Mohon tunggu...
Andi Ronaldo
Andi Ronaldo Mohon Tunggu... Konsultan manajemen dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Writing is not just a hobby, but an expression of freedom. Through words, we can voice our thoughts, inspire change, and challenge boundaries without fear of being silenced.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Delusi Keistimewaan Solo dan Bencana Meniru Yogyakarta

25 April 2025   13:00 Diperbarui: 25 April 2025   14:06 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyebut pengaturan ini 'demokratis' dalam arti sebenarnya merupakan suatu distorsi; ini tidak lain hanyalah sekadar monarki yang dilembagakan dalam sebuah republik, perwujuduan defisit demokrasi yang dilakukan secara terang-terangan.

Lebih buruk lagi, struktur yang tidak demokratis ini gagal memberikan kemakmuran, meskipun Yogyakarta menerima 'Dana Keistimewaan' yang sangat besar, lebih dari Rp1 triliun setiap tahun (Rp1,42 triliun masing-masing untuk 2024 dan 2023). 

Sementara itu, pada September 2024, tingkat kemiskinan Yogyakarta masih bertahan di angka 10,40%, jauh lebih tinggi dari Solo dan rata-rata nasional (8,57%). Rasio Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan, mencapai angka mengejutkan 0,428 pada September 2024, tertinggi ke-2 di Indonesia setelah DKI Jakarta, serta jauh melampaui angka nasional (0,381) dan Jawa Tengah (0,364). 

Kemiskinan yang terus-menerus dan ketimpangan yang menganga ini, yang ada bersamaan dengan dana khusus yang besar dan kepemimpinan yang tidak dipilih secara demokratis, jelas mengungkap kehampaan janji "keistimewaan". Yogyakarta bukanlah model untuk dicita-citakan, melainkan peringatan keras agar tidak mengorbankan demokrasi dan akuntabilitas demi ilusi hak istimewa historis.

Perbandingan dari Yogyakarta sangat jelas menyimpulkan bahwa 'Daerah Istimewa' jauh dari cita-cita untuk menjadi katalisator pembangunan yang merata, serta berkorelasi dengan kemiskinan yang terus-menerus dan ketidaksetaraan yang parah. 

Selain itu, membentuk DIS baru akan membutuhkan birokrasi provinsi, legislatif, dan lembaga terkait yang sama sekali baru, suatu duplikasi upaya serta biaya yang besar dan boros di tengah rencana penghematan APBN yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Dari mana dana ini akan berasal? Apakah akan menyedot sumber daya dari Jawa Tengah, atau menuntut alokasi khusus lagi dari APBN, yang semakin membebani keuangan publik dan menciptakan kebencian di antara daerah lain yang beroperasi tanpa hak istimewa seperti itu?

Penghinaan terhadap Persatuan dan Demokrasi

Dorongan untuk membentuk Provinsi DIS, terutama yang meniru struktur anti-demokrasi Yogyakarta, merupakan serangan langsung terhadap prinsip-prinsip dasar NKRI dan UUD 1945. Meskipun Pasal 18B(1) mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisional mereka, pasal ini tidak pernah dimaksudkan sebagai cek kosong untuk mengesampingkan mandat demokrasi inti. Menggunakan klaim historis yang rapuh untuk membenarkan pembentukan daerah istimewa baru dengan kepemimpinan yang tidak dipilih, bahkan berpotensi turun-temurun, merupakan upaya yang mengolok-olok demokrasi konstitusional Indonesia.

Model Yogyakarta yang tidak demokratis merupakan anomali yang lahir dari keadaan revolusioner yang unik, bukan templat untuk ditiru. Menerima usulan DIS berarti bermain-main dengan inkonsistensi konstitusional dan fragmentasi. Ini menetapkan preseden berbahaya, mengundang banjir tuntutan serupa yang dapat menghancurkan koherensi administrasi nasional dan mengikis prinsip kesetaraan warga negara di bawah hukum demokrasi yang seragam. Menekankan keunikan daerah untuk mendapatkan hak istimewa politik berisiko melemahkan identitas nasional dan menumbuhkan kekuatan sentrifugal yang telah susah payah diatasi Indonesia. 

Sebagai contoh, Bali bisa menuntut dengan alasan bahwa budaya Hindu yang khas di provinsi mereka merupakan daya tarik kuat mereka terutama pada pariwisata yang telah berkontribusi sebesar 4,01-4,5% terhadap PDB Indonesia. 

Wilayah Tapanuli di Sumatera Utara bisa melakukan hal yang sama, atas dasar kemunculan aspirasi masyarakat Batak yang memiliki identitas budaya kuat dan sejarah administratif tersendiri. Kepulauan Maluku juga bisa meminta karena merasa memiliki keunikan sejarah sebagai wilayah rempah dunia dengan sistem masyarakat adat yang masih bertahan, serta upaya rekonsiliasi pascakonflik di masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun