Partisipannya adalah warga suatu negara yang bersepakat untuk membentuk suatu nation (bangsa) -- yang dalam wacana ruang publiknya -- tidak memandang perbedaan agama, atau latar belakang suku dan ras.
Warga negara ya warga suatu negara yang sah (punya KTP) dan tidak terlibat kasus pidana dan tidak hilang hak-hak politiknya.
Politik yang otentik berangkatnya dari prinsip yang egaliter (setara), adanya kebebasan (freedom), tidak terbelenggu (dengan kebodohan, tekanan kemiskinan, dlsb) dan setiap partisipan politik berkoeksistensi dalam suatu lingkungan hidup yang bhinneka (plural).
Konsep politik yang otentik ini jadi sulit dimengerti oleh mereka yang sudah terbiasa hidup dalam suasana politik praktis ala Machiavellian, dimana perebutan kekuasaan dan siasat mempertahankannya menjadi tema sentral.
Apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo dengan mengajukan calon tunggal Kapolri yang berlatar Nasrani adalah juga salah satu terobosan dalam peta pendidikan politik bangsa.
Terobosan menuju praktek politik yang otentik, bukan politik yang berlatar identitas semata.
Dan perjalanan suatu bangsa memang sangat ditentukan oleh kepemimpinan yang ada pada jamannya. Maka boleh dibilang, bahwa langkah politik Presiden Joko Widodo yang tidak bisa didikte oleh kelompok penekan macam MUI atau kelompok/tokoh individual lain yang masih picik dengan politik identitasnya adalah berkat bagi bangsa Indonesia.
Berkat dalam membimbing langkah menuju praktek politik yang otentik, sambil membersihkan diri dari toksik politik identitas maupun toksiknya politik mamon yang demi kekuasaan semata. Seperti sekarang banyak dipraktekkan oleh para politisi dan partai politik yang ada.
Maka tinggallah sekarang kita rakyat, menentukan sikap.
"The sad truth is that most evil is done by people who never make up their minds to be good or evil." -- Hannah Arendt.
21/01/2021