Essi 280 -- Pesta Para Pendusta
Tri Budhi Sastrio
Hari dan tanggalnya semakin dekat saja
sementara dusta
Semakin membubung tinggi, menyeruak awan
dan mega.
Memang ada dua hari dan tanggalnya, tapi
apakah beda?
Rasanya sih sama saja walau jumlah pelakunya
tak sama.
Mungkin memang akan berlebihan jika dikata,
semuanya.
Tapi jauh berlebihan jika dikatakan sama sekali
tidak ada.
Sudah jelas ada dan tanda gelagatnya
semakinlah nyata
Manakala mereka berlomba meyakinkan pemilih
pemula
Bahwa sudah selayaknya mereka menjadi
pilihan utama.
Niat mulia dipadu dengan program gubahan
para jawara
Dianggap mampu tidak hanya menyuarakan
niatan mulia
Tetapi juga janji sumpah bak yang dilontarkan
para dewa.
Tak akan ini, tak akan itu, akan begini, akan
begitu, aha!
Memang belum pasti sih yang kali ini jadinya
seperti apa,
Tetapi menilik yang sudah-sudah ... yah, sama
pendusta.
Mungkin pada awal, niatnya jujur, polos, serta
sederhana,
Tapi banyak dari mereka lupa seperti apa itu
rimba arena
Tempat mereka nanti bertarung
mempertaruhkan semua.
Arenanya penuh dengan tombak intrik dan
tameng dusta.
Gelanggangnya sarat dengan busur dan panah
rekayasa.
Taruhannya sarat dengan rajut sulaman kuasa
dan harta.
Yang tak hanya mampu mengubah yang polos
sederhana
Menjadi penipu dan pendusta, tetapi juga punya
perbawa
Dahsyat luar biasa, mengubah harkat martabat
manusia,
Menjadi gumpalan bola bersaput serakah, tipu
dan dusta.
Dan semua diberi penanda yang kemilau penuh
cahaya,
Inilah pesta, pesta orang beradab menentukan
nasibnya.
Ha ... ha ... ha ... pesta? Mungkin boleh juga,
tidak apa.
Nasib? Ya silahkan saja walau sejatinya tidak
tepat juga.
Tetapi beradab? Inilah yang mungkin perlu
keras ditanya.
Jika peradaban hati dan nurani manusia
dianggap sama
Dengan kemampuan membungkus dusta
dengan budaya
Mungkin ada benarnya, tapi kan salah jika itu
maknanya?
Tidakkah sayang jika hidup yang jelas hanya
sementara
Lalu hanya diisi usaha nan penuh rekayasa demi
kuasa?
Bukankah akan terasa betapa bodoh dan tak
cerdasnya
Jika ziarah kembara di dunia yang tempo serta
nyalanya
Mungkin tak bisa lebih lama dari bakaran
sebatang dupa
Hanya diisi intrik-intrik dusta nurani nan penuh
rekayasa?
Apa tak keterlaluan namanya, jika hidup singkat
batasnya,
Hanya diisi dengan krida yang pada akhirnya tak
berguna?
Hidup ini sudah jelas sangat berharga dan
bahkan mulia,
Jika tujuan utamanya mencurahkan empati pada
sesama.
Sesama itu sudahlah pasti manusia ... ya semua
manusia,
Yang sedang berjalan tertatih-tatih
menuntaskan titahNya.
Mereka itu mulia karena dapat peran yang amat
luar biasa
Menjalani hidup sengsara dengan hati ringan
jiwa gembira.
Hibur, bantu dan temani mereka supaya tak
tawar hatinya,
Menjalankan hidup yang isinya kok cuma derita
sengsara.
Mengapa tidak pada mereka kalian curahkan
semua dana
Yang ujung-ujungnya hanya diguna pastikan
bahwa dusta
Tampak elok gemerlap bak pendar harapan di
ujung sana?
Memang sudah adat dunia, pemimpin itu tentu
harus ada.
Tapi tak bisakah menjadi pemimpin tanpa harus
berdusta?
Tentu saja bisa, sayangnya tak ada yang berani
mencoba.
Simak saja calon pemimpin yang sibuk di
berbagai media,
Meyakinkan orang banyak bahwa dia itulah
pilihan utama.
Jika bukannya bicara diri sendiri dan partai
pengusungnya
Mereka suka bicara orang lain, pesaing
potensial namanya.
Kupas dan telaah kata-katanya, ada banyak
dusta di sana.
Dusta yang disengaja ataupun dusta yang tidak
disengaja
Kadang terlontar begitu saja, dusta dibalas
dengan dusta.
Yang satu lebih hebat dari yang lain, tapi
dasarnya sama,
Sama-sama berdasarkan dusta, sama-sama
direkayasa.
Sayang sekali, tidak ada yang berani bicara
apa adanya.
Susahkah bicara tanpa dusta ... atau apa
ada telaahnya,
Jika tak berdusta maka sulit memenangi satu
pemilu raya?
Entah apa dasar landasannya, tetapi bicara
apa adanya
Rasanya semakin jauh saja dari kancah politik
ini negara.
Kalau bukannya rekayasa pemutarbalikan
realitas fakta,
Biasanya ya dusta, dusta berjubah rencana
program kerja.
Cuma dusta itu memang ada banyak rupa dan
macamnya.
Ada yang hitam pekat topengnya, sehingga
pendengarnya
Bisa tertawa ngakak terbahak sampai copot gigi
palsunya.
Ada juga yang abu-abu warna dan kelir baju
kebesarannya
Sampai-sampai ilmuwan garuk kepala, bingung
dibuatnya.
Ini dusta atau apa, semua ada benarnya tak ada
salahnya.
Yang lebih luar biasa jika putih jubah kebesaran
dustanya.
Jangankan manusia, dewa pun bisa dibuat
pening kepala.
Dusta kok sama persis dengan realita, inti
memang dusta
Tapi kemasan, tampilan, dan bahkan rasa, tidak
ada bd.
Sama persis dengan yang bukan dusta ... ayo
bagaimana,
Jika semua dusta para politisi di Indonesia, putih
jubahnya?
He ... he ... he ... jangankan ente, para dewa
swargaloka
Semua pada geleng-geleng dan garuk-raguk
kulit kepala.
Bukan main ... luar biasa ... evolusi dusta telah
sempurna,
Karena manusia dan dewa takluk jika harus
mengenalinya,
Mungkin hanya yang mahakuasa yang sulit
ditipu mereka.
Bravo ... kata orang Polandia bagi para politisi
Indonesia.
Bagi yang tak percaya simak saja yang berikut
ini, saudara,
Yang diambil langsung dari panggung pesta
para pendusta.
Saudara-saudara hendaknya jangan lupa pada
tanggalnya,
Ayo datanglah ke TPS terdekat dari tempat
tinggal saudara,
Pakailah hak pilih yang dimiliki guna tentukan
nasib negara.
Jangan tak datang, jangan tak memilih, ini nasib
kita semua.
Ayo saudara-saudara, ke TPS guna semarakkan
pesta kita.
Ini tentu saja dusta ... dusta yang tidak kepalang
hebatnya,
Tetapi karena jubah kebesarannya putih bersih
tanpa noda
Lalu siapa mampu dan bisa mengenali dusta di
dalamnya?
Jika ada, ha ... ha ... ha ... ente jauh lebih hebat
dari dewa.
Dari pesta para pendusta telah lahir dusta yang
luar biasa.
Pesta dan dustanya dikerek dan dikibar laksana
bendera negara.
Essi 280 --tbs/kas - POZ04042014 -- 087853451949
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI