Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Covid-19 Sedang Mendekonstruksi Keindonesiaan Kita

8 April 2020   12:01 Diperbarui: 8 Mei 2020   20:23 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika keIndonesiaan adalah suatu identitas, suatu tanda, maka realitas apakah yang diwakili oleh tanda itu? Apa yang seharusnya? dan apa yang sedang terjadi?

Tanda atau simbol Garuda Pancasila kita terlihat gagah. Ia kuat mencengkeram seuntai pita bertuliskan semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika'. Berbeda-beda, beragam-ragam, tapi tetap satu. Ada rasa persatuan dalam realitas keragaman itu.

Pertanyaannya, masih adakah rasa persatuan itu?

Tentu ada! Seharusnya ada! Ya, itu yang seharusnya. Apa wujud nyata dari rasa persatuan itu?

Teoritis, ciri-ciri persatuan adalah saling menghormati hak dan kewajiban orang lain. Saling hidup bertenggang rasa. Saling mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Tapi sporadis dalam kenyataannya masih ada (banyak?) peristiwa yang tidak mencerminkan ciri persatuan itu. Tak usah lagi disinggung disini, kita sudah dengan seksama memantaunya lewat gadget kita atau malah mengalaminya langsung.

Kejadian-kejadian itu tentu mengecewakan, melukai hati banyak anak bangsa. Dan kalau tidak dibereskan segera, potensial meretakan rasa persatuan itu.

Ditengarai banyak peristiwa sporadis yang detrimental terhadap rasa persatuan itu direkayasa pihak-pihak tertentu. Direkayasa secara langsung maupun sebagai akibat turunan dari rekayasa itu.

Soal ini kita pun sudah paham semua. Sudah terjadi, dan sempat ada pembiaran yang cukup lama, kita pun sudah menyesalkannya. Nasi sudah jadi bubur. Sayang buburnya pun bubur busuk, sehingga tak bisa dimakan. Jadi bagaimana?

Perlu ada perbaikan. Ya tentu saja, nenek ompong juga tahu itu. Dan beberapa tahun terakhir juga sudah mulai diupayakan. Tapi kok terasa lambat. Ya rekayasa sosial (social-engineering) memang tidak semudah membalikan telapak tangan.

Maka datanglah wabah. Virus Corona alias Covid19. Ia datang memporak porandakan segala absolutisme. Yang adigang-adigung-adiguna dirontokannya seketika. Ada pelajaran penting disini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun