Lihat ke Halaman Asli

Sidik Permana

Freelance

Eranya Guru Ngonten: Etika Hingga Kuasa

Diperbarui: 25 September 2025   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Hidup disetir FYP (For You Page)", sindiran keras kepada para pemua atensi media sosial. Mulai dari beberapa petani di Sukabumi yang berbondong-bondong beralih menjadi pembuat konten joget di Tiktok hingga guru yang membuat konten "reality show" kelas, seolah menambah sepak terjang sisi gelap media sosial yang mengkapitalisasi semua yang ada menjadi komoditas dan palum atensi.

Konten kritik bisu terhadap guru dari akun Instagram bernama @teacher.talent seolah menampar realita bahwa orang terdidik pun bisa terbius hasrat eksistensi media sosial yang penuh atensi. Padahal, pesannya sederhana, "hargai privasi anak". Meski begitu, kolom komentar nampak dibanjiri komentar kontra berdalihkan kreativitas, "cuman konten yang tidak mengganggu", atau "Lagipula, anak-anak juga senang". Pertentangan ini harus dijawab secara lugas untuk menghindari pembenaran atas kebiasaan yang keliru. Pertanyaannya, "etis, kah?"

Etika, Simulakra, dan Kuasa

Mengingat masalah pembuatan konten yang melibatkan anak-anak, tentu perlu melihat bagaimana etika berjalan pada persoalan ini. Valerie Alia dalam bukunya "Media Ethics and Social Change" melihat dua hal penting dalam persoalan ini, yaitu right ethicists dan virtue ethicists. Keduanya dapat diartikan sederhana, bahwa sesuatu dikatakan beretika bila sikap dan tindakan kita mampu menghormati HAM secara tulus dan dianggap "benar" ketika terwujudnya kebajikan.

Dalam konteks guru pembuat konten yang melibatkan anak-anak, misalnya, apakah ada upaya menghormati hak privasi dan kebutuhan anak? Adakah izin kepada mereka yang mewakilinya karena belum berkembang kecakapan anak untuk memutuskan hidup? Bila belum terpenuhi, maka ada problem etis tanpa kebajikan yang dialami guru, sekolah, atau bahkan orang tua yang turut andil di dalamnya.

Sebagai contoh, konten dari akun Instagram bernama @nurulnayz memperlihatkan bagaimana keseharian anak Sekolah Dasar dan skenario tentang "kejenakaan" anak-anak di kelas di bawah sorotan kamera. Sekilas nampak lucu dan menggemaskan, responden kolom komentar pun menampakan kekaguman dan pujian atas "kreativitasnya". Padahal, di dalamnya terselip masalah etis yang kurang diindahkan, seolah kebahagiaan anak sudah menjawab pembenaran atas tindakannya.

Bila dibedah kembali, konten-konten tersebut dan sejenisnya menggambarkan dua hal utama, yakni skenario estetika (simulakra) dan relasi kuasa. Skenario estetika menggambarkan pengaturan narasi dan visual layaknya program entertainment. Semuanya adalah ilustrasi semu yang dibuat demi kenikmatan para penonton kontennya, menggugah semangat, emosi, dan pujian. Pemikir terkenal Perancis, Jean Baudrillard dalam bukunya "Simulacra dan Simulation", mengartikannya sebagai suatu tatanan makna yang menyediakan substansi kosong dari tatanan selanjutnya, hingga membuatnya tidak lagi mengenal perbedaan antara penanda dan petanda, maupun antara bentuk dan isi. Artinya, skenario estetika dalam konten-konten guru dan muridnya hanyalah kepalsuan simulakra, tontonan belaka belaka kosong.

Adapun, relasi kuasa mengingatkan penulis kepada Michel Foucault dalam karyanya "Discipline and Punish: The Birth of the Prison", yang mana kurang lebih menilai kuasa seseorang sebagai instrumen dominasi dan digunakan dalam mewujudkan kepentingannya serta (pasti) dikaitkan dengan orang yang didominasi. Relasi kuasa guru memungkinkan murid-muridnya untuk dieksploitasi dalam konten-konten simulakra tanpa sadar, dan mereka nampak berbahagia dengan ilustrasi kedekatan guru-murid. Seolah baik-baik saja, padahal relasi kuasa sedang berjalan dalam mengeksploitasi keluguan mereka.

Dalam konteks guru pembuat konten, kerap kali murid "bersedia" untuk menjadi aktor yang akan disorot kamera guru, bukan karena ia (sekadar) mau, melainkan "tidak punya pilihan". Contoh kasus, Detik.com dalam artikelnya "Viral Guru di Tabanan Diduga Eksploitasi Siswi SMP Bikin Konten Sensual", melaporkan adanya seorang guru di Tabanan, Bali, diduga mengeksploitasi siswi SMP untuk membuat konten sensual di media sosial.

Dengan demikian, sejak awal, guru content creator yang melibatkan anak didiknya sudah menjalankan tiga dosa, ketidaketisan yang mengabaikan hak privasi anak, eksploitasi demi atensi konten simulakra, dan relasi kuasa tak tertulis sebagai pemaksa. Bahkan, komentar seperti, "hanya konten", atau "untuk menginspirasi guru-guru", kerap digunakan untuk membenarkan tindakan tersebut. Padahal, sudah dijelaskan dengan lugas pada UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak. Bila hal ini dibiarkan, ruang privasi akan menjadi pertaruhan konten yang menguntungkan guru, sekolah, bahkan orang tua, tetapi mengaburkan hak-hak dasar paling esensi anak.

Berhenti Memuaskan Atensi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline