Mohon tunggu...
andari wardani
andari wardani Mohon Tunggu... Koki - swasta

suka memasak

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Papua dalam "Satu Frekuensi"

10 September 2019   02:23 Diperbarui: 10 September 2019   02:57 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai di Mansinam Manokwari, Papua Barat. (Foto: Edison W/PB)

Keempat, memperbolehkan Kongres Nasional Papua II yang dihadiri 3000 orang dan disiarkan luas melalui radio. Kelima, konsep Otonomi Khusus (Otsus) mulai digodok (disahkan oleh Presiden Megawati). Tapi, Gus Dur tegas menolak tuntutan mereka untuk merdeka. Meski begitu, seluruh kebijakan Gus Dur ini mereka terima dengan baik.

Pendek kata, GusDur bisa membuat Indonesia dan Papua dalam 'satu frekwensi'; membuat hati mereka nyaman. Pemahaman yang terimplementasikan pada kebijakan seperti ini membuat masyarakat Papua merasa Indonesia paham identitas mereka.

Namun langkah yang sudah dilakukan Gus Dur berantakan saat Ketua Dewan Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay dibunuh Kopassus pada masa Presiden Megawati.  

Lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganulir kebijakan Gus Dur dengan mengeluarkan PP No. 77/2007 yang melarang penggunaan atribut bendera bintang kejora dan simbol burung mambruk. Lagu Hai Tanahku Papua dilarang dinyanyikan. Upaya dialog Jakarta-Papua yang pernah terang pada zaman Gus Dur, kembali redup sampai sekarang.

Gambaran di atas mungkin bisa menjawab rasa penasaran Presiden Joko Widodo soal presepsi yang berbeda antara Jakarta (pemerintah) dengan masyarakat Papua. 

"Sebuah kekeliruan mengatakan bahwa Jakarta mengambil lebih banyak dari Papua daripada memberi, padahal yang terjadi kebalikannya," kata Jokowi (Kompas.com, 3/9/2019).

Meski Jokowi sudah berusaha membangun trust dengan mengunjungi Papua sebanyak 12 kali dalam lima tahun, memperoleh 90 % suara masyarat Papua di Pilpres, banyak berdialog, dan melakukan pembangunan berbasis kesejahteraan tapi ternyata tidak membuat masyarakat Papua gembira. 

Jalan, jembatan, Gedung Olah Raga (GOR) megah, Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga, dan pendapatan 26 triliun pertahun dari Freeport dan Bintuni  ternyata tidak cukup untuk membuat hati mereka nyaman.

Ottow, Geissler, Kijne dan Gus Dur beruntung, karena menemukan cara untuk bisa masuk dalam 'frekwensi yang sama' dengan masyarakat Papua dan membuat mereka nyaman. Kini Pemerintah harus bekerja keras untuk bisa menangkap 'roh' mereka; untuk bisa masuk dalam 'frekwensi yang sama'.

Kata orang, banyak jalan menuju Roma. Seperti halnya perjanjian Helsinki  tahun 2005, yang  bisa menembus 'kebuntuan frekwensi' antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk tetap dalam NKRI. Kita harapkan ada cara untuk mengambil hati masyarakat Papua. Masih ada jalan, tapi, memang harus dicari! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun