oiya merapi juga dikenal dengan istilah semerunya Jawa. Ko gua jadi cerita nanjak sih kocak, udah dah nanti gua lanjut di catatan gua selanjutnya seputar pendakian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun