Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sedang Perihal Kematian pun Kita Harus Belajar

24 September 2020   09:11 Diperbarui: 24 September 2020   09:18 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wishwatar.org

"Yang terpenting adalah seberapa baik kau hidup, bukan seberapa panjang. Dan sering kali "baik" tidak berarti berumur panjang". -- Seneca

Lihatlah bagaimana semesta berputar kembali ke titik mula-mula. Semua datang dan pergi silih berganti. Musim panas berlalu, tetapi tahun akan berjalan membawa musim panas yang baru, musim dingin meluruh, tetapi waktu yang bergulir akan mengembalikannya. Malam menutupi matahari, tetapi dalam sekejap sinar mentari akan menghapus pekatnya malam. 

Rasi bintang terus bergeser hingga kembali ke tempatnya semula, sebagian benda-benda langit akan selalu terbit, sementara bagian yang lain tenggelam di sisi ufuk yang lain. Maka begitupun dengan kehidupan, setiap kelahiran silih berganti dengan kematian.

Mungkin bagi sebagian dari kita mengira bahwa sebuah kesia-siaan mempelajari sesuatu hal yang hanya akan digunakan sekali, sesuatu yang sudah pasti akan kita alami, sebuah kodrat dari makhluk yang bernama manusia. Namun justru atas dasar itulah manusia harus mempelajari sesuatu yang tidak bisa kita ketahui dari pengalaman, karena hanya datang satu kali dalam hidup manusia, dan kematian merupakan bagian dari kehidupan.

"Pelajarilah kematian senantiasa," kira-kira demikianlah pesan yang disampaikan oleh Lucius Annaeus Seneca atau lebih dikenal dengan Seneca (4 SM -- 65 M), yang merupakan seorang filsuf Stoik (mazhab pemikiran Yunani yang dibawa ke Roma satu abad sebelumnya dan mulai berkembang di sana), ia juga merupakan seorang negarawan, dan penulis drama Romawi pada Zaman Perak Sastra Latin. 

Bagi Seneca, mati merupakan salah satu bagian dari hidup yang paling penting, dan satu-satunya bagian yang tidak bisa dipelajari atau diasah melalui pengulangan. Karena kita hanya akan mati satu kali, dan mungkin saja tanpa peringatan, sehingga sangat penting untuk selalu siap atas kematian.

Mempelajari kematian menurut Seneca merupakan cara untuk memahami esensi kehidupan, hakikat tentang waktu, dan hakikat tentang diri. Karena sering kali kita menyia-nyiakan banyak waktu demi pengejaran yang tiada berarti, padahal sejatinya kita diberikan cukup waktu untuk melakukan apa yang benar-benar penting, dan kita harus menjalankannya dengan benar. 

Karena bagi Seneca, yang terpenting adalah seberapa baik kita hidup, bukan seberapa panjang, dan sering kali "baik" tidak berarti berumur panjang. Sehingga, apa gunanya hidup selama berpuluh-puluh tahun, apabila waktu yang kita gunakan sepanjang hidup, hanya untuk bermalas-malasan, menyakiti sesama, mengambil hak orang lain, dan merugikan kehidupan orang lain, maka kita tak ubahnya tumbuhan benalu bagi hidup dan kehidupan orang lain.

Dalam hidup, penting sekali untuk menanamkan sebuah prinsip bahwa "aku tidak akan mengarungi rentang hidupku seperti melalui baying-bayang gelap, tetapi aku akan menghidupi hidupku, tidak melewatkannya". Apa artinya "menghidupi hidupku, tidak melewatkannya"? Maka yang menjadi perhatian utama dalam hal ini adalah bagaimana kita mengisi setiap waktu dalam hidup dengan nilai-nilai yang seharusnya dan pengejaran yang seharusnya.

Sehingga apabila kita diberikan tambahan usia beberapa tahun lagi, dan bahkan seandainya kehidupan kita diputus di tengah-tengah pun, kita tetap akan berkata "aku tak kekurangan sesuatu pun yang membuat hidupku bahagia, karena aku tidak berencana untuk hidup sampai seterusnya sebagaimana dijanjikan oleh angan-anganku yang tamak, tetapi aku menjalani setiap hariku bagaikan itu hari terakhirku". 

Karena hanya dengan menganggap bahwa setiap hari yang kita jalani sebagai hari terakhir lah, kita akan memberikan penutup yang indah dalam hidup dan menjadikan hidup sebagai perjalanan yang utuh.
Seperti apa rentang kehidupan yang paling utuh, kita mungkin bertanya? Menurut Seneca, rentang kehidupan yang paling utuh adalah hidup hingga mencapai kearifan. 

Barang siapa berhasil mencapai tujuan tersebut, ia tidak mengakhiri hidupnya pada titik terjauh, tetapi ia mengakhiri hidupnya pada titik tertinggi. Karena demikian juga yang disampaikan oleh Aristoteles bahwa hanya dengan mencapai kearifan dan kebijaksanaan lah, manusia dapat dikatakan mampu untuk memahami esensi dari dirinya.

Sampainya manusia pada titik memahami esensi diri, juga menjadi bagian dari rangkaian tentang mengapa dan untuk apa manusia lahir di dunia ini. Oleh karena itu, mempelajari kematian bukan hanya sekedar ungkapan tentang bagaimana cara manusia mati.

Namun jauh daripada itu, ungkapan ini sejatinya menggugah setiap pendengarnya untuk memahami esensi dari kehidupan dan memahami bahwa kehidupan juga merupakan perjalanan menuju kematian, dan kematian juga bisa berarti awal untuk menuju kehidupan yang baru sebagaimana diungkapkan oleh Plato dimana setelah kematian "akan tiba saatnya kita kembali melihat cahaya".

Doktrin-doktrin tersebut juga selaras dengan doktrin yang diajarkan oleh agama-agama yang berkembang saat ini, yang meyakini bahwa setelah kematian akan ada hari dimana seluruh manusia akan dibangkitkan kembali, dan setiap agama memiliki istilah-istilah yang berbeda untuk menyebut kehidupan setelah kematian. Pandangan-pandangan utama mengenai kehidupan setelah kematian ini berasal dari agama, esoterisme, dan juga metafisika.

Selain itu, bagi sebagian besar filsuf Stoa, bahwa dengan senantiasa mempelajari kematian, manusia akan lebih belajar untuk ikhlas dan tulus dalam menerima dan menjalankan kehidupan serta setiap takdir yang menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri, termasuk datangnya kematian. Dan kita harus mulai untuk belajar dan menanamkan dalam diri kita bahwa "aku menikmati hidupku sejauh ini karena aku tidak banyak menghabiskan waktu untuk menghitung berapa lama lagi sisa hidupku". 

Artinya apa? Bahwa sesungguhnya, panjang usia berada di luar kendali kita. Bukan menjadi kuasa kita untuk mengatur berapa lama kita akan ada, namun yang seharusnya kita pikirkan adalah berapa lama kita sungguh-sungguh ada.

Merupakan dua hal yang berbeda antara "berapa lama kita akan ada" dengan "berapa lama kita sungguh-sungguh ada". Ungkapan "berapa lama kita akan ada" hanya menunjukkan kuantitas, namun "berapa lama kita sungguh-sungguh ada" menunjukkan kualitas, yakni bagaimana esensi hidup yang seharusnya manusia jalani.

Kembali kepada ungkapan diatas, tentang bagaimana seharusnya kita menikmati hidup tanpa harus menghabiskan waktu untuk menghitung berapa lama lagi sisa hidup kita, menunjukkan bahwa bagaimana manusia tidak seharusnya "terobsesi dengan hidup". Karena menurut Seneca satu-satunya belenggu dalam hidup adalah mencintai kehidupan itu sendiri. Dalam artian bahwa ungkapan tersebut lebih ditujukan kepada pemaknaan tentang obsesi akan hidup yang mengarah pada suatu hal yang bersifat negatif. 

Sebagai contoh, bahwa bahkan banyak orang yang bersedia menukar kematian dengan hal-hal yang lebih buruk, misalnya menghianati seorang kawan atau bahkan saudara sendiri "demi hidup yang lebih lama" atau dengan kata lain "demi kepentingan hidup mereka".

Namun terdapat suatu pengecualian, bahwa disamping itu manusia juga memiliki tanggungan terhadap orang lain yang membuatnya harus tetap hidup "bukan karena obsesi akan hidup". Hal tersebut dapat dilihat misalnya melalui ungkapan Seneca dalam tulisannya yang menggambarkan bagaimana kehidupan pernikahannya dengan Pompeia Paulina, yang isinya: 

"Tabib berkata, penyakit ini diawali dengan detak jantungku yang tak menentu dan iramanya yang tak beraturan. Lekas-lekas aku meminta kereta kudaku untuk disiapkan. Aku bersusah payah untuk keluar, sementara Paulina mencegahku, dia memintaku untuk memperhatikan kesehatanku. Karena aku tahu kesehatannya begitu bergantung pada kesehatanku, aku akhirnya mulai memperhatikan diriku supaya aku bisa memperhatikannya" (Surat-surat 104.1-4).

Apa artinya? Bahwa perasaan tulus yang datang dari orang lain haruslah kita nikmati, karena terkadang ketika keadaan mulai menghimpit sekalipun dan rasa sakit datang menghampiri, namun demi orang-orang terdekat dan tersayang kita harus tetap kuat dan tetap hidup. Sebagaimana halnya, ketika melihat anak, atau istri tercinta, seorang ayah sekaligus sebagai suami, harus berusaha untuk bertahan hidup di kala ia sakit demi kelangsungan hidup anak dan istrinya juga. Begitupun dalam konteks yang lainnya, bahwa seorang yang baik haruslah hidup bukan selama yang dia inginkan, tapi selama seharusnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun