Namun berbeda dengan prasasti lainnya, tapak kaki di Prasasti Cimaung bukan tapak kaki orang dewasa atau raja, melainkan telapak bayi. Beberapa peneliti menafsirkannya sebagai simbol kesucian, kelahiran baru, atau jejak roh leluhur.Â
Penafsiran ini membuka ruang bagi pemahaman yang lebih luas, tidak hanya terkait kekuasaan politik, tetapi juga spiritualitas dan filosofi kehidupan masyarakat Sunda.
Perbandingan dengan Prasasti Lain di Nusantara
Untuk memahami keunikan Prasasti Cimaung, penting membandingkannya dengan prasasti lain di Indonesia yang juga memuat simbol tapak kaki atau tulisan kuno.
| Prasasti   | Lokasi       | Simbol Utama          | FungsiÂ
| Cimaung   | Bandung     | Tapak kaki bayi, aksara  | Belum jelas, mungkin spiritual
| Ciaruteun  | Bogor        | Tapak kaki raja         | Legitimasi kekuasaanÂ
| Jambu     | Bogor        | Tapak kaki dan pujian   | Penegasan nilai moral raja
| Balitung   | Jawa Tengah | Teks formal            | Administratif dan politik
Perbandingan ini menunjukkan bahwa Prasasti Cimaung memiliki posisi yang berbeda. Jika prasasti lain cenderung formal dan berhubungan dengan kekuasaan, maka Prasasti Cimaung lebih bersifat simbolik dan penuh misteri. Keberadaannya di tengah wilayah urban modern juga membuatnya unik karena menghadirkan jejak sejarah di tengah kehidupan masyarakat kontemporer.
Identitas Lokal dan Kebangkitan Budaya
Bagi masyarakat sekitar, Prasasti Cimaung tidak hanya sekadar artefak kuno. Batu ini mulai dipandang sebagai pemantik kesadaran budaya lokal. Warga, mahasiswa, dan peneliti semakin sering mendatangi lokasi untuk melihat langsung prasasti tersebut.
Jika kelak berhasil diakui secara resmi, Prasasti Cimaung berpotensi menjadi ikon budaya Kota Bandung. Ia bisa masuk dalam kurikulum lokal, dijadikan destinasi wisata sejarah, bahkan menjadi pusat penelitian lanjutan. Lebih dari itu, batu ini memberi pesan bahwa identitas lokal tidak selalu lahir dari pusat kerajaan, tetapi juga dari ruang hidup masyarakat kecil.