AS bukan pasar utama, tapi cukup strategis. Bila beban tarif terasa berat, eksportir bisa lebih agresif mengalihkan volume ke India, Tiongkok, Pakistan, atau Timur Tengah.
Ini langkah paling nyata dan mendesak. Indonesia kini mengalihkan fokus ekspor CPO ke negara-negara selain AS. Pasar tradisional seperti India dan Tiongkok terus dijaga dan ditingkatkan. India selama ini importir CPO terbesar Indonesia (2022: 5 juta ton; 2023: 5,4 juta ton), dan hubungan dagang dengan India relatif stabil.
Tiongkok menunjukkan potensi luar biasa - ekspor CPO ke Tiongkok melonjak menjadi sekitar 5,4 juta ton pada 2023 (naik 127 persen YoY), menjadikan China pasar nomor satu CPO Indonesia secara volume. Selain itu, pasar Pakistan dan Bangladesh juga dijaga karena kontribusinya signifikan (masuk 5 besar tujuan ekspor sawit RI).
Di luar negara tradisional Asia, Indonesia gencar merambah pasar non-tradisional. Kawasan Afrika menjadi target ekspor baru yang menjanjikan. GAPKI menyebut Afrika (misalnya Kenya, Mesir, Nigeria) memiliki permintaan yang bisa ditingkatkan. Timur Tengah juga dibidik, seiring pertumbuhan populasi dan industri olahan makanan di sana.
Pasar Rusia dan Asia Tengah pun mulai digarap, apalagi beberapa negara tersebut mencari alternatif minyak nabati selain bunga matahari akibat konflik Ukraina. "Diversifikasi ke pasar nontradisional harus terus dilakukan, seperti ke Afrika, Timur Tengah, Rusia, dan Asia Tengah," ujar Eddy Martono dari GAPKI.
Langkah ekspansi pasar ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada segelintir negara. Dengan portofolio pasar lebih luas, jika satu negara bermasalah (kena tarif atau embargo), ekspor masih bisa dialihkan ke negara lain.
Menjaga Hubungan dengan Pasar Utama Lain
Selain ekspansi ke pasar baru, pasar utama tradisional tetap dipertahankan. GAPKI menekankan pentingnya menjaga pasar Tiongkok, India, Pakistan, dan Uni Eropa sebagai empat besar tujuan ekspor sawit saat ini. China dan India khususnya, mengingat volume mereka besar, harus dipastikan puas dengan pasokan Indonesia agar tidak beralih ke Malaysia.
Untuk Eropa, meski ada tantangan regulasi (EUDR - EU Deforestation Regulation), Indonesia masih mengekspor 3,7 juta ton ke Eropa pada 2023. Pemerintah dan pelaku industri melakukan diplomasi dan penyesuaian (misal sertifikasi ISPO/RSPO) supaya sawit Indonesia tetap diterima di pasar Uni Eropa yang bernilai tinggi.
Dengan merawat pasar tradisional ini, Indonesia mengamankan basis penyerapan CPO yang besar, sembari menunggu situasi perdagangan dengan AS membaik.
Tekanan Diplomatik & Kesepakatan Dagang
Hilangnya pasar AS bisa memberi insentif bagi pemerintah Indonesia untuk negosiasi dagang lebih serius. Dalam jangka menengah, kita bisa memproyeksikan upaya perundingan bilateral: misalnya renegosiasi fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) atau Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dengan AS.
Proyeksi moderat, mungkin pada 2025–2026 akan tercapai semacam kompromi tarif: tarif turun sebagian sehingga ekspor CPO ke AS bisa bernapas kembali. Namun, itu pun belum tentu ke level normal semula. Industri sawit harus menyiapkan diri pada skenario worst-case bahwa era “bebas tarif” di AS sudah lewat, dan adaptasi adalah jalan utama.