“Kau meninggalkanku!” Ya, aku meninggalkannya.
Setelah kami bersama-sama sampai melompati pagar setinggi tiga meter, kami berpisah. Tubuhku lebih kecil dan ringan dibanding Bumi. Ia tertinggal jauh di belakangku. Sengaja memang kutinggalkan, karena meskipun ia tertangkap lalu diserahkan kepada pemilik ayam yang kami curi, kupikir si pemilik tak akan melukai anakknya sendiri. Namun ternyata ia lolos. “Jadi kau bersembunyi di dalam goa itu?” tanyaku.
“Aku melihatmu memanjat pohon itu. Aku bukan tupai sepertimu.”
“Oh, pilihan yang masuk akal hanya karena mencuri dari milik orangtua sendiri, kau bisa saja mati dipatuk ular karena dianggap tamu yang tidak baik. Dan lalu kau pun membunuh si tuan rumah.”
“Ia menyerangku!”
“Karena kau tak bersikap ramah.”
“Ia menyerangku!” nadanya lebih keras, “..apa aku harus menyerangmu?”
Tidak. Aku terlalu lelah semenjak pertarungan semalam. Maka kujawab, lain kali saja, aku sangat lapar sekarang ini. Bumi berjalan ke tepi sungai dan mengambil bangkai ular itu sambil berkata, “Kau pernah makan daging ular?” Kujawab, belum.
“Kalau begitu kau akan merasakannya,” katanya sambil menjulurkan tangan kanannya yang memegang ular kepadaku.
“Kau sudah gila, hah! Ini ular mentah dan berbisa!”
Ia tertawa lagi.