Mohon tunggu...
Angga Suanggana
Angga Suanggana Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans DIY

Hukum Ketenagakerjaan dan Pelindungan Tenaga Kerja

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Mengatasi Prematurnya Norma Upah pada Usaha Mikro dan Usaha Kecil

23 November 2022   10:24 Diperbarui: 24 November 2022   07:20 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi UMKM yang memproduksi produk kerajinan tangan dekorasi rumah. (SHUTTERSTOCK/JUAN HERBERT GIRSANG via KOMPAS.com)

Syarat yang ketiga pun demikian, mengenai padat modal. Belum ada pagar yang membatasi ketiga syarat tersebut. Belum ada definisi yang tegas, yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengukur pemenuhan syarat tersebut oleh UMUK. Inilah salah satu kendala lainnya yang membuat norma ini tergolong prematur.

Tentunya, norma yang baik ini tidak boleh dibiarkan prematur. Perlu upaya khusus untuk mengatasi belum tuntasnya rambu-rambu hukum dalam aksi afirmasi ini. Syarat-syarat tersebut harus dijabarkan secara lebih spesifik dan konkret, agar tidak menimbulkan berbagai macam pemahaman maupun penafsiran.

Alternatif solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan menyusun definisi yang tegas dan tolok ukur yang jelas mengenai ketiga syarat tersebut. Kemudian, definisi dan tolok ukur itulah yang digunakan sebagai instrumen dalam melakukan Verval di lapangan. Dalam hal ini, Verval harus tetap dilakukan terhadap UMUK, untuk memastikan apakah syarat-syarat tersebut benar-benar terpenuhi atau tidak.

Verval bisa dilakukan secara sekaligus, yaitu untuk memastikan UMUK yang bersangkutan memang sesuai dengan kriterianya, sekaligus untuk mengukur terpenuhinya tiga syarat tersebut di atas. Hasil Verval kemudian dituangkan ke dalam dokumen tertulis, sebagai pegangan resmi bagi UMUK untuk menerapkan pengecualian Upah Minimum.

Kendala ketiga terletak pada rumus yang digunakan untuk menghitung nilai Upah pada UMUK

Sebenarnya, rumus ini sudah tercantum dalam PP Pengupahan, khususnya di ketentuan Pasal 36 ayat (2). Namun sayangnya, rumus tersebut masih menimbulkan multitafsir di lapangan. Menurut ketentuan tersebut, Upah pada UMUK ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dengan Pekerja, dengan ketentuan:

a. paling sedikit sebesar 50% (lima puluh persen) dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi; dan

b. nilai Upah yang disepakati paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.

Ketentuan tersebut menimbulkan multitafsir. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang memahami bahwa rumus Upah pada UMUK adalah a ditambah b. Namun di sisi lain, ada pihak-pihak yang memahami bahwa rumus Upah pada UMUK adalah a atau b.

Penafsiran yang pertama mengatakan bahwa harus dijumlahkan antara nilai 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat dengan nilai 25% di atas garis kemiskinan. Hasil penjumlahan dari dua nilai tersebut merupakan nilai Upah Minimum pada UMUK. Ini adalah penafsiran yang bersifat kumulatif.

Sedangkan penafsiran yang kedua mengatakan bahwa nilai Upah pada UMUK cukup menggunakan salah satu di antara dua nilai tersebut. UMUK cukup menggunakan nilai 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat, atau menggunakan nilai 25% di atas garis kemiskinan. Ini adalah penafsiran yang bersifat alternatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun