Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Kritik Filosofis terhadap Fenomena LGBT

Diperbarui: 15 Februari 2025   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa tahun belakangan ini, negeri kita sudah mulai diramaikan oleh hiruk-pikuk perdebatan soal pembolehan kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) menonjolkan diri di depan publik seraya mendapatkan hak-hak setara dengan warga berorientasi seksual biasa. Argumentasinya klasik: mereka juga manusia yang memiliki hak asasi manusia (HAM).

Memang, LGBT adalah fenomena yang mendunia. Kaum ini beralasan mereka adalah manusia yang juga memiliki HAM untuk mendapatkan cinta, membentuk keluarga, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, demikian mereka berargumen, adalah kezaliman apabila mereka didiskriminasi karena perbedaan orientasi seksual mereka. Sebab, bagi mereka perbedaan orientasi seksual itu bukan kejahatan dan bukan pula gangguan kejiwaan maupun sosial.

Tiga Kritik

Pada titik inilah, kita bisa bersikap kritis terhadap kaum LGBT. Pasalnya, jika ditelaah secara filosofis, argumen LGBT untuk membuka diri sesungguhnya menyimpan sejumlah keliru-pikir logika (logical fallacy). Pertama, argumen etis. Memang secara argumen
etis dalam ilmu etika---salah satu cabang dari ilmu filsafat yang menelaah secara kritis masalah-masalah moralitas---terdapat ragam pendapat yang masing-masing bisa digunakan untuk menjustifikasi atau menyangkal "kebenaran etis" LGBT. Sebagai contoh, ada aliran deontologi yang memandang kebenaran etis secara hitam-putih dan aliran prima facie yang menimbang-nimbang manfaat mana yang lebih besar dari dua pilihan etis yang tersedia (K. Bertens, Etika, Gramedia, 2014).

Akan tetapi, itu jika kita berbicara soal etika yang berkutat dengan mengandalkan rasio. Padahal, ada satu sumber etika lain yang bersifat absolut, yaitu agama. Dengan menundukkan diri pada agama yang bersumber pada wahyu ilahi, perbedaan mazhab etis
akan melenyap. Dalam konteks Indonesia, ini terutama relevan mengingat Indonesia tegas menyatakan dalam dasar filsafat negaranya, Pancasila, bahwa salah satu sendi utama negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dari masalah-masalah publik (lihat perdebatan Denny J.A. dan Ahmad Sumargono dalam Indonesia Negara Sekuler?, 1999). Maka itu, dalam kasus LGBT, tak ada satu agama pun yang menghalalkan fenomena LGBT.

Namun, ini bukan berarti agama-agama dunia menutup mata terhadap fenomena konkret LGBT. Melainkan, agama justru memandangnya sebagai fenomena yang harus dikoreksi. Sebagai contoh, Ziauddin Sardar dalam Reading the Quran (Oxford, 2013)
mengutarakan tafsir agama bahwa Islam sejatinya mengakui (tapi tidak menghalalkan) keberadaan LGBT sebagai satu fakta sosial, tapi seyogianya kaum LGBT tidak menonjolkan diri secara terbuka dan berlebihan di depan publik.

Kedua, argumen teleologis dalam filsafat sejatinya tidak membenarkan fenomena LGBT. Teleologis adalah bentuk argumen yang melihat sesuatu berdasarkan tujuannya. Nah, salah satu tujuan manusia diciptakan berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai sarana reproduksi untuk menciptakan keturunan dalam rangka regenerasi umat manusia. Jadi, kita membuat simulasi bayangan ketika pada satu titik kaum LGBT mendominasi dunia. Tentu lambat laun umat manusia akan punah dan argumen pembenar LGBT pun menjadi keliru-pikir (fallacy) dari segi teleologis.

Ketiga, argumen kosmologis pun tidak bisa membenarkan fenomena LGBT. Inilah argumen yang menyatakan alam semesta itu tercipta secara serasi (lihat karya klasik filsuf Islam al-Jahiz, Semesta Ilahi, Serambi, 2003). Maka itu, kita bisa melihat adanya oposisi
biner (pasangan-pasangan) yang saling melengkapi, seperti: siang-malam, panas-dingin, terang-gelap, dan tentunya, laki-laki dan perempuan. Aristoteles beribu-ribu tahun yang lalu juga menyatakan dukungannya terhadap kemestian dari pasangan-pasangan ini di dunia untuk menciptakan keteraturan dalam semesta. Dari argumen kosmologis ini, jelas terlihat fenomena LGBT menyalahi desain kosmologis.

Oleh karena itu, secara filosofis kaum LGBT seyogianya menyadari bahwa ada yang keliru secara etis-teologis dalam orientasi seksual mereka dan harus berikhtiar sungguh-sungguh untuk mengembalikan orientasi seksual mereka ke arah yang berterima secara etis. Namun, di sisi lain kita juga harus mengingat bahwa mereka adalah sesama warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan HAM dengan cara melindungi mereka dari segala kemungkinan aksi persekusi. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline