Mohon tunggu...
Angga Suanggana
Angga Suanggana Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans DIY

Hukum Ketenagakerjaan dan Pelindungan Tenaga Kerja

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Mengatasi Prematurnya Norma Upah pada Usaha Mikro dan Usaha Kecil

23 November 2022   10:24 Diperbarui: 24 November 2022   07:20 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi UMKM yang memproduksi produk kerajinan tangan dekorasi rumah. (SHUTTERSTOCK/JUAN HERBERT GIRSANG via KOMPAS.com)

Peraturan-peraturan dalam bidang Ketenagakerjaan menyisakan masalah serius bagi usaha mikro dan usaha kecil.

Definisi pengusaha dan definisi perusahaan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak membedakan skala usaha mikro, kecil, menengah dan besar.

Konsekuensinya, semua pengusaha dan perusahaan, tidak peduli skalanya, terikat pada semua peraturan tersebut. Padahal ada sebagian usaha mikro dan usaha kecil yang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menerapkannya.

Apabila semua usaha mikro dan kecil dipaksa untuk mematuhi peraturan, bisa jadi usaha itu malah mengalami kesulitan dan bahkan gulung tikar. Hotel prodeo akan penuh sesak oleh pengusaha mikro dan kecil yang divonis melanggar peraturan di bidang Pengupahan.

Perekonomian akan runtuh karena penyangga utamanya berguguran diterpa badai penegakan hukum yang tidak seimbang dan tidak pada tempatnya. Inilah salah satu dilema penerapan Norma Pengupahan, sebelum adanya Undang-Undang Cipta Kerja. Itulah sebabnya diperlukan suatu aksi afirmatif bagi usaha mikro dan usaha kecil (UMUK) dalam bidang Pengupahan.

Meski demikian, konsep affirmative action sebagai suatu diskriminasi yang semula dipandang positif, bisa berubah menjadi negatif apabila tidak dikawal dengan rambu-rambu hukum yang jelas dan perhitungan yang matang. Itulah sebabnya aksi afirmatif ini perlu dituangkan dalam suatu regulasi.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja memberi angin segar kepada UMUK. Pasal 81 Angka 28 memunculkan Pasal 90B, sebagai suatu aksi afirmatif yang mengecualikan UMUK dari kewajiban Upah Minimum.

Dispensasi ini kemudian diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan (PP Pengupahan), khususnya di Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38.

Tentu saja, regulasi baru ini sangat patut diapresiasi. UMUK mendapatkan perlakuan istimewa, untuk bisa mengembangkan dan memajukan usahanya. UMUK dapat bernapas lega, karena mendapatkan keringanan dalam pembayaran Upah Minimum bagi Pekerjanya.

Namun demikian, sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, aksi afirmatif ini harus dipagari oleh rambu-rambu hukum yang jelas dan ketat. Dan sayangnya, pengaturan dalam tiga Pasal tersebut masih sangat prematur dan belum tuntas. Masih banyak kendala-kendala riil di lapangan yang belum bisa diatasi oleh tiga Pasal tersebut. Kendala-kendala tersebut adalah sebagai berikut:

Kendala pertama terletak pada kriteria UMUK

PP Pengupahan pada Pasal 37 menyatakan bahwa UMUK harus memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, kriteria tersebut mengacu ke Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP Kop UMKM).

Menurut PP ini, khususnya di Pasal 35, ada dua kriteria yang digunakan untuk menentukan skala UMUK.

Kriteria yang pertama adalah modal usaha

Kriteria modal usaha ini digunakan untuk pendirian atau pendaftaran kegiatan usaha. Dengan kata lain, kriteria ini hanya digunakan di awal saja, di saat Pengusaha baru memulai bisnisnya.

Usaha Mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak satu miliar rupiah, sedangkan Usaha Kecil memiliki modal usaha lebih dari satu miliar rupiah sampai dengan paling banyak lima miliar rupiah. Dalam kriteria modal usaha ini, tanah dan bangunan tempat usaha tidak termasuk yang dihitung.

Kriteria ini digunakan dalam pendirian atau pendaftaran kegiatan usaha, yang dilakukan melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik. Pengusaha melakukan pengisian secara mandiri ke dalam aplikasi Online Single Submission (oss.go.id). Salah satu dokumen yang diterbitkan oleh aplikasi ini adalah Nomor Induk Berusaha (NIB), yang mencantumkan skala UMUK.

