"Aku males."
"Nanti kamu tak punya nilai di rapot lho."
Mendengar kata rapot, aku menjadi takut. Memang orang tuaku dan saudaraku tidak akan peduli seperti apa rapotku. Tapi aku peduli. Aku memiliki kesempatan sekolah ini, aku akan menjadi anak berbrestasi, biar pun badanku cacat.
Dan semua ambisi itu tidak boleh berantakan hanya karena nilai ekstra kurikuler. Aku sendiri tak berani membayangkan, aku yang tingginya hanya semeter ini akan berbaris bersama pramuka lain. Pasti keberadaanku akan merusak barisan.
Orang-orang pasti akan menertawakanku habis-habisan. Dan julukan Daus mini akan menyebar ke seluruh sekolah. Bukankah anggota ekstra itu juga dari kelas yang lain. Tapi bagaimana nilai ekstra kurilkulerku nanti?
Jujur aku mengalami dilema yang berat. Dan Romli kemudian memberikan jawaban yang aku butuhkan.
"Kalau nanti tidak cocok bisa pindah ekstra kurikuler yang lain, yang sesuai dengan minatmu."
"Oh gitu," kataku senang.
"Iya."
Aku ingin mencoba, dan nanti kalau tidak kerasan aku bisa pindah ke yang lain. Tentu saja aku tidak mungkin pindah ke ekskul yang lain. Mungkin lebih tepat disebut keluar. Kalau tidak kerasan ya keluar. Persetan dengan eskul yang lain, persetan dengan nilai rapot, yang penting ikut dulu. Selain tak perlu seragam baru, minimal ada Romli.
"Yaudah aku ikut pramuka saja."