"Gue bukan semua orang." Boni menjawab dengan dingin kemudian bangkit dari tempat tidur. Mencari celana jeans nya.
Bagi Boni, Lyra adalah seseorang yang special. Parasnya anggun, kakinya jenjang, hidungnya mancung, bibirnya tipis, dia adalah seorang Dewi. Terlebih dari itu Lyra merupakan orang yang tidak pilih-pilih soal bergaul. Posisi dirinya yang berada di tingkatan socialite kaya Jakarta, fashionistas, selebritis tidak membatasi dirinya untuk mau hangout dengan orang-orang itu saja. Selain itu sifatnya yang independent, tegas dan lugas adalah daya Tarik tersendiri.
"Kok udah pake baju? Kita kan belum selesai." Ucap Lyra setengah bercanda. Ia sadar akan gesture "ngambek" dari Boni itu. Dan ia mencoba mencairkannya. Boni hanya diam, sambil memakai polo shirt nya.
"Enggak jadi nginep? Besok kan kita libur.." Lyra masih berusaha menahan Boni dengan se-casual mungkin.
Sadar bahwa kalimat-kalimatnya tidak berguna, Lyra bangkit, memakai kimono nya yang tergantung dua meter dari tempat tidur. Kemudian segera duduk menyampingi Boni yang sudah mendapati kaus kakinya. Lyra memegang tangan Boni dengan lembutÂ
"Hey, ayolah. Gue Cuma ingin panggilan yang biasa saja. Biar enggak double standard gitu." Lyra mengusap wajah Boni dengan jari-jari lentiknya.
"Lalu gue enggak ada bedanya dong dengan yang lain?" tanya Boni.
"Yaa beda dong. Kalau lo sama seperti yang lain, enggak mungkin kan kita sama-sama di apartment gue sekarang."Â jawab Lyra
"Bukan itu maksud gue." Sanggah Boni
"Jadi apa maksud lo?" tanya Lyra lagi, tampak berusaha bersabar. Malam ini sudah dimulai dengan baik, dan dirinya masih menginginkan kelanjutannya hingga pagi. Namun Boni yang sekarang sedang dihadapinya bukannya memperlihatkan kedewasaan dalam hubungan ini, justru bertingkah seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh Mamanya.
"Gue menginginkan lebih. Ayolah, lo sudah tau itu. Gue menginginkan semuanya dari lo Lyra." Jawab Boni lagi.