Jika keIndonesiaan adalah suatu identitas, suatu tanda, maka realitas apakah yang diwakili oleh tanda itu? Apa yang seharusnya? dan apa yang sedang terjadi?
Tanda atau simbol Garuda Pancasila kita terlihat gagah. Ia kuat mencengkeram seuntai pita bertuliskan semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika'. Berbeda-beda, beragam-ragam, tapi tetap satu. Ada rasa persatuan dalam realitas keragaman itu.
Pertanyaannya, masih adakah rasa persatuan itu?
Tentu ada! Seharusnya ada! Ya, itu yang seharusnya. Apa wujud nyata dari rasa persatuan itu?
Teoritis, ciri-ciri persatuan adalah saling menghormati hak dan kewajiban orang lain. Saling hidup bertenggang rasa. Saling mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Tapi sporadis dalam kenyataannya masih ada (banyak?) peristiwa yang tidak mencerminkan ciri persatuan itu. Tak usah lagi disinggung disini, kita sudah dengan seksama memantaunya lewat gadget kita atau malah mengalaminya langsung.
Kejadian-kejadian itu tentu mengecewakan, melukai hati banyak anak bangsa. Dan kalau tidak dibereskan segera, potensial meretakan rasa persatuan itu.
Ditengarai banyak peristiwa sporadis yang detrimental terhadap rasa persatuan itu direkayasa pihak-pihak tertentu. Direkayasa secara langsung maupun sebagai akibat turunan dari rekayasa itu.
Soal ini kita pun sudah paham semua. Sudah terjadi, dan sempat ada pembiaran yang cukup lama, kita pun sudah menyesalkannya. Nasi sudah jadi bubur. Sayang buburnya pun bubur busuk, sehingga tak bisa dimakan. Jadi bagaimana?
Perlu ada perbaikan. Ya tentu saja, nenek ompong juga tahu itu. Dan beberapa tahun terakhir juga sudah mulai diupayakan. Tapi kok terasa lambat. Ya rekayasa sosial (social-engineering) memang tidak semudah membalikan telapak tangan.
Maka datanglah wabah. Virus Corona alias Covid19. Ia datang memporak porandakan segala absolutisme. Yang adigang-adigung-adiguna dirontokannya seketika. Ada pelajaran penting disini.