Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Anwar

Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Motivasi Finansial Paling Waras di Dunia (16).

Diperbarui: 16 Oktober 2025   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"Financial Freedom Ala Warung Kopi"

Di zaman sekarang, istilah financial freedom terdengar seperti mantra ajaib. Semua orang ingin mencapainya, tapi tak banyak yang benar-benar tahu bentuknya. Seminar demi seminar, konten demi konten, semua menjanjikan jalan menuju kebebasan finansial---asal Anda mau bayar biaya pendaftaran terlebih dahulu. Ironi kecil: untuk belajar "merdeka dari uang", kita justru diminta membayar.

Sementara itu, di sudut pasar dekat rumah saya, ada warung kopi tua yang ramai tiap pagi. Pemiliknya, Pak Iwan, bukan influencer, bukan motivator, tapi kalau Anda mau belajar tentang kebebasan finansial sejati, cukup duduk sejam di warungnya. Di sana, tak ada grafik, tak ada cash flow projection --- tapi ada ketenangan. Dan, percayalah, ketenangan adalah mata uang paling stabil di dunia.

Saya pernah bertanya pada Pak Iwan, "Pak, kenapa nggak buka cabang? Pelanggan Bapak banyak, merek bisa dikembangkan."
Ia tertawa sambil mengaduk kopi: "Pak, kalau cabang banyak tapi saya tak bisa duduk santai lagi, apa gunanya?"
Jawaban itu sederhana, tapi lebih logis daripada ratusan slide seminar finansial mana pun.

Kita sering salah kaprah: mengira financial freedom berarti tidak perlu kerja lagi. Padahal, justru kebalikannya---ia berarti kita boleh memilih pekerjaan tanpa ketakutan akan besok. Itu bukan tentang saldo yang tak habis, tapi tentang hati yang tak cemas.

Saya punya senior, pensiunan dosen, yang tiap pagi juga nongkrong di warung kopi yang sama. Dulu, ia punya impian jadi investor besar. Sekarang ia mengaku lebih bahagia bisa beli dua gelas kopi untuk dirinya dan teman, sambil tertawa soal harga saham yang dulu ia kejar mati-matian. "Dulu saya kejar return tinggi, sekarang saya kejar turnover percakapan," katanya.

Dari situ saya sadar: kadang, financial freedom itu bukan soal keluar dari kantor, tapi keluar dari keinginan yang tidak ada ujungnya.

Teori ekonomi klasik memang mengajarkan tentang utility---semakin banyak konsumsi, semakin besar kepuasan. Tapi di warung kopi, teori itu hancur berantakan. Di sana, orang paling banyak tertawa justru yang pesanannya paling sederhana: kopi hitam dan gorengan sesukanya. Mereka tak punya saham di bursa, tapi punya saham di kebahagiaan harian.

Tentu, saya bukan sedang mengajak Anda menolak modernitas atau berhenti bekerja. Saya hanya ingin menawar sedikit: mungkin kita perlu belajar dari filosofi warung kopi. Bahwa kebebasan finansial bukan tentang earning more, tapi tentang wanting less.

Lihat saja Pak Iwan lagi-lagi memberi pelajaran ekonomi praktis tanpa sadar. Ia tahu harga gula naik, tapi tak panik. Ia naikan harga segelas kopi beberapa rupiah, dan pelanggan tetap datang. Kenapa? Karena di warung itu, orang tidak cuma beli minuman---mereka beli rasa diterima.

Sementara banyak profesional muda stres di kantor, dikejar target, dikelilingi aplikasi manajemen keuangan, tapi tetap merasa miskin waktu dan tenang. Di sinilah letak pelajaran penting: financial freedom tanpa emotional freedom hanyalah ilusi berharga mahal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline