Ada perasaan kehilangan bang Hamzah, ada perasaan marah terhadapnya, dan kecewa, itulah aku sekarang bila mengingat semua tentang bang Hamzah. Bagaimanapun, dia, adalah kakak sekaligus Old Brother yang mengenalkanku ke dunia politik dan bisnis tak sehat ini.
Sekelumit peristiwa yang aku alami beserta bang Hamzah adalah sebuah pelajaran yang berharga, namun, kematian Pak Prayoga yang tak wajar dan mati di tangan Hamzah adalah pukulan telak dalam hidupku. Pak Prayoga, yang aku anggap sebagai "God Father" itu telah pergi selama-lamanya. Semoga beliau dalam damai bersama Tuhan.
"Bang Hamzah, bagaimana Kabarmu di dalam penjara ini?" itu pertanyaanku ketika membesuk dirinya di Lapas
Bang Hamzah, terlihat sehat, Â segar, dan bersih. Kulitnya yang kuning terang semakin terlihat, namun tubuhnya, yang dulu perkasa dan kekar kini susut, mukanya pun sedikit tirus.
***
Aku, hanya terdiam dan tak bisa berkata-kata ketika pistol yang masih di pegang bang Hamzah, itu telah mengeluarkan anak pelurunya di dada Pak Prayoga. Sontak Bang Hamzah pun matanya yang hitam bulat terbelalak seperti hendak keluar dari cangkangnya, menandakan kepuasan akan perlakuannya terhadapa Pak Proyaga.
"Pistol ini dari mu, wahai durjana dan kau, yang mengajariku untuk untuk membidik dengan jitu, hahaha..." Bang Hamzah berkata, sambil mengelus pistol.
Semua orang yang berada di ruangan itu tak sedit pun bergerak, termasuk aku. Bang Hamzah, kini telah berubah, menjadi Singa kecil yang memangsa induknya. Perlahan darah merah segar membentuk anak sungai, keluar dari dada Pak Prayoga. Aku yang masih terdiam kemudian mendekati tubuh Pak Praoyoga, memastikan apakah Pak Prayoga masih bernyawa atau tidak.
"Fadillah, jangan kau sentuh bangkai durjana itu, dia, layak mendapatkan peluru emas dariku," gertak bang Hamzah kepadaku.
Aku tak memperdulikan suara keras Bang Hamzah, terus berjalan pelan mendekati Pak Prayoga yang tergeletak di lantai. "Â Dor..dor !"
Aku tersentak, kaget mendengar suara pistol itu dibunyikan lagi.