Salah satu strategi jitu menghadapi hambatan dagang adalah mengirim produk sawit dengan nilai tambah lebih tinggi, bukan sekadar CPO mentah. Industri dalam negeri didorong melakukan hilirisasi – misalnya mengolah CPO menjadi olein, stearin, biodiesel, oleokimia, hingga produk jadi (margarine, sabun, kosmetik).
Produk hilir berpotensi menghadapi tarif berbeda atau lebih rendah, sekaligus mengurangi ketergantungan menjual CPO mentah yang rentan dijadikan sasaran tuduhan dumping atau ditahan dengan alasan lingkungan. Sebagai contoh, ekspor biodiesel Indonesia sempat berjaya ke Eropa sebelum terkena tuduhan subsidi.
Ke depan, jika AS masih batasi impor CPO, mungkin Indonesia bisa mengekspor biodiesel atau minyak goreng kemasan ke pasar lain sebagai gantinya. Pemerintah juga menggalakkan program B35-B40 (campuran 35-40 persen biodiesel dalam solar) untuk menyerap lebih banyak CPO di dalam negeri, sehingga tekanan menjual ke luar berkurang. Intinya, diversifikasi produk sama pentingnya dengan diversifikasi pasar.
Penyesuaian Kebijakan Domestik
Terakhir, Indonesia dapat meninjau kebijakan domestik yang dipersoalkan AS. Misalnya, kebijakan TKDN dan aturan devisa ekspor mungkin bisa dibuat lebih fleksibel untuk mitra tertentu. Jika beberapa penyesuaian kebijakan mampu membuka peluang negosiasi dagang (misal AS bersedia memangkas tarif lebih lanjut), tak ada salahnya dipertimbangkan selama tetap sejalan dengan kepentingan nasional. Tentu, ini keputusan rumit, namun menunjukkan bahwa Indonesia siap beradaptasi demi melindungi petani dan industri dalam negeri.
Upaya di atas ibarat “berlayar di tengah badai”. Industri sawit Indonesia mencoba tetap tegak dengan strategi multi-arah: efisiensi internal, diplomasi eksternal, dan ekspansi pasar baru.
Hasilnya mulai terlihat – ekspor ke negara-negara di luar AS meningkat, menutup sebagian kehilangan dari pasar AS. Pemerintah optimistis kinerja ekspor sawit bisa terjaga. Pada Januari–Mei 2025 saja, ekspor produk sawit Indonesia masih mencatat USD 8,9 miliar pemasukan. Selama strategi diversifikasi dijalankan konsisten, tarif tinggi satu negara bisa diimbangi peluang di negara lain.
Momentum Berbenah Bagi Industri Sawit
Kebijakan tarif Trump terhadap CPO ini bagai pil pahit yang harus ditelan industri sawit Indonesia. Meski menimbulkan guncangan jangka pendek, penulis berpendapat ini dapat menjadi momentum berbenah. Industri sawit kerap dikritik karena terlalu nyaman mengandalkan segelintir pasar ekspor besar.
Ketika Eropa mengancam dengan aturan lingkungan dan AS dengan tarif, barulah kita tersentak pentingnya menjaga kemandirian pasar. Langkah-langkah diversifikasi dan hilirisasi yang dipercepat sekarang seharusnya sudah dimulai sejak dulu.
Dari sisi diplomasi, Indonesia perlu lebih proaktif mengantisipasi kebijakan dagang negara lain. Early warning sistem perdagangan harus diperkuat, sehingga tidak gagap ketika mitra utama mengambil langkah ekstrem. Trade war ini juga mengingatkan agar Indonesia tidak menaruh semua telur di satu keranjang – terlalu bergantung pada satu negara pembeli riskan secara ekonomi dan politik.
Ke depan, memperluas pasar ekspor ke puluhan negara (walau volume lebih kecil) justru menambah ketahanan sektor sawit kita. Di sisi lain, tak bisa dimungkiri bahwa pendekatan ala Trump bisa terulang di masa mendatang, entah oleh pemimpin AS berikutnya atau negara lain. Proteksionisme sedang menguat di banyak tempat.
Industri sawit Indonesia harus kian tangguh menghadapi hantaman eksternal, baik isu lingkungan, kesehatan (kampanye anti-minyak sawit), maupun tarif dagang. Caranya dengan memastikan produk kita berkualitas, berkelanjutan, efisien biaya, dan luwes pemasarannya.