Barangkali, memang benar, bahwa tidak ada satupun seseorang di dunia ini yang benar-benar sempurna, karena di setiap dari diri kita, tentunya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun, ketika kita akan mulai membuka diri, dan membuka hati kepada seseorang, artinya kita siap menjalin sebuah hubungan dan kita siap untuk membuka diri kita kepada seseorang yang kita percayai akan menemani kita dalam keseharian, baik suka maupun duka, bahkan untuk jangka waktu yang panjang.
Akan tetapi, ketika akan menjalin hubungan baru, diri kita tentu juga bisa jadi, masih membawa kenangan, pengalaman, dan mungkin juga termasuk luka dan trauma di masa lalu, yang barangkali juga perlu untuk kita ceritakan kepada pasangan kita sebagai cerita tentang apa yang kita bawa agar ia mengetahui apa yang sebelumnya kita alami.
Namun, ketika kita justru tidak bertanggung jawab terhadap luka atau trauma yang disebabkan oleh seseorang di masa lalu, dan justru kita menganggap bahwa pasangan kita saat ini, kita harapkan bisa menjadi penyelamat, seolah-olah itu tugasnya yang harus membantu diri kita untuk tidak lagi terluka, maka harusnya tanggung jawab luka dan trauma itu bukan justru diumbar kepada pasangan, namun hanya sebagai cerita lalu yang bukan menjadi tanggung jawab pasangan kita.
Nah, pasti temen-temen pernah mendengar bahwa, jika ada seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya, artinya bisa jadi, kemungkinan besarnya ia justru akan merusak hubungan yang baru akan bertumbuh, dan tanpa sadar seseorang yang tidak selesai dengan luka dan trauma di masa lalunya itu, akan membenarkan perilakunya yang merusak hubungan tersebut. Nah, inilah yang disebut dengan glorifikasi trauma. Glorifikasi trauma ini merupakan fenomena yang justru membuat kisah kamu di masa lalu, bisa menjadi luka baru bagi orang yang saat ini bersama kamu.
Glorifikasi trauma ini adalah fenomena seseorang yang cenderung menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang memiliki cerita atau pengalaman luka dan trauma, yang justru cerita masa lalunya ini, dijadikan pembenaran terhadap perilakunya yang justru akan merusak hubungan yang sedang terjalin, di mana seseorang ini bukannya fokus pada bagaimana ia sembuh dari trauma dan luka di masa lalunya, akan tetapi itu justru menjadi alat untuk dirinya harus selalu dimengerti dan dipahami, karena dia pernah terluka dan trauma.Â
Jadinya, ini kan menunjukkan bahwa seseorang yang cenderung mengglorifikasikan traumanya itu, bisa jadi akan memposisikan dirinya untuk harus selalu didukung dan harus selalu divalidasi, sehingga dia yang punya trauma dan luka, merasa berhak untuk menghindari tanggung jawabnya terhadap penyembuhan dirinya sendiri, sehingga alih-alih berfokus pada bagaimana ia sembuh, justru traumanya itu membuat dia perlu dirayakan, sehingga pasangannya ini mau tak mau seolah-olah harus menghormati luka dan traumanya, bahkan ketika posisi pasangannya tidak melakukan kesalahan.Â
Tentunya, di sini pastinya seseorang yang masih mengglorifikasikan traumanya itu, bisa menciptakan dinamika hubungan yang tidak sehat, karena di sini, tentu pasangannya yang tidak bersalah, tidak tahu apa-apa, dan gara-gara trauma dan luka dari kamu yang miliki, justru malahan menargetkan sasaran emosi dan perilaku yang tidak baik itu kepada pasangan kamu, dan tentunya ini akan merusak apa yang sedang dibangun dalam hubungan tersebut.
Nah, ketika kamu terjebak pada pola glorifikasi trauma ini, pastinya akan berdampak pada pasanganmu sendiri yang akan mengalami kejadian yang menyakitkan. Ketika kamu masih terjebak pada pola ini, tanpa sadar kamu menjadikan pasangan kamu itu terapis untuk selalu mendengarkan cerita yang sama, memberikan validasi, dan bertanggung jawab atas kesembuhan kamu, yang itu justru mungkin akan menjadi beban pasanganmu sendiri, dan kesembuhanmu itu kan sebenarnya bukan tanggung jawab pasanganmu, tapi tanggung jawab diri kamu.
Sehingga, di sini hubungan yang seharusnya bisa bertumbuh, justru lama-kelamaan bisa mengurangi intensitasnya, bahkan mengikis perlahan-lahan pertumbuhan hubungan yang seharusnya setara dan saling mengasihi. Nah, pola ini juga bisa membuat kamu merasa perilaku yang membuat hubungan kamu rusak itu, seolah-olah kamu benarkan, seperti tiba-tiba meledak, marah tanpa sebab, cemburu berlebihan, atau gaslighting, yang sering kali kamu benarkan dengan mengatakan kepada pasangan kamu bahwa pasangan kamu harus memaklumi, karena kamu mempunyai trauma atau di sini kamu merasa bahwa trauma dan luka kamu itu jadi tameng yang membuat kamu merasa kebal dari kritik dan tanggung jawab yang seharusnya bukan tanggung jawab pasanganmu, tapi tanggung jawab diri kamu.
Mungkin awal-awal pasangan kamu akan mencoba berusaha sekuat tenaga merasa perlu untuk bersimpati dengan apa yang kamu alami, akan tetapi hal itu juga justru perlahan-lahan membuat perasaan pasangan kamu juga lelah secara emosional, ikut mengalami kecemasan, bahkan mengalami juga trauma sekunder yang berakibat dari apa yang kamu paparkan dan apa yang kamu akibatkan dari perilaku kamu yang manipulatif dan playing victim. Ini kan justru bukannya jadi berfokus pada bagaimana hubungan itu bertumbuh, tapi justru membuat kedekatan dan keintiman yang terjadi dan terjalin itu menjadi rawan dan tidak sehat.
Sehingga, glorifikasi trauma yang kamu miliki itu membuat kamu sekuat tenaga membangun tembok, dan di sini mungkin pasangan kamu akan melihat itu kamu sebagai seseorang yang mau bertumbuh, justru sebagai seorang korban yang harus sembuh dulu dari luka dan trauma, yang perlu diurus, sehingga jika kamu juga tidak mau berusaha sembuh dari luka dan trauma yang kamu miliki, bisa jadi kemungkinan besarnya, kamu akan menghilangkan kesempatan untuk menjalin hubungan yang harusnya lebih bertumbuh dengan cinta dan rasa hormat.