Artinya, untuk mengetahui skala suatu usaha pada awal usaha tersebut berdiri/didaftarkan, dapat ditemukan dalam dokumen NIB.

Selanjutnya, bagaimana caranya untuk mengetahui skala suatu usaha setelah sekian waktu berjalan?

Dalam hal ini dapat digunakan kriteria yang kedua, yaitu hasil penjualan tahunan. Usaha Mikro memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak dua miliar rupiah.

Sedangkan Usaha Kecil memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari dua miliar rupiah sampai dengan paling banyak lima belas miliar rupiah.

UMUK yang memenuhi dua kriteria tersebut (modal usaha dan hasil penjualan tahunan), dapat dipertimbangkan untuk menerapkan pengecualian Upah Minimum.

Namun pada kenyataannya, pemenuhan dua kriteria ini bukannya tanpa cela. Masih terbuka kemungkinan bagi sebagian oknum untuk mengisi data di OSS secara tidak benar.

Untuk mendapatkan NIB, pengusaha cukup mengisi data secara mandiri di aplikasi. Metode pengisian secara mandiri ini masih membuka celah bagi oknum pengusaha berskala menengah/besar untuk mengaku-ngaku sebagai UMUK.

Selain itu, hasil penjualan tahunan juga bisa direkayasa sedemikian rupa sehingga menjadi kurang dari lima belas miliar rupiah. Inilah salah satu kendala yang membuat norma ini tergolong prematur.

Tentunya, norma yang baik ini tidak boleh dibiarkan prematur. Perlu upaya khusus untuk mengatasi belum tuntasnya rambu-rambu hukum dalam aksi afirmasi ini. Alternatif solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan melakukan klarifikasi dan penghitungan secara riil oleh petugas yang berwenang dan berkompeten. Harus dilakukan verifikasi dan validasi (Verval) secara obyektif di lapangan, untuk memastikan kebenaran serta akurasi modal usaha maupun hasil penjualan tahunan.

Setelah itu, petugas yang bersangkutan menuangkan hasil Verval tersebut secara resmi ke dalam suatu dokumen tertulis. Dokumen inilah yang dijadikan pegangan, apakah suatu usaha itu benar-benar memenuhi kriteria UMUK atau tidak. Berdasarkan dokumen tersebut, suatu UMUK dapat dipertimbangkan untuk menerapkan pengecualian Upah Minimum.

Bazar UMUK pada venue Porda DIY 2022 (foto: joglojateng.com)
Bazar UMUK pada venue Porda DIY 2022 (foto: joglojateng.com)

Kendala kedua terletak pada syarat UMUK yang dapat menerapkan pengecualian Upah Minimum

Suatu usaha yang telah memenuhi kriteria UMUK, tidak langsung dapat menerapkan pengecualian tersebut. Tidak semua UMUK dapat menikmati dispensasi tersebut. Hanya UMUK tertentu saja yang bisa mendapatkan keistimewaan ini, yaitu UMUK yang memenuhi syarat yang ada di PP Pengupahan.

Ada tiga syarat yang diatur di Pasal 38, yaitu mengandalkan sumber daya tradisional, tidak bergerak pada usaha berteknologi tinggi, dan/atau tidak padat modal. UMUK dapat menerapkan pengecualian Upah Minimum apabila telah memenuhi dua kriteria (modal usaha dan hasil penjualan tahunan) dan juga memenuhi tiga syarat tersebut.

Namun pada kenyataannya, pemenuhan tiga syarat tersebut bukannya tanpa cela. Belum jelas mengenai apa yang dimaksud dengan sumber daya tradisional. Belum jelas pula mengenai apa yang dimaksud dengan usaha berteknologi tinggi.

Syarat yang ketiga pun demikian, mengenai padat modal. Belum ada pagar yang membatasi ketiga syarat tersebut. Belum ada definisi yang tegas, yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengukur pemenuhan syarat tersebut oleh UMUK. Inilah salah satu kendala lainnya yang membuat norma ini tergolong prematur.

Tentunya, norma yang baik ini tidak boleh dibiarkan prematur. Perlu upaya khusus untuk mengatasi belum tuntasnya rambu-rambu hukum dalam aksi afirmasi ini. Syarat-syarat tersebut harus dijabarkan secara lebih spesifik dan konkret, agar tidak menimbulkan berbagai macam pemahaman maupun penafsiran.

Alternatif solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan menyusun definisi yang tegas dan tolok ukur yang jelas mengenai ketiga syarat tersebut. Kemudian, definisi dan tolok ukur itulah yang digunakan sebagai instrumen dalam melakukan Verval di lapangan. Dalam hal ini, Verval harus tetap dilakukan terhadap UMUK, untuk memastikan apakah syarat-syarat tersebut benar-benar terpenuhi atau tidak.

Verval bisa dilakukan secara sekaligus, yaitu untuk memastikan UMUK yang bersangkutan memang sesuai dengan kriterianya, sekaligus untuk mengukur terpenuhinya tiga syarat tersebut di atas. Hasil Verval kemudian dituangkan ke dalam dokumen tertulis, sebagai pegangan resmi bagi UMUK untuk menerapkan pengecualian Upah Minimum.

Kendala ketiga terletak pada rumus yang digunakan untuk menghitung nilai Upah pada UMUK

Sebenarnya, rumus ini sudah tercantum dalam PP Pengupahan, khususnya di ketentuan Pasal 36 ayat (2). Namun sayangnya, rumus tersebut masih menimbulkan multitafsir di lapangan. Menurut ketentuan tersebut, Upah pada UMUK ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dengan Pekerja, dengan ketentuan:

a. paling sedikit sebesar 50% (lima puluh persen) dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi; dan

b. nilai Upah yang disepakati paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.

Ketentuan tersebut menimbulkan multitafsir. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang memahami bahwa rumus Upah pada UMUK adalah a ditambah b. Namun di sisi lain, ada pihak-pihak yang memahami bahwa rumus Upah pada UMUK adalah a atau b.

Penafsiran yang pertama mengatakan bahwa harus dijumlahkan antara nilai 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat dengan nilai 25% di atas garis kemiskinan. Hasil penjumlahan dari dua nilai tersebut merupakan nilai Upah Minimum pada UMUK. Ini adalah penafsiran yang bersifat kumulatif.

Sedangkan penafsiran yang kedua mengatakan bahwa nilai Upah pada UMUK cukup menggunakan salah satu di antara dua nilai tersebut. UMUK cukup menggunakan nilai 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat, atau menggunakan nilai 25% di atas garis kemiskinan. Ini adalah penafsiran yang bersifat alternatif.

Timbulnya dua penafsiran tersebut merupakan salah satu kendala lainnya yang membuat norma ini tergolong prematur. Tentu saja, norma yang baik ini tidak boleh dibiarkan prematur. Perlu upaya khusus untuk mengatasi belum tuntasnya rambu-rambu hukum dalam aksi afirmasi ini.

Alternatif solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan menegaskan bahwa penafsiran yang tepat adalah penafsiran kumulatif. Hal ini sudah sesuai dengan redaksi Pasal 36 ayat (2) yang menggunakan kata “dan”, untuk menghubungkan antara poin a dengan poin b. Pemahaman yang tepat terhadap penggunaan kata “dan” dalam rumus tersebut adalah berupa penjumlahan.

Alternatif solusi lainnya yang bisa ditawarkan adalah dengan menetapkan penghitungan Upah pada UMUK di dalam Keputusan Gubernur.

Setiap tahun, Gubernur menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Alangkah baiknya apabila setiap tahun Gubernur juga menetapkan Upah pada UMUK. Penetapan ini sangat urgen untuk memberikan kemantapan dan kepastian di lapangan.

Penetapan ini dapat memberikan kemantapan atas rumus yang digunakan dalam penghitungannya, sekaligus memberikan kepastian mengenai nilai yang dihasilkan dari penghitungan tersebut. Agar lebih konkret dan jelas, berikut adalah penghitungan Upah pada UMUK untuk tahun 2023 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Pertama-tama, dibutuhkan data rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi. Selain itu, juga dibutuhkan data garis kemiskinan di tingkat provinsi.

Data-data tersebut bisa ditemukan dalam Lampiran Surat Menteri Ketenagakerjaan Nomor: B-M/360/HI.01.00/XI/2022 Tanggal: 11 November 2022 yang ditujukan kepada para Gubernur se-Indonesia. Berdasarkan lampiran surat tersebut, rata-rata konsumsi masyarakat DIY adalah Rp. 1.480.374, serta garis kemiskinan di DIY adalah Rp. 521.673.

Penghitungan untuk poin a, yaitu 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat, yaitu 50% x Rp. 1.480.374, sehingga didapatkan nilai Rp. 740.187. Penghitungan untuk poin b, yaitu 25% di atas garis kemiskinan, yaitu (25% x Rp. 521.673) + Rp. 521.673 = Rp. 130.418,25 + Rp. 521.673, sehingga didapatkan nilai Rp. 652.091,25.

Setelah didapatkan nilai poin a dan poin b, dilakukan penjumlahan sesuai rumus yang ada di Pasal 36 ayat (2), yaitu Rp. 740.187 + Rp. 652.091,25, sehingga didapatkan nilai Rp. 1.392.278,25 (satu juta tiga ratus sembilan puluh dua ribu dua ratus tujuh puluh delapan koma dua puluh lima rupiah). Inilah nilai Upah Minimum pada UMUK di DIY untuk tahun 2023. UMUK dapat menerapkan Upah yang kurang dari UMP/UMK, namun tidak boleh kurang dari Rp. 1.392.278,25.

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, alangkah baiknya apabila hasil penghitungan ini ditetapkan secara resmi di dalam Keputusan Gubernur. Penetapan inilah yang digunakan sebacai acuan di lapangan, agar terdapat kemantapan dan kepastian di tengah-tengah masyarakat.

Kendala keempat terletak pada lamanya keringanan Upah ini digunakan oleh UMUK

Peraturan perundang-undangan belum membatasi jangka waktu bagi suatu UMUK untuk dapat menerapkan pengecualian UMP/UMK.

Keringanan Upah pada UMUK ini seyogianya merupakan bagian dari proses fasilitasi pengembangan usaha sebagaimana yang diatur dalam PP Kop UMKM, khususnya di Pasal 92. Fasilitasi pengembangan usaha dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu saja. Karena keringanan Upah merupakan bagian dari proses fasilitasi pengembangan usaha, maka jangka waktu keringanan Upah harus disamakan dengan jangka waktu fasilitasi tersebut.

Jangka waktu dispensasi Upah pada UMUK harus dibatasi sesuai dengan jangka waktu fasilitasi pengembangan usaha yang diatur dalam PP Kop UMKM. Pembatasan ini diperlukan agar UMUK yang bersangkutan tidak terlena dengan dispensasi yang didapatkannya.

Jika jangka waktu dispensasi tidak dibatasi, bisa jadi suatu UMUK akan berlama-lama menikmati keleluasaannya untuk tidak mematuhi kewajiban UMP/UMK. Affirmative action yang terlalu lama justru akan membunuh semangat berkompetisi, serta memperkuat kesan perlakuan yang tidak adil pada sesama warga negara.

Hal lainnya yang juga penting adalah bahwa keringanan/dispensasi Upah ini hanya dapat diterapkan satu kali saja. Artinya, setelah jangka waktu dispensasi habis, UMUK tidak dapat lagi menerapkan pengecualian UMP/UMK tersebut.

Pembatasan ini diperlukan agar UMUK tidak terlena dengan kesempatan yang didapatkannya. Jangan sampai keringanan ini tidak berkontribusi pada pengembangan usaha.

Bila dispensasi tidak dibatasi hanya satu kali, bisa jadi suatu UMUK akan terus-menerus membayar upah murah sekedar untuk secara legal menghindari kewajiban UMP/UMK.

Harus dipastikan bahwa dispensasi yang diterima benar-benar dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mengembangkan usaha menuju ke skala atau taraf yang lebih tinggi.

Sambutan Presiden dalam acara Pemberian NIB Pelaku UMUK (foto: setneg.go.id)
Sambutan Presiden dalam acara Pemberian NIB Pelaku UMUK (foto: setneg.go.id)

Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa usaha mikro dan usaha kecil (UMUK) memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian serta penyerapan Tenaga Kerja di Tanah Air.

Menurut Presiden, UMUK berkontribusi sebesar 61% terhadap ekonomi nasional. Bahkan terhadap penyerapan Tenaga Kerja, UMUK berkontribusi sampai 97%.

Data ini semakin menegaskan bahwa betapa vitalnya penerapan Upah pada UMUK. 97% Tenaga Kerja nasional menggantungkan nasibnya pada penerapan Upah ini.

Sudah saatnya bagi semua pihak untuk mencurahkan perhatian yang lebih besar, demi mengatasi prematurnya norma Upah pada UMUK. Berbagai kendala di atas harus segera diatasi, agar 97% Tenaga Kerja nasional bisa mendapatkan perlindungan Upah yang layak.

Dengan alternatif solusi yang telah dibahas di atas, semoga UMUK bisa terus maju dan berkembang, dan juga kesejahteraan para Tenaga Kerja di Indonesia bisa tetap terjaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun