Tiga sosok berdiri pada tepi senja,
di mana bumi mulai melupakan terang,
dan langit belum sepenuhnya ingat pada gelap.
Mereka biarawati berjubah doa,
berkerudung sunyi yang telah diasah waktu.
Langkah mereka tidak mencari,
namun menanti.
Bukan jawaban, bukan jalan pulang,
melainkan makna dari diam yang panjang.
Wajahnya menua oleh air mata,
bukan karena duka, tapi karena cinta
yang tak pernah memaksa kembali.
Ia memandang kabut seperti membaca kitab tua:
tiap helai abu-abu adalah ayat,
tentang kehilangan yang justru mendekatkan.
Matanya tajam menembus senja,
seperti ingin mengoyak tirai langit
dan bertanya: "Sampai kapan Engkau sembunyi?"
Tapi bibirnya tetap bisu,
karena iman kadang tak perlu suara,
cukup menggigil dalam dada.
Kabut turun seperti rahasia,
menyelimuti tubuh, menelan bayang-bayang.
Namun dari balik kerudung mereka,
mengalun senandung pelan:
lagu yang hanya dikenal oleh langit,
dan ditulis ulang oleh waktu di setiap senja.
Di antara desau angin dan rasa gumam terakhir,
ada ruang kosong yang tidak ingin diisi,
karena di sanalah Tuhan bersandar,
mengintip dari balik kabut-Nya,
mendengar tiga hati yang tidak memohon apa-apa
kecuali diberi cukup sunyi untuk percaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI