Mohon tunggu...
Andi Ronaldo
Andi Ronaldo Mohon Tunggu... Konsultan manajemen dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Writing is not just a hobby, but an expression of freedom. Through words, we can voice our thoughts, inspire change, and challenge boundaries without fear of being silenced.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Delusi Keistimewaan Solo dan Bencana Meniru Yogyakarta

25 April 2025   13:00 Diperbarui: 25 April 2025   14:06 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wilayah kekuasaan historis dari Kasunanan Surakarta pada tahun 1830 (Wikimedia Commons)

Lonjakan tuntutan pemekaran daerah di seluruh Indonesia belakangan ini sangat mengkhawatirkan. Hingga April 2025, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dibanjiri 341 proposal: 42 usulan provinsi baru, 252 kabupaten baru, 36 kota baru, serta yang lebih mengenaskan, enam permintaan status 'Daerah Istimewa' dan lima 'Daerah Khusus'. 

Kegilaan ini terus berlanjut meskipun ada moratorium nasional sejak 2014 (yang hanya dicabut sebentar untuk Papua pada tahun 2022). Di tengah hiruk-pikuk ini, usulan untuk memisahkan Surakarta (Solo) dan wilayah sekitarnya (Solo Raya) dari Jawa Tengah untuk membentuk 'Daerah Istimewa Surakarta' (DIS) menjadi sorotan, bukan karena kebaikannya, tetapi karena potensi kerusakan yang muncul.

Para pendukung usulan ini hanya samar-samar menunjuk pada sejarah, mengutip periode singkat pasca-kemerdekaan yang secara hukum meragukan. Namun, nostalgia historis ini runtuh di hadapan realitas yang dihadapi Solo saat ini. Kota ini jauh dari daerah terpencil yang membutuhkan intervensi khusus. 

Pada tahun 2023, ekonomi Solo tumbuh cukup baik sebesar 5,57%, sedikit melampaui rata-rata nasional 5,05%. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Solo melonjak menjadi sekitar Rp114,8 juta, lebih dari dua kali lipat PDRB per kapita provinsi yang konon ingin ditirunya, DI Yogyakarta (Rp51,47 juta). Solo memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 'sangat tinggi' sebesar 83,54, lagi-lagi secara signifikan lebih tinggi dari rata-rata nasional (74,39) dan Jawa Tengah (73,39).

Seperti yang dipertanyakan dengan tepat oleh Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, dengan Solo yang sudah menjadi pusat perdagangan, pendidikan, dan industri yang dinamis, "Apa lagi yang perlu diistimewakan?". 

Tingkat kemiskinan kota Solo pada tahun 2023, meskipun perlu perhatian di angka 8,44%, secara nyata lebih rendah dibandingkan DI Yogyakarta sebesar 10,83% (Maret 2024) dan Jawa Tengah sebesar 9,58% (September 2024). 

Dorongan untuk membentuk DIS, yang tidak memiliki pembenaran sosial-ekonomi yang kuat dan muncul di tengah perebutan pembagian administratif secara nasional, lebih berbau ambisi politik elite daripada kebutuhan nyata untuk meningkatkan tata kelola atau kesejahteraan publik bagi warga Solo. Ini adalah solusi yang mencari-cari masalah, mengancam mengganggu wilayah yang berfungsi baik demi keuntungan yang dipertanyakan.

Studi Kasus Kegagalan pada DI Yogyakarta

Gagasan untuk mencontoh Solo dari Yogyakarta sangatlah keliru karena 'status istimewa' Yogyakarta, yang dikodifikasikan dalam UU No. 13 Tahun 2012, mewakili model pemerintahan yang penuh dengan kegagalan demokrasi dan kekecewaan sosial-ekonomi. 

Cacat paling mencolok adalah tidak adanya akuntabilitas demokratis sama sekali di tingkat eksekutif. Gubernur merupakan Sultan yang berkuasa secara turun-temurun, sedangkan Wakil Gubernur adalah Pangeran Paku Alam yang ditunjuk melalui penetapan, bukan dipilih oleh rakyat. Hal ini secara langsung melanggar Pasal 18 Ayat 4 UUD RI 1945, yang secara tegas menyatakan kepala daerah harus "dipilih secara demokratis", termasuk Gubernur, Bupati, dan Walikota. 

Menyebut pengaturan ini 'demokratis' dalam arti sebenarnya merupakan suatu distorsi; ini tidak lain hanyalah sekadar monarki yang dilembagakan dalam sebuah republik, perwujuduan defisit demokrasi yang dilakukan secara terang-terangan.

Lebih buruk lagi, struktur yang tidak demokratis ini gagal memberikan kemakmuran, meskipun Yogyakarta menerima 'Dana Keistimewaan' yang sangat besar, lebih dari Rp1 triliun setiap tahun (Rp1,42 triliun masing-masing untuk 2024 dan 2023). 

Sementara itu, pada September 2024, tingkat kemiskinan Yogyakarta masih bertahan di angka 10,40%, jauh lebih tinggi dari Solo dan rata-rata nasional (8,57%). Rasio Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan, mencapai angka mengejutkan 0,428 pada September 2024, tertinggi ke-2 di Indonesia setelah DKI Jakarta, serta jauh melampaui angka nasional (0,381) dan Jawa Tengah (0,364). 

Kemiskinan yang terus-menerus dan ketimpangan yang menganga ini, yang ada bersamaan dengan dana khusus yang besar dan kepemimpinan yang tidak dipilih secara demokratis, jelas mengungkap kehampaan janji "keistimewaan". Yogyakarta bukanlah model untuk dicita-citakan, melainkan peringatan keras agar tidak mengorbankan demokrasi dan akuntabilitas demi ilusi hak istimewa historis.

Perbandingan dari Yogyakarta sangat jelas menyimpulkan bahwa 'Daerah Istimewa' jauh dari cita-cita untuk menjadi katalisator pembangunan yang merata, serta berkorelasi dengan kemiskinan yang terus-menerus dan ketidaksetaraan yang parah. 

Selain itu, membentuk DIS baru akan membutuhkan birokrasi provinsi, legislatif, dan lembaga terkait yang sama sekali baru, suatu duplikasi upaya serta biaya yang besar dan boros di tengah rencana penghematan APBN yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Dari mana dana ini akan berasal? Apakah akan menyedot sumber daya dari Jawa Tengah, atau menuntut alokasi khusus lagi dari APBN, yang semakin membebani keuangan publik dan menciptakan kebencian di antara daerah lain yang beroperasi tanpa hak istimewa seperti itu?

Penghinaan terhadap Persatuan dan Demokrasi

Dorongan untuk membentuk Provinsi DIS, terutama yang meniru struktur anti-demokrasi Yogyakarta, merupakan serangan langsung terhadap prinsip-prinsip dasar NKRI dan UUD 1945. Meskipun Pasal 18B(1) mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisional mereka, pasal ini tidak pernah dimaksudkan sebagai cek kosong untuk mengesampingkan mandat demokrasi inti. Menggunakan klaim historis yang rapuh untuk membenarkan pembentukan daerah istimewa baru dengan kepemimpinan yang tidak dipilih, bahkan berpotensi turun-temurun, merupakan upaya yang mengolok-olok demokrasi konstitusional Indonesia.

Model Yogyakarta yang tidak demokratis merupakan anomali yang lahir dari keadaan revolusioner yang unik, bukan templat untuk ditiru. Menerima usulan DIS berarti bermain-main dengan inkonsistensi konstitusional dan fragmentasi. Ini menetapkan preseden berbahaya, mengundang banjir tuntutan serupa yang dapat menghancurkan koherensi administrasi nasional dan mengikis prinsip kesetaraan warga negara di bawah hukum demokrasi yang seragam. Menekankan keunikan daerah untuk mendapatkan hak istimewa politik berisiko melemahkan identitas nasional dan menumbuhkan kekuatan sentrifugal yang telah susah payah diatasi Indonesia. 

Sebagai contoh, Bali bisa menuntut dengan alasan bahwa budaya Hindu yang khas di provinsi mereka merupakan daya tarik kuat mereka terutama pada pariwisata yang telah berkontribusi sebesar 4,01-4,5% terhadap PDB Indonesia. 

Wilayah Tapanuli di Sumatera Utara bisa melakukan hal yang sama, atas dasar kemunculan aspirasi masyarakat Batak yang memiliki identitas budaya kuat dan sejarah administratif tersendiri. Kepulauan Maluku juga bisa meminta karena merasa memiliki keunikan sejarah sebagai wilayah rempah dunia dengan sistem masyarakat adat yang masih bertahan, serta upaya rekonsiliasi pascakonflik di masa lalu.

Memberikan status dan dana khusus berdasarkan narasi sejarah yang dapat diperdebatkan, sementara daerah seperti Yogyakarta secara nyata berjuang dengan kemiskinan dan ketidaksetaraan di tengah hak istimewa ini, jelas akan semakin menumbuhkan sinisme dan merusak kohesi nasional. Pembangunan yang merata menuntut mekanisme yang adil dan transparan dalam kerangka otonomi yang ada, bukan penciptaan kantong-kantong istimewa. 

Mengakomodasi keragaman memang vital, tetapi harus dilakukan melalui penguatan tata kelola demokratis dan dukungan yang ditargetkan, bukan dengan mengukir pengecualian yang merusak fondasi demokrasi dan kesatuan Republik Indonesia. 

Usulan DIS pada akhirnya harus diakui sebagai delusi berbahaya, tidak didasarkan pada alasan yang kuas, bertentangan dengan keberhasilan Solo selama ini, serta merusak demokrasi dan persatuan Indonesia. Usulan ini bukan hanya harus ditolak dengan tegas, tetapi juga dilupakan sepanjang NKRI masih berdiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun