Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Para...

23 Oktober 2015   17:53 Diperbarui: 23 Oktober 2015   18:17 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Luna mengenal Phill enam bulan yang lalu, saat secara tidak sengaja ia menubruk tubuh pria tersebut di malam pesta yang di adakan sebuah hotel berbintang di ibukota. Semenjak kejadian itu, keduanya selalu menyempatkan untuk saling bersapa meski lewat perantara ponsel.

Seiring berjalannya waktu—hingga memasuki bulan keempat—Luna semakin menyadari ada rasa yang tumbuh subur di relung hatinya. Cinta. Tidak sedikit jua ada kerisihan di diri Luna meski usia Phill terpaut—sangat—jauh dari usianya sendiri. Sembilan belas tahun, tiga bulan, dua puluh satu hari. Tiada kecanggungan yang membias, beda usia sudah biasa di zaman ini, begitu Luna memberi sugesti pada dirinya sendiri.

Begitu pula dengan Phill sendiri. Mendapatkan daun muda seperti Luna adalah hoki terbaik yang pernah ia terima. Beda jauh dari gadis-gadis lain yang pernah singgah di hatinya. Well, tidak sekadar singgah sahaja—jika kau mengerti apa yang kumaksudkan.

Banyak hal di diri Phill yang mungkin saja—tidak-tidak-tidak, bukan mungkin, tapi… hal yang pasti—menjadi magnet luar biasa bagi kaum Hawa. Wajah melampaui kata menarik. Tubuh, tak terbilang berapa pasang mata wanita yang sudah dan akan menikmati itu. Materi, ini yang terbaik yang dipunya Phill. So, wajar bukan bila Luna pun tersedot medan magnet dari Phill.

Usia Phill boleh saja sudah tua, melebihi kepala empat dan selaiknya Luna menjadi anak ataupun keponakan baginya. Namun, wajah dan tubuh pria itu cukup “dilindungi” oleh waktu. Terawetkan dengan sejuta pesona. Hingga, bila Phill berjalan bergandengan tangan dengan Luna, itu terlihat seperti kakak dan adik—aku lebih suka menyebutnya begitu daripada sepasang kekasih.

 

***

 

Memasuki bulan kelima, dan ini akan menjadi pertemuan yang ketiga kalinya minggu ini. Hehh, begitu terbuainya dengan asmara, tiada malu terlebih segan untuk mengatakan; kita akan merayakan lima bulan kebersamaan kita. Kau mau?

Rayuan berbuah manis, candu asmara semakin melekatkan cinta. Ajakan Phill diterima dengan tangan terbuka oleh Luna. Bukan! Bukan tangan terbuka, tapi… tubuh terbuka. Bayangkan itu?

Di kamar hotel itu, Luna menyerahkan segala apa yang ada di dirinya. Cinta, kasih sayang, bahkan setiap inci tubuhnya kepada Phill. Merengkuh asmara berdayung hingga pagi menjelang, menganaksungai keringat pada tubuh berdekapan.

Hubungan Phill dan Luna semakin mesra, dan setiap perjumpaan intensitas cumbuan semakin menjadi-jadi bak lebatnya guyuran air di tengah musim penghujan.

“Jangan takut, biasa kok pasangan berhubungan intim,”

Rayu Phill satu ketika, dan Luna mengulum senyum membenarkan ucapan yang disertai tatapan penuh gairah dari Phill itu. Pacaran tanpa hubungan badan? Itu, kedengaran konyol, bisik Luna dalam hati. Ini bukan lagi zaman di mana kuda gigit besi. Tabu, satu dari segelintir kata yang tak lagi diacuhkan orang. Persetan saja. Suka sama suka, masalah buatmu?

Hingga, Luna menyadari ada lain hal yang tumbuh di dalam diri, buah cinta itu sendiri. Janin. Saat Luna memberitahukan kehamilannya pada Phill, dengan sukarela Phill berkata,

“Aku akan menikahimu. Terlalu tua untukku bila harus berpindah ke pelukan lainnya,”

Bak berada di atas hamparan rumput hijau nan basah oleh embun, dikelilingi ribuan kelopak bunga yang sama mekar, begitulah perasaan Luna kala Phill bersedia mempertanggungjawabkan janin di dalam rahimnya.

“Phill, kau… sungguh-sungguh?!” Luna tak mampu menahan kegembiraan dalam diri, hingga nada bergetar jelas mengiringi. Pun, mata yang menghangat.

“Sudah kubilang bukan?” Phill merangkul Luna dengan segenap cinta yang ada, mengecup mesra dahi bening dalam dekapan. “Aku mencintaimu. Jadi… kapan kau akan mempertemukanku dengan orang tuamu?”

Luna begitu bahagia, hingga senyum manis tak pernah pupus dari bibirnya. “Secepatnya, Sayang. Secepatnya.”

 

***

 

“Hei, ayolah… sampai berapa lama selendang ini harus menutupi mataku?” Phill berjalan perlahan laiknya seorang yang kurang dalam penglihatan. Luna menahan tawa, terus saja menggiring  Phill memasuki rumah.

“Iih, kamu gak sabaran amat sih, Sayang?”

Phill tertawa pelan menanggapi gurauan kekasihnya itu. Yaa, ia teramat mencintai Luna. Hingga tidak keberatan sama sekali jika harus memasuki rumah wanita itu dengan mata tertutup. Baginya, itu bentuk lain dari keromantisan. Terlebih, ini dalam rangka bertemu dengan orang tua Luna.

“Ma,” seru Luna dengan kegembiraan yang tak mungkin bisa tertutupi pada sang ibu yang telah menunggu kehadiran Luna dan calon menantunya. “Kenalin Ma, orang yang bakal jadi suamiku,”

Phill merasa kembali muda lagi, diperlakukan seperti itu. Debar di dada mewakili mimik tubuhnya. Untuk pertam kali dalam hidupnya merasa demikian. Tanggung jawab adalah soal lain, dan pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan, begitu pikir Phill sebelum ini.

Ibunda Luna mengulas gurat indah di bibirnya. Namun, hanya sesaat. Sebelum sepasang mata itu laksana meloncat keluar dari dalam rongganya tatkala dengan jelas ia melihat wajah Phill yang tak lagi ditutupi selendang.

“Kau…”

“Al—lena…?!” Phill tak kalah terkejutnya. “Kenapa bisa?!”

“Laki-laki jahanam. Terkutuk…!”

Luna benar-benar tidak mengerti. Sebelumnya sang ibu begitu terlihat manis, dan memaklumi apa yang terjadi terhadap dirinya. Bahkan, ingin segera bertemu dengan pria yang punya tanggung jawab besar terhadap janin di rahimnya. Dan kini, Luna benar-benar dibuat bingung setengah mati. Ibunya seperti mengenal Phill—sangat mengenal.

“Tunggu dulu,” sergah Phill, lantas berpaling pada Luna. “Apa maksud semua ini?!”

“Aku yang harusnya bertanya, Phill…!” jerit Ibunda Luna.

“Ka-kalian saling mengenal…?!” imbuh Luna menengahi.

“Terlalu mengenal,” sahut sang ibu. “Dan kau, anak sialan… apa tidak ada laki-laki lain yang bisa kau ajak tidur di kamarmu, haa…?!”

“Hei,” Phill benar-benar mengelam. Bahkan menggigil memandang wajah wanita yang sepantaran dengan dirinya itu. “Ja—jangan bilang, di-dia…”

Wanita itu meludah kencang, tepat mengenai dada Phill. “Benar…!” jeritnya. “Dia anakmu. Jahanam. Kau, kau menghamili anakmu sendiri. Darah dagingmu. Laki-laki terkutuk, ini yang akan kaudapatkan. Teruskan saja pesonamu, jahanam…!”

Luna tak lagi bisa mendengar jeritan sang ibu, tak pula bisa merasakan pijakan kakinya. Hal terakhir yang ia ingat, bahwa ibu dan ayahnya telah lama berpisah meski tanpa ada pernikahan, dan itu jauh sebelum ia lahir. Tapi…

Luna terhempas, pingsan. Phill telah berusaha menangkap tubuhnya, namun terlambat. Kepala gadis itu membentur sudut meja, meninggalkan luka menganga di bawah dagu dari beling tajam yang tercipta karena benturan.

 

“Luna…”

 

 

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 23 Oktober 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun