Mohon tunggu...
Andi Ramadhan
Andi Ramadhan Mohon Tunggu... Market Analyst

Saya seorang Market Analyst dengan pengalaman lebih dari 13 tahun di industri perkebunan. Sehari-hari saya bergelut dengan data, tren pasar, dan harga komoditas, tapi di sini saya ingin berbagi cerita dan sudut pandang yang lebih sederhana. Lewat tulisan, saya berharap bisa menghubungkan angka-angka di balik pasar dengan kehidupan sehari-hari, sehingga topik ekonomi dan bisnis terasa lebih dekat dan mudah dipahami oleh siapa saja.

Selanjutnya

Tutup

Money

Sawit Indonesia Kena Tarif Trump, Apa Kabar CPO Kita?

4 Agustus 2025   09:07 Diperbarui: 4 Agustus 2025   09:07 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tren Ekspor CPO Indonesia ke AS

Indonesia merupakan produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia. Dalam tiga tahun terakhir, ekspor CPO Indonesia ke Amerika Serikat menunjukkan dinamika menarik.  Pada 2022, volume ekspor CPO (dan produk turunannya) ke AS diperkirakan berkisar lebih dari 1,8 juta ton dengan nilai ekspor yang cukup tinggi, seiring lonjakan harga CPO global tahun itu. 

Bahkan, meski volume ekspor ke AS tahun 2022 lebih rendah dari 2023, nilai ekspornya kemungkinan lebih besar karena harga CPO sempat memuncak akibat faktor geopolitik dan pasokan. 

Pada 2023, volume ekspor CPO Indonesia ke AS mencapai titik tertinggi sekitar 2 juta ton. Angka ini naik tipis dibanding tahun sebelumnya, sejalan dengan pulihnya permintaan pasca-pandemi dan upaya Indonesia mendorong ekspor setelah sempat ada larangan ekspor minyak goreng pada 2022. Namun, seiring turunnya harga CPO pada 2023, value ekspor ke AS tidak meningkat secepat volumenya. 

Memasuki 2024, volume ekspor CPO ke AS tercatat turun kembali menjadi sekitar 1,6 juta ton menurut data BPS. Penurunan ini menandai tantangan baru, salah satunya dipicu oleh kebijakan tarif impor Amerika Serikat yang kurang bersahabat. 

Bahkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pangsa pasar Amerika Serikat bagi ekspor sawit Indonesia merosot pada 2024 - volume ekspor CPO dan turunannya ke AS hanya sekitar 1,6 juta ton, menempatkan AS di peringkat keempat tujuan ekspor setelah India, Tiongkok, dan Pakistan.

Dari sisi nilai, kontribusi pasar AS terhadap total ekspor sawit Indonesia sebenarnya tidak dominan namun tetap signifikan. Nilai impor produk minyak sawit (HS 1511) oleh Amerika Serikat pada 2024 tercatat sekitar USD 1,6 miliar. Indonesia menjadi pemasok terbesar untuk kebutuhan tersebut. 

Pada 2023, pasar AS menyerap sekitar 6 persen dari total volume crude palm oil yang diekspor Indonesia, serta 7 persen dari total nilai pendapatan ekspor sawit. Pangsa yang tidak kecil ini menjadikan perkembangan kebijakan dagang AS faktor krusial bagi industri sawit nasional.

Tarif Baru Pemerintahan Trump dan Alasan di Baliknya

Di pertengahan 2025, industri sawit Indonesia diguncang oleh kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang agresif. Presiden AS Donald Trump (yang kembali menjabat) menerapkan tarif impor sebesar 32 persen untuk semua barang asal Indonesia, termasuk produk CPO. 

Awalnya, pemerintahan Trump sempat mengumumkan ancaman tarif 32 persen untuk produk Indonesia. Jika skenario ini terjadi, dampaknya akan jauh lebih berat: harga CPO Indonesia bisa kehilangan daya saing di pasar AS dibanding minyak nabati lain seperti kedelai atau kanola. Namun, melalui diplomasi perdagangan, Indonesia berhasil menekan angka tersebut menjadi 19 persen. 

Menariknya, tarif ini justru menempatkan Indonesia dalam posisi relatif lebih baik daripada Malaysia - kompetitor terdekat - yang saat ini masih dikenai tarif 25 persen untuk produk CPO. Artinya, meskipun ada beban tambahan, Indonesia kini punya selisih kompetitif yang dapat dimanfaatkan.

Proyeksi Dampak yang Terjadi

Pergeseran Pasar

AS bukan pasar utama, tapi cukup strategis. Bila beban tarif terasa berat, eksportir bisa lebih agresif mengalihkan volume ke India, Tiongkok, Pakistan, atau Timur Tengah.

Ini langkah paling nyata dan mendesak. Indonesia kini mengalihkan fokus ekspor CPO ke negara-negara selain AS. Pasar tradisional seperti India dan Tiongkok terus dijaga dan ditingkatkan. India selama ini importir CPO terbesar Indonesia (2022: 5 juta ton; 2023: 5,4 juta ton), dan hubungan dagang dengan India relatif stabil. 

Tiongkok menunjukkan potensi luar biasa - ekspor CPO ke Tiongkok melonjak menjadi sekitar 5,4 juta ton pada 2023 (naik 127 persen YoY), menjadikan China pasar nomor satu CPO Indonesia secara volume. Selain itu, pasar Pakistan dan Bangladesh juga dijaga karena kontribusinya signifikan (masuk 5 besar tujuan ekspor sawit RI). 

Di luar negara tradisional Asia, Indonesia gencar merambah pasar non-tradisional. Kawasan Afrika menjadi target ekspor baru yang menjanjikan. GAPKI menyebut Afrika (misalnya Kenya, Mesir, Nigeria) memiliki permintaan yang bisa ditingkatkan. Timur Tengah juga dibidik, seiring pertumbuhan populasi dan industri olahan makanan di sana. 

Pasar Rusia dan Asia Tengah pun mulai digarap, apalagi beberapa negara tersebut mencari alternatif minyak nabati selain bunga matahari akibat konflik Ukraina. "Diversifikasi ke pasar nontradisional harus terus dilakukan, seperti ke Afrika, Timur Tengah, Rusia, dan Asia Tengah," ujar Eddy Martono dari GAPKI. 

Langkah ekspansi pasar ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada segelintir negara. Dengan portofolio pasar lebih luas, jika satu negara bermasalah (kena tarif atau embargo), ekspor masih bisa dialihkan ke negara lain.

Menjaga Hubungan dengan Pasar Utama Lain

Selain ekspansi ke pasar baru, pasar utama tradisional tetap dipertahankan. GAPKI menekankan pentingnya menjaga pasar Tiongkok, India, Pakistan, dan Uni Eropa sebagai empat besar tujuan ekspor sawit saat ini. China dan India khususnya, mengingat volume mereka besar, harus dipastikan puas dengan pasokan Indonesia agar tidak beralih ke Malaysia. 

Untuk Eropa, meski ada tantangan regulasi (EUDR - EU Deforestation Regulation), Indonesia masih mengekspor 3,7 juta ton ke Eropa pada 2023. Pemerintah dan pelaku industri melakukan diplomasi dan penyesuaian (misal sertifikasi ISPO/RSPO) supaya sawit Indonesia tetap diterima di pasar Uni Eropa yang bernilai tinggi. 

Dengan merawat pasar tradisional ini, Indonesia mengamankan basis penyerapan CPO yang besar, sembari menunggu situasi perdagangan dengan AS membaik.

Tekanan Diplomatik & Kesepakatan Dagang

Hilangnya pasar AS bisa memberi insentif bagi pemerintah Indonesia untuk negosiasi dagang lebih serius. Dalam jangka menengah, kita bisa memproyeksikan upaya perundingan bilateral: misalnya renegosiasi fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) atau Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dengan AS. 

Proyeksi moderat, mungkin pada 2025–2026 akan tercapai semacam kompromi tarif: tarif turun sebagian sehingga ekspor CPO ke AS bisa bernapas kembali. Namun, itu pun belum tentu ke level normal semula. Industri sawit harus menyiapkan diri pada skenario worst-case bahwa era “bebas tarif” di AS sudah lewat, dan adaptasi adalah jalan utama.

Dorongan Hilirisasi

Salah satu strategi jitu menghadapi hambatan dagang adalah mengirim produk sawit dengan nilai tambah lebih tinggi, bukan sekadar CPO mentah. Industri dalam negeri didorong melakukan hilirisasi – misalnya mengolah CPO menjadi olein, stearin, biodiesel, oleokimia, hingga produk jadi (margarine, sabun, kosmetik). 

Produk hilir berpotensi menghadapi tarif berbeda atau lebih rendah, sekaligus mengurangi ketergantungan menjual CPO mentah yang rentan dijadikan sasaran tuduhan dumping atau ditahan dengan alasan lingkungan. Sebagai contoh, ekspor biodiesel Indonesia sempat berjaya ke Eropa sebelum terkena tuduhan subsidi. 

Ke depan, jika AS masih batasi impor CPO, mungkin Indonesia bisa mengekspor biodiesel atau minyak goreng kemasan ke pasar lain sebagai gantinya. Pemerintah juga menggalakkan program B35-B40 (campuran 35-40 persen biodiesel dalam solar) untuk menyerap lebih banyak CPO di dalam negeri, sehingga tekanan menjual ke luar berkurang. Intinya, diversifikasi produk sama pentingnya dengan diversifikasi pasar.

Penyesuaian Kebijakan Domestik

Terakhir, Indonesia dapat meninjau kebijakan domestik yang dipersoalkan AS. Misalnya, kebijakan TKDN dan aturan devisa ekspor mungkin bisa dibuat lebih fleksibel untuk mitra tertentu. Jika beberapa penyesuaian kebijakan mampu membuka peluang negosiasi dagang (misal AS bersedia memangkas tarif lebih lanjut), tak ada salahnya dipertimbangkan selama tetap sejalan dengan kepentingan nasional. Tentu, ini keputusan rumit, namun menunjukkan bahwa Indonesia siap beradaptasi demi melindungi petani dan industri dalam negeri.

Upaya di atas ibarat “berlayar di tengah badai”. Industri sawit Indonesia mencoba tetap tegak dengan strategi multi-arah: efisiensi internal, diplomasi eksternal, dan ekspansi pasar baru. 

Hasilnya mulai terlihat – ekspor ke negara-negara di luar AS meningkat, menutup sebagian kehilangan dari pasar AS. Pemerintah optimistis kinerja ekspor sawit bisa terjaga. Pada Januari–Mei 2025 saja, ekspor produk sawit Indonesia masih mencatat USD 8,9 miliar pemasukan. Selama strategi diversifikasi dijalankan konsisten, tarif tinggi satu negara bisa diimbangi peluang di negara lain.

Momentum Berbenah Bagi Industri Sawit

Kebijakan tarif Trump terhadap CPO ini bagai pil pahit yang harus ditelan industri sawit Indonesia. Meski menimbulkan guncangan jangka pendek, penulis berpendapat ini dapat menjadi momentum berbenah. Industri sawit kerap dikritik karena terlalu nyaman mengandalkan segelintir pasar ekspor besar. 

Ketika Eropa mengancam dengan aturan lingkungan dan AS dengan tarif, barulah kita tersentak pentingnya menjaga kemandirian pasar. Langkah-langkah diversifikasi dan hilirisasi yang dipercepat sekarang seharusnya sudah dimulai sejak dulu. 

Dari sisi diplomasi, Indonesia perlu lebih proaktif mengantisipasi kebijakan dagang negara lain. Early warning sistem perdagangan harus diperkuat, sehingga tidak gagap ketika mitra utama mengambil langkah ekstrem. Trade war ini juga mengingatkan agar Indonesia tidak menaruh semua telur di satu keranjang – terlalu bergantung pada satu negara pembeli riskan secara ekonomi dan politik. 

Ke depan, memperluas pasar ekspor ke puluhan negara (walau volume lebih kecil) justru menambah ketahanan sektor sawit kita. Di sisi lain, tak bisa dimungkiri bahwa pendekatan ala Trump bisa terulang di masa mendatang, entah oleh pemimpin AS berikutnya atau negara lain. Proteksionisme sedang menguat di banyak tempat. 

Industri sawit Indonesia harus kian tangguh menghadapi hantaman eksternal, baik isu lingkungan, kesehatan (kampanye anti-minyak sawit), maupun tarif dagang. Caranya dengan memastikan produk kita berkualitas, berkelanjutan, efisien biaya, dan luwes pemasarannya. 

Pemerintah, pengusaha, dan petani perlu bergandeng tangan dalam hal ini. Sebagai penutup, tarif impor 19% Amerika Serikat memang pukulan telak, namun bukan game over bagi sawit Indonesia. 

Data menunjukkan ekspor CPO kita masih bisa tumbuh ke pasar lain meski AS menerapkan hambatan. Dengan strategi yang tepat – diversifikasi pasar, negosiasi cerdas, dan peningkatan daya saing – industri sawit Indonesia dapat keluar dari badai ini lebih kuat dan tahan banting. Justru, ujian ini bisa melahirkan transformasi positif: industri sawit yang tidak hanya unggul di kebun, tapi juga tangguh di kancah diplomasi dagang global.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun