Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Bagian-bagian yang Kita Sederhanakan

16 April 2016   07:23 Diperbarui: 23 April 2016   02:16 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Jangan membahayakan sisa umurmu untuk sesuatu yang membahayakan,” kataku.

Bumi tertawa lama sekali dan berkata sambil menutup buku yang kubaca. “Kau bicara seperti nasehat orang tua yang sebentar lagi menemui ajal, Anak Muda!”

“Hey, aku belum menandai hala—“

“Nanti malam. Aku tunggu di rumahku!”

***

Aku tertidur di atas pohon dan mereka tak bisa menemukanku—kecuali janji ibu—namun menyadari bahwa bentol-bentol di tubuhku cukup meyakinkan keberadaan Tuhan. Untuk huruf kecil maupun huruf ‘T’ besar. Sinar matahari jatuh di atas daun-daun dan tanah dan di mana pun aku menatapnya. Sambil menguap aku mengamati seekor burung kolibri terlihat sibuk sekali mondar-mandir mengangkut rating-ranting dan rumput-rumput kering untuk membangun sarangnya. Mereka berpasangan mungkin, aku tak tahu karena mereka mirip sekali; seekor burung terbang dengan membawa rumput-rumput kering dan seekor burung yang sama mengangkut ranting-ranting kering yang juga dengan paruhnya. Cepat sekali. Seolah mereka tidak ingin melewatkan malam nanti, bercinta tanpa ranjang. Padahal ini masih terlalu pagi. Beberapa kali menguap dan pelan-pelan kesadaranku pulih dan mungkin, mereka telah menyelesaikan setengah dari rencana nanti malamnya, sementara aku baru selesai menguap, belum melakukan apa-apa. Memalukan sekali.

Aku membesarkan pupil mata mengamati sekitar. Semalaman, air-air di dalam tubuhku dihisap dengan brutal oleh nyamuk-nyamuk hutan dan aku kehabisan cadangan air dan menjadi haus. Berjalan sekitar sepelemparan batu, ada sungai jernih, tenang dan menyeramkan. Aku mendekati sungai itu sambil mengamati detail tempat asing apa yang kini kukunjungi. Di seberang sungai ada sebuah goa besar yang gelap, itulah mengapa aku menyebutnya menyeramkan. Mungkin di dalam sana ada seekor ular berbisa atau buaya besar yang selama 40 hari kelaparan dan pagi ini ia akan sarapan daging orang yang sedang tersesat. Kau memang haus tapi kau harus tetap hati-hati di tempat asing. Ulurkan kedua tanganmu dan bentuklah seperti ceruk untuk menciduk air yang jernih itu. Sambil melepasakan dahaga, amati terus  isi gua itu. Meskipun tidak menutup kemungkinan seekor beruang cokelat besar menyerangmu dari belakang. Tapi, yah, paling tidak kau tidak akan mati dalam keadaan haus, ketika nanti rohmu menembus akhirat dalam perjalanannya ke neraka—jika kau masuk neraka. Syukur-syukur masuk surga.        

Sulit dipercaya, bahwa kenyataannya goa itu dihuni oleh manusia bertubuh besar yang tak berbulu. Di tangan kanannya memegang seekor ular sepanjang kira-kira 2,5 meter yang telah sekarat. “Kubunuh kau kalau melamparnya ke arahku,” kataku sambil melompat. Bumi tahu, aku takut ular.

Bumi melamparkan binatang malang itu ke arahku. Aku tahu ia telah mati, tapi aku masih berpikir bahwa ia masih memiliki kemauan untuk membunuh. Aku menjauh karena ketakutan dan membuat manusia bertubuh besar itu tertawa terpingkal-pingkal di seberang sungai.

Aku melemparinya dengan batu sungai di sekitarku. Ia manghindar. Dan melemparinya lagi dan ia tetap berhasil menghindar namun terpeleset, kali usahanya mengindar yang kedua.

“Kenapa kau tak mencariku?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun