Mohon tunggu...
Yogi Putranto
Yogi Putranto Mohon Tunggu... Penulis Untuk Beberapa Isu Strategis Yang Berkembang di Masyarakat

Analis dan penulis independen yang aktif menyoroti isu-isu strategis di bidang keuangan inklusif, pemberdayaan ekonomi anak muda, ekonomi biru, serta transformasi digital sektor publik. Saya kerap menulis opini dan kajian kebijakan untuk berbagai media nasional dan forum akademik. Berpengalaman sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kini mengembangkan berbagai inovasi berbasis data untuk komunitas nelayan dan petani. Saya percaya bahwa masa depan Indonesia bergantung pada kolaborasi lintas sektor dan keberanian generasi muda untuk berinovasi.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Forest Metaverse Reserve : Digital Twin Untuk Menyelematkan Monyet Ekor Panjang dan Beruk

6 September 2025   09:32 Diperbarui: 6 September 2025   09:32 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bayangkan sebuah hutan yang tak hanya bisa kita sentuh lewat tanah dan daun, melainkan juga bisa dijelajahi, dianalisis, dan dipelihara lewat ruang virtual---sebuah digital twin hutan Sumatra dan Kalimantan yang hidup di dunia metaverse. Dalam imaji ini, setiap monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) yang terekam di lapangan memiliki "avatar hidup" di dunia digital: bukan sekadar representasi visual statis, melainkan profil dinamis yang merefleksikan lokasi, kondisi kesehatan, pola gerak, dan jaringan sosial mereka. Melalui mekanisme adopsi virtual dan gamifikasi yang dirancang cerdas, generasi muda---yang kini akrab dengan dunia maya---dapat "memberi makan" avatar tersebut, berinteraksi tanpa mengganggu habitat nyata, dan sekaligus menyalurkan bantuan finansial nyata untuk pakan, rehabilitasi, atau perlindungan habitat. Konsep ini, yang saya juluki Forest Metaverse Reserve, merangkum potensi kuat teknologi digital untuk memperluas ruang empati dan aksi konservasi, tanpa menggantikan kebutuhan nyata terhadap perlindungan habitat.

Motivasi untuk mengembangkan model seperti ini tidak muncul dari kehampaan: baik monyet ekor panjang maupun beruk menghadapi tekanan nyata. Long-tailed macaque (Macaca fascicularis) telah mendapat perhatian konservasi internasional karena penurunan populasi yang terkait perburuan, perdagangan untuk riset biomedis, dan hilangnya habitat; status konservasinya menjadi isu yang mendapat sorotan dan penelaahan ulang oleh IUCN. Di sisi lain, beruk atau pig-tailed macaque (Macaca nemestrina) juga menghadapi ancaman deforestasi dan perburuan di wilayah Sunda, sehingga perlindungan populasi dan habitatnya menjadi penting bagi keseimbangan ekosistem hutan hujan tropis. Menghubungkan realitas lapang ini dengan ruang digital membuka jalur baru: pemantauan yang lebih luas, edukasi yang lebih imersif, dan sumber dana alternatif yang sangat relevan bagi khalayak muda.

Secara teknis, digital twin hutan bukan sekadar peta 3D estetis. Ia harus dibangun dari data multispektral---citra satelit, LiDAR untuk struktur kanopi, data drone untuk penutupan lahan, sensor mikroklimat di lapangan, serta jaringan kamera dan acoustic sensor yang menangkap keberadaan primata. Inisiatif-inisiatif penelitian dan lembaga riset telah menunjukkan bagaimana digital twin hutan dapat membantu perencanaan restorasi, estimasi karbon, dan pemetaan habitat kritis jika model tersebut merefleksikan kondisi fisik yang akurat dan bisa diperbarui berkala. Menyambungkan lapangan dengan metaverse berarti memproyeksikan data ini ke ruang yang dapat diakses publik---bukan sekadar visualisasi, tetapi juga interaksi yang dipadukan mekanika insentif: misalnya, 'memberi makan virtual' yang memicu sumbangan nyata untuk suplai pakan rehabilitasi atau patroli anti-perburuan.

Ada dua dimensi etis dan praktis yang harus dihadapi. Pertama, representasi digital harus menghormati kesejahteraan satwa: avatar tidak boleh memicu trafiking atau pemikat ke lokasi nyata yang berisiko. Desain harus menerapkan prinsip privacy by design untuk satwa, yaitu menyamarkan koordinat sensitif dan hanya menampilkan informasi agregat yang tidak membuka celah eksploitasi. Kedua, interaksi gamifikasi mesti diarahkan pada outcome konservasi---bukan sekadar engagement metrik. Studi tentang gamifikasi lingkungan (contoh: Ant Forest di China) menunjukkan bahwa mekanik yang tepat (badge, leaderboard, tugas kolaboratif) mampu mendorong perilaku ramah lingkungan bila dikaitkan dengan insentif nyata dan rasa kepemilikan komunitas; namun ada pula bukti bahwa gamifikasi tanpa tujuan yang jelas bisa berujung pada efek sebaliknya. Oleh karena itu, Forest Metaverse Reserve harus menggabungkan gamified engagement dengan transparansi alokasi dana, dan pengukuran indikator konservasi nyata (misalnya penurunan perburuan, peningkatan area hutan terlindungi, angka rehabilitasi).

Model adopsi virtual yang sukses tidak asing: kebun binatang dan pusat-pusat konservasi di banyak negara sudah menawarkan "virtual adoption" yang menyertakan digital certificate dan update berkala, dan terbukti menjadi sumber donasi stabil. Mengintegrasikan model ini ke dalam metaverse memungkinkan aspek naratif yang lebih kuat---misalnya, donor muda menerima notifikasi ketika avatar monyet yang mereka adopsi tertangkap kamera sedang memainkan peran dalam penyebaran biji (seed dispersal), atau ketika tim lapangan meng-update status kesehatan setelah intervensi veteriner. Mekanisme micropayment di dalam platform metaverse dapat mengotomasi donasi micro-to-macro: satu klik memberi makan virtual, dan sejumlah kecil rupiah langsung mengalir ke rekening koperasi desa pengelola penjagaan hutan atau ke program pakan rehabilitasi. Model ini menutup jurang antara keterlibatan emosional digital dan aksi konservasi nyata.

Namun tantangan terbesar bukan soal teknologi semata, melainkan soal inklusi dan tata kelola. Jika metaverse menjadi domain elit yang dikendalikan oleh entitas korporat global, manfaatnya terhadap konservasi lokal akan minimal. Karena itu, pembangunan Forest Metaverse Reserve mesti berlandaskan ko-desain dengan komunitas lokal---membuka peluang bagi masyarakat penyangga hutan untuk memonetisasi keterlibatan mereka (sebagai "stewards" yang memberikan data, bercerita, dan menjalankan patroli), serta memastikan proporsi pendanaan kembali ke perlindungan habitat. Selain itu, mekanisme validasi saintifik diperlukan agar avatar benar-benar mencerminkan realitas biologis: misalnya, ahli primatologi harus mengawasi bagaimana perilaku direpresentasikan agar tidak menyesatkan publik tentang perilaku monyet di alam liar. Ini menuntut kemitraan antaruniversitas, LSM konservasi, komunitas lokal, dan pengembang teknologi.

Secara reflektif, Forest Metaverse Reserve menawarkan sebuah paradoks etis: teknologi yang memungkinkan 'keintiman tanpa kontak' dapat memperkaya empati generasi Z terhadap satwa liar, tetapi juga berisiko menjadi substitusi pasif---kita merasa sudah "melindungi" karena memberi makan virtual, padahal habitat di lapangan masih terancam. Kunci keberhasilan adalah memadukan keduanya: gamified engagement yang memicu donasi dan advokasi nyata, sekaligus alat pemantauan yang memperkuat kapasitas penegakan lokal. Jika dilakukan benar, metaverse dapat menjadi ruang pendidikan yang kuat---mengenalkan ribuan anak muda pada kompleksitas ekologi dan politik konservasi---seraya menyediakan aliran dana dan perhatian yang dapat diubah menjadi perlindungan konkret di lapangan.

Akhirnya, menyelamatkan monyet ekor panjang dan beruk membutuhkan lebih dari peta 3D yang indah. Ia menuntut transformasi sosial: dari konsumsi yang mengabaikan asal-usul produk, hingga solidaritas yang melampaui geografis. Forest Metaverse Reserve bukan obat mujarab, tetapi ia menawarkan jalur baru---mekanisme yang memadukan teknologi, sains, dan budaya populer untuk memperluas basis dukungan konservasi. Jika generasi digital bisa dihubungkan dengan cara yang bermakna---di mana klik virtual dikonversi jadi patroli nyata dan rehabilitasi di hutan---maka avatar di metaverse bukan sekadar representasi, melainkan agen perubahan nyata bagi monyet ekor panjang, beruk, dan hutan yang menjadi rumah mereka.
#WAD2025 #SpeakForTheSpecies #Lestarisiana #Blogcompetition

Daftar Pustaka 

Boudinot, R & Shah, G (2022). Using the Metaverse to Connect and Protect the Natural World. Stanford Social Innovation Review. Retrived from : https://ssir.org/articles/entry/using_the_metaverse_to_connect_and_protect_the_natural_world

Carey, T.(2020). Building trees in the Metaverse might actually save the forest. Retrieved from : https://www.freethink.com/energy/3d-models-of-trees

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun