Kerajaan ini sudah tidak ada artinya lagi. Semuanya hancur. Tidak ada yang namanya kedamaian di sini. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Semua itu tergantung di mana kamu dilahirkan.
Jika kamu lahir sebagai orang kaya. Maka senanglah hidupmu. Tidak bakal ada kamu jumpai yang namanya kesusahan. Atau bisa dikatakan, kehidupanmu berada di atas kertas.
Tapi jika kamu lahir sebagai orang miskin, maka selamat. Seluruh hidupmu bakal ditempa kesusahan.
Kerajaan ini tidak peduli dengan rakyat miskin. Mereka hanya peduli dengan sesama mereka. Bagi mereka, orang kaya adalah teman dan orang miskin adalah tikus. Dan sialnya, aku lahir sebagai orang miskin.
Setiap hariku hanyalah mengambil kayu di hutan. Aku mengumpulkannya dan membawanya ke pasar untuk dijual. Setelah itu? aku mendapatkan uang untuk hari esok. Kalau aku absen satu hari saja, maka keesokan harinya aku tidak dapat makanan. Kehidupan yang sangat menyusahkan.
“Hey orang miskin! Beraninya kamu mengotori bajuku,” seorang saudagar kaya memarahiku. Padahal aku tidak sengaja menyentuh bajunya. Seolah-olah aku adalah kuman yang harus dibasmi.
“Dasar orang miskin! Mana sopan santunmu!” siapa yang seharusnya sopan santun? Siapa yang tidak mempunyai akhlak? Aku atau dia? Oh ya aku lupa. Akhlak tidak berlaku bagi orang kaya.
“Maafkan saya,” kataku bersujud. Pemandangan ini sudah sangat lazim sekali.
“Kalau sudah jadi orang miskin, sebaiknya tahu diri!”
***
Di hadapanku berdiri seorang perempuan cantik sekali. Wajar dia cantik. Dia berasal dari orang kaya. Lebih tepatnya dia adalah putri raja. Baju super mewah dan dandanan mewah bagaikan uang receh. Dia sepertinya menunggu seseorang. Tapi kenapa dia berada di depan pintu rumahku?