Lihat ke Halaman Asli

Dari Kaum Rebahan Ke Kaum Perubahan: Gen Z Di Panggung Politik

Diperbarui: 23 Juni 2025   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Ilustrasi semangat politik Gen Z: tampil sebagai wajah baru politik indonesia.

Dulu, generasi muda sering dijuluki sebagai "kaum rebahan", sibuk bermain gadget dan mengomentari hidup lewat meme. Kini, label itu mulai runtuh seiring meningkatnya partisipasi Gen Z dalam kancah politik nasional. Di tahun 2024, suara anak muda bukan hanya ramai di kolom komentar, tapi juga bergema di bilik suara. Mereka bukan lagi sekadar pengamat sosial media, tapi penggerak isu-isu krusial yang menyangkut masa depan. Ada semacam kesadaran baru yang tumbuh: bahwa perubahan tak bisa hanya ditonton, tapi harus diperjuangkan.

Keterlibatan Gen Z dalam politik tidak datang tiba-tiba, melainkan hasil dari akumulasi keresahan dan harapan. Mereka tumbuh di tengah krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan kegelisahan terhadap elite yang tak lagi relevan. Realitas sosial yang keras mendorong mereka mencari ruang untuk bersuara, dan politik menjadi salah satu panggung utama. Meskipun awalnya canggung, mereka kini belajar memahami kekuatan satu suara dalam sistem demokrasi. Kesadaran itu muncul bukan dari ruang kelas, melainkan dari interaksi digital dan percakapan sehari-hari.

Menariknya, cara Gen Z masuk ke dunia politik sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka tidak tertarik pada jargon panjang atau janji kampanye kosong yang dilapisi formalitas. Mereka ingin pemimpin yang nyata, yang bisa diajak diskusi lewat unggahan Instagram, bukan hanya pidato televisi. Media sosial menjadi ladang subur kampanye dan ruang debat yang terbuka tanpa hierarki. Politik kini tak lagi eksklusif, melainkan interaktif dan penuh dinamika gaya khas generasi muda.

Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan bahwa lebih dari separuh pemilih di tahun 2024 berasal dari kelompok milenial dan Gen Z. Artinya, suara mereka bukan lagi sekadar pelengkap statistik, tapi penentu arah bangsa. Di sinilah letak kekuatan baru: anak muda memiliki kekuatan kolektif yang belum pernah sebesar ini sebelumnya. Mereka mulai sadar bahwa golput bukan lagi pilihan keren, tapi bentuk pembiaran terhadap ketidakadilan. Bagi mereka, satu suara bisa menjadi penentu nasib banyak orang.

Yang menarik, pergerakan politik Gen Z tidak melulu berbentuk demonstrasi jalanan. Mereka lebih cenderung bergerak secara digital, melalui kampanye edukatif, video pendek, dan infografis yang disebar cepat. Dari TikTok, Reels, hingga X (Twitter), isu-isu seperti HAM, keadilan sosial, dan lingkungan digaungkan dengan cara yang kreatif dan mengena. Bahkan tak jarang, kritik mereka viral dan menekan para elite untuk memberi respon terbuka. Mereka memaksa politisi untuk melek digital dan berpikir cepat, atau tenggelam dalam arus skeptisisme publik.

Namun perubahan ini tidak selalu manis. Politik yang viral sering kali dangkal dan penuh polarisasi. Banyak informasi yang beredar tanpa diverifikasi, menciptakan ruang yang rentan bagi hoaks dan misinformasi. Dalam ekosistem ini, Gen Z dihadapkan pada tantangan besar: menjadi melek politik bukan hanya soal aktif berbicara, tapi juga cermat menyaring informasi. Literasi digital dan etika dalam berpendapat menjadi keterampilan penting yang belum tentu dimiliki semua orang. Maka, keterlibatan bukan hanya urusan niat, tapi juga kemampuan berpikir kritis.

Berbeda dari generasi sebelumnya yang sering terikat partai atau ideologi besar, Gen Z cenderung lebih cair dan fleksibel. Mereka mendukung kandidat bukan karena loyalitas politik, tapi karena nilai-nilai yang dikandung: kejujuran, keberpihakan pada rakyat, dan konsistensi dalam aksi. Figur yang populer di mata mereka adalah yang autentik, komunikatif, dan berani bersikap. Bukan yang pandai basa-basi di atas panggung, melainkan yang bisa menjawab komentar netizen tanpa marah. Kepemimpinan yang dimaknai secara personal menjadi kunci daya tarik bagi Gen Z.

Nilai keadilan sosial sangat kuat mewarnai cara berpikir politik anak muda hari ini. Mereka sensitif terhadap isu-isu seperti kekerasan negara, hak minoritas, kesetaraan gender, dan dampak perubahan iklim. Bahkan banyak di antara mereka yang mendirikan komunitas kecil atau platform digital untuk menyuarakan hal-hal ini secara konsisten. Politik bagi mereka bukan sekadar pemilu lima tahunan, tapi bagian dari gaya hidup sadar isu. Ketika banyak orang tua bicara soal stabilitas, anak muda bicara tentang keadilan yang belum ditegakkan.

Salah satu kekuatan Gen Z terletak pada kreativitas mereka dalam menyampaikan pesan politik. Poster dengan visual estetik, lagu kampanye bergaya indie, hingga video satir menjadi senjata baru melawan bosannya gaya politik lama. Mereka menjadikan politik sebagai arena ekspresi, bukan hanya urusan formil dan protokoler. Di tangan mereka, politik terasa segar, hidup, dan jauh dari kesan kaku. Ini adalah babak baru dalam demokrasi yang lebih inklusif dan kreatif.

Perjalanan Gen Z dalam dunia politik tidak lagi berada di tahap awal. Mereka kini sudah ada di dalam gelanggang utama: sebagai pemilih dominan, relawan kampanye, bahkan tim kreatif dan juru bicara partai politik. Banyak dari mereka mengelola narasi kampanye melalui media sosial, menciptakan branding calon legislatif dan presiden yang menyasar pemilih muda. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan ikut menyusun narasi debat, merancang strategi digital, dan mengawal suara rakyat dari balik layar. Ini bukan lagi soal potensi, tapi realitas yang sedang berlangsung di balik panggung politik Indonesia.

Keberhasilan Gen Z dalam memengaruhi arah politik 2024 tampak jelas dari maraknya isu-isu progresif yang masuk ke ruang publik. Isu lingkungan, kesetaraan, anti-korupsi, dan digitalisasi pelayanan publik menjadi materi kampanye yang menonjol dan banyak diangkat oleh kandidat muda. Bahkan calon legislatif dari kalangan tua pun harus beradaptasi dengan gaya dan isu khas Gen Z jika ingin bertahan. Ini menunjukkan bahwa Gen Z bukan hanya konsumen politik, tapi penentu pasar ideologi yang tengah mendefinisikan ulang makna representasi. Suara mereka mulai membentuk peta wacana nasional secara nyata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